09 - What should I do?

34 3 0
                                    

Malvin yang sudah paham dengan kondisi darurat di hadapannya pun langsung berlari menghampiri Alaric yang masih mengerang kesakitan di lantai. Ia cepat-cepat mengambil suntikan lain dari dalam kamarnya dan meminta Callista untuk segera menyingkir dari sana.

"Pergilah! Cepat pergi dari sini!"

Callista terkesiap. "Apa yang terjadi dengannya?"

"Dia berusaha melawan dirinya sendiri untuk tidak menghisap darahmu! Maka dari itu pergilah! Kau bisa membunuhnya jika masih tetap berdiri di sini!"

"Membunuhnya? Tidak, dia tidak boleh mati." Callista menelan salivanya susah payah. Ia lekas beringsut mundur dan tergesa-gesa keluar dari dalam rumah tersebut; setengah berlari menghampiri mobilnya yang terparkir di luar pagar.

"Cale, ada apa?" tanya Samantha begitu dirinya masuk ke dalam mobil. "Barusan aku melihat ada pemuda yang datang sambil membawa belanjaan. Dia tinggal di sini juga?"

"Entahlah. Aku tidak tahu, Sam," balasnya seraya menggeleng kecil.

"Kau bawa apa itu?"

"Ah, b-bukan apa-apa." Ia refleks menyembunyikan tangan kanannya di balik pinggang. "Ayo, lebih baik sekarang kita pergi dari sini! Aku lupa tadi pagi ayahku memintaku agar tidak pulang malam-malam hari ini."

Samantha tercenung sejenak melihat ekspresi wajah Callista yang tidak biasa. "Kau sudah selesai bicara? Maksudku, tidak terjadi apa-apa 'kan di dalam? Soalnya tadi aku juga samar-samar seperti mendengar ada suara orang berteriak."

"Umm, tidak ada. Mungkin kau salah dengar, Sam. Semuanya baik-baik saja."

"Sungguh? Memangnya tadi kalian berdua membicarakan apa?"

"Nanti saja! Akan kuceritakan padamu. Yang terpenting kita pergi dulu dari sini."

"Tapi, Cale-"

"Tidak ada tapi-tapian, Sam!" pungkasnya, buru-buru memakai sabuk pengaman dan membawa mobilnya menjauh dari sana.

***

Dia berusaha melawan dirinya sendiri untuk tidak menghisap darahmu! Maka dari itu pergilah! Kau bisa membunuhnya jika masih tetap berdiri di sini!

Callista menutup wajahnya dengan bantal. Sudah pukul setengah dua belas malam sekarang. Namun, entah mengapa ia masih belum bisa tidur juga. Gadis itu sejak tadi hanya terus guling-guling gelisah di atas kasur.

Bagaimana kalau dia benaran mati?

Gara-gara aku?

Tidak. Itu tidak mungkin.

Bukankah vampir adalah makhluk yang abadi? Tapi kenapa dia bisa kesakitan hanya karena tidak ingin menggigitku?

Apa jangan-jangan ... dia cuma akting?

Lalu bagaimana kalau ternyata aku yang sudah salah sangka dan memang bukan dia lah pembunuh yang sebenarnya?

"Arghh! Dasar bodoh! Seharusnya kau tidak perlu melakukan itu!" Callista mengacak-acak rambutnya frustasi. Tiba-tiba saja ia merasa bersalah. Baru kali ini ia mengkhawatirkan seseorang yang dianggap sebagai penjahat.

Sebelumnya, ia bahkan tidak pernah menunjukkan rasa simpatik sedikit pun, terutama ketika memberantas orang-orang bejat yang gemar melakukan tindak kejahatan yang sudah sampai pada tahap meresahkan publik. Tetapi, mengapa Alaric kali ini bisa mendapatkan rasa simpatiknya kembali?

Kalaupun pria itu memang benar pembunuh berantai yang selama ini dicari, kenapa ia tidak sekalian saja menghabisi Callista? Mengingat gadis itu juga sudah terlanjur mengetahui kalau dirinya adalah seorang vampir yang bisa haus darah kapan pun. Dengan begitu, ia bisa menghilangkan jejak lebih mudah daripada harus repot-repot meladeni omong kosong seorang betina bar-bar bernama Callista.

"Apakah mungkin ada vampir lain juga di luar sana?" Callista mengambil dan mengamati suntikan yang tak sengaja terbawa olehnya tadi. Perasaan tidak nyaman kembali merayapi hatinya saat teringat bagaimana betapa kesakitannya wajah Alaric yang berupaya keras untuk tidak mencicipi darahnya.

***

Selamat pagi pemirsa, berjumpa lagi dengan saya, Carol Wesley, dalam acara Breaking News edisi Minggu, 20 November yang akan menemani pemirsa selama tiga puluh menit ke depan untuk memberikan informasi-informasi teraktual dan tepercaya yang sudah kami rangkum dalam berita seputar pagi ini. Berikut liputan selengkapnya.

Seorang pendaki gunung wanita, Morgan Scott (24) dikabarkan telah hilang tanpa jejak. Sebagaimana yang dilaporkan, survivor hilang saat dalam perjalanan turun dari puncak gunung, pada Jumat, 18 November sekitar pukul 16.30.

Menurut saksi mata atas nama David Gregson yang merupakan salah satu rekannya, survivor pamit kembali ke sumber mata air terdekat untuk mengambil barang berharganya yang tertinggal dan saat itu cuaca sedang hujan. Setelah ditunggu selama 20 menit, David menyusul ke mata air. Namun, sayangnya survivor sudah tidak ada.

Mereka melakukan pencarian selama 3 jam di sekitar lokasi, tetapi tidak ada respons apapun. Untuk itu dua rekan survivor yang lain, Barbara Halsey dan Michael Collin memutuskan untuk turun meminta bantuan kepada warga sekitar.

Kami menerima info bahwa sore itu regu rescue langsung bergerak mengirimkan tim untuk melakukan pencarian beserta tim gabungan lainnya. Dan dikabarkan, pencarian terhadap korban akan kembali dilanjutkan pada hari ini.

Robert segera mengecilkan volume suara televisinya ketika melihat Callista berjalan ke arah dapur, mengambil segelas minuman dari dispenser. "Kau baru bangun?" tanyanya.

"Yeah. Semalam aku tidak bisa tidur," jawab Callista kemudian menenggak air minumnya hingga tandas. "Ngomong-ngomong, ada berita apa barusan?"

"Orang hilang, pendaki gunung ...."

Gadis itu menghela napas. Kemudian, ikut melihat ke layar televisi. "Lagi-lagi orang hilang. Sudah ada lebih dari 72 laporan orang hilang sejak tahun kemarin."

"Ya, kau benar. Polisi setempat juga sudah berpatroli hampir setiap malam, tapi tetap saja. Laporan yang masuk tidak pernah berhenti-berhenti." Robert sependapat karena ia juga selalu mengikuti berita-berita harian yang ada. "Ah ya, Callista, Ayah lupa belum memberitahumu. Minggu depan Ayah akan dipindahtugaskan sementara waktu ke Kota London selama tiga bulan ke depan."

Callista menautkan kedua alisnya. "Tiga bulan ke depan? Lama sekali ... untuk apa?"

"Ayah mendapat tugas baru untuk membantu penyelidikan kasus kartel narkoba di London. Kabarnya ada salah satu dari pejabat tinggi negara juga ikut terlibat di sana. Kau tidak apa-apa 'kan aku tinggal sendirian? Kalau butuh sesuatu, kau bisa menemui Bibi Alwen."

Callista mengerucutkan bibir. Meski tidak suka dengan apa yang disampaikan Robert, ia sudah tidak bisa merengek seperti anak kecil lagi hanya demi mencegah ayahnya yang kini adalah seorang letnan polisi agar tidak pergi. Sejak berusia enam belas tahun, Callista sudah terbiasa ditinggal Robert bertugas. Annette Bradley-ibunya-sudah tiada sewaktu ia masih balita karena sakit.

"Baiklah. Tapi kau tidak perlu menyuruh Bibi Alwen untuk datang kemari setiap hari, Ayah. Biar nanti aku yang pergi ke sana menemuinya jika perlu sesuatu," ujar Callista kemudian.

"Ya, aku mengerti. Putriku sekarang sudah besar." Robert tersenyum tipis.

Callista balas tersenyum lebar lalu kembali masuk ke dalam kamarnya. Ia sejak tadi sebenarnya ragu ingin menelepon Alaric. Di satu sisi, ia penasaran apakah pria itu telah baik-baik saja atau tidak. Tapi di sisi lain, ada rasa gengsi pula yang membuatnya jadi maju-mundur.

Namun, pada akhirnya gadis itu malah tak sengaja menekan tombol panggil di nomor Alaric yang ia dapatkan dari kartu nama yang pernah diberikan oleh pria itu.

Bersambung ...

Dr. Vampire: Who's The Predator?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang