07 - Illegal way? Doesn't matter.

44 2 0
                                    

"Yuck! What is this?" Samantha menutup hidungnya dengan gerakan mau muntah setelah mengintip bingkisan yang dibawa oleh Callista. "Kau bawa apa itu, Cale? Baunya amis sekali ...."

Callista yang baru datang ke kantor polisi langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi. Ia melirik sahabatnya sekilas lalu menjawab dengan intonasi datar. "Darah babi."

"DARAH BABI?!" Kedua mata Samantha sontak membelalak. "Buat apa kau bawa-bawa itu kemari?"

"Hanya untuk pembuktian."

"Pembuktian apa? Kau tidak melakukan ritual yang macam-macam, bukan?" tebaknya asal. Ia lalu mendekati Callista dengan tatapan memperingatkan. "Aku akan menghajarmu kalau kau sampai ikut sekte sesat atau organisasi penyembah setan, Cale!"

"Ck! Kau ini berlebihan sekali. Ngapain juga aku ikut-ikut organisasi seperti itu? Ayahku bisa membunuhku kalau dia tahu aku membelot."

"Lantas untuk pembuktian apa?"

"Kau 'kan tidak percaya padaku kalau dokter gadungan yang kemarin kita tangkap itu adalah vampir! Jadi, ya ... aku hanya ingin membuktikan kalau apa yang kulihat itu tidak salah. Dia bisa berubah menjadi monster penghisap darah sungguhan!"

Samantha yang mendengar hal konyol tersebut pun tertawa kecut. "Sepertinya kau benar-benar harus dirujuk ke rumah sakit jiwa, Cale! Otakmu sudah miring 90°."

"Oh, ayolah! Aku sedang tidak ingin bercanda, Sam!"

"Apa kau pikir aku sedang bercanda? Kau tidak bisa lihat seberapa serius mukaku ini?" tukasnya sementara Callista tampak tak peduli.

"Begini, pokoknya pulang kerja nanti kau harus ikut denganku. Kau mesti lihat sendiri."

"Tidak! Aku tidak mau ikut denganmu." Samantha melipat tangannya di depan dada sembari melengos. Ia kemudian duduk di kursinya kembali seraya memijat-mijat pangkal hidungnya dengan wajah frustasi. "Dengar, Cale, lupakan semua tentang dunia pervampiranmu itu. Kita berdua ini adalah detektif kepolisian di bawah naungan pemerintah. Kita harus bisa berpikir secara logis dan masuk akal. Gugatan tanpa bukti yang sah itu percuma!"

"Maka dari itu kita harus mencari bukti, Sam!" sanggah Callista.

"You're right! You absolutely right! But ... tidak dengan cara seperti ini. Itu namanya kau menjebak orang lain. Kau akan mencoreng citra kepolisian dan aku tidak ingin sampai Inspektur Hugh mengeluarkanmu dengan tidak hormat, Cale. Harusnya kau mengerti bagaimana perasaan sahabatmu."

"Tapi apakah kau juga memikirkan bagaimana perasaan dari keluarga semua korban yang tak bersalah itu?" tanya Callista kemudian. "Aku tidak tega melihat mereka menangis di pemakaman sementara kita tidak bisa memberikan keadilan karena tidak punya bukti yang kuat. Jadi, kumohon, Sam! Kali ini saja ...."

Samantha pun mengalihkan pandangannya ke arah lain. Gadis berambut cokelat kemerahan itu terdiam sejenak, merasa tertohok dengan perkataan Callista. Sebenarnya ia juga tidak tega melihat keluarga korban. Namun, ia sadar kalau dirinya tak memiliki keberanian sebesar Callista. Peraturan di sini juga mengikat. Mereka tidak bisa bertindak seenaknya.

"Baiklah, aku akan ikut denganmu. Tapi ingat, cuma sekali ini saja. Kalau setelah itu kita gagal, kau harus berjanji padaku untuk berhenti mencari bukti dengan cara yang ilegal, apalagi sampai membahayakan dirimu sendiri. Mengerti?"

Callista mengangguk seraya tersenyum gembira. "Oke. Terima kasih, Sam! Kau memang sahabatku yang terbaik," pujinya kemudian beringsut memeluk Samantha.

***

Langit tengah menggelap dan gumpalan awan raksasa tampak bergerak menjauhi gedung-gedung tua. Sudah hampir jam enam sore di sini. Lampu-lampu jalan satu per satu mulai menyala, menerangi setiap sudut kota.

Callista menghentikan mobilnya di depan rumah Alaric. Gadis itu segera melepas sabuk pengaman lalu turun sembari membawa sebuah bingkisan di tangannya.

"Hei, Cale! Tunggu, kau belum menjelaskan padaku, sebenarnya apa yang ingin kau lakukan dengan darah babi itu?" tanya Samantha seraya buru-buru menyusul Callista turun dari mobil.

"Ssst!" Callista meletakkan jari telunjuknya di bibir. "Kau hanya perlu melihat. Biar aku yang membereskan sisanya."

"Kau yakin? Maksudku, ini tidak berbahaya, 'kan?"

"Tidak, kau tenang saja," balasnya santai. "Ah ya, aku lupa. Apa kau bawa bawang putih?"

"Bawang putih? Buat apa?"

"Buat jaga-jaga. Kau tahu, dari asal-usul dongeng yang kubaca, sebagian orang Eropa abad pertengahan percaya bahwa vampir diciptakan oleh penyakit darah. Sehingga, mereka membawa bawang putih karena berpikir itu adalah antibiotik kuat yang bisa membunuh monster."

Samantha berdecak sambil mendesah malas. "Tidak, aku tidak bawa. Lagian ngapain juga aku bawa bawang ke mana-mana. Lucu sekali."

"Ya-ya, aku 'kan cuma bertanya. Siapa tahu kau bawa," balasnya membela diri. Callista kemudian mengamati sudut-sudut pagar, mencari tombol bel rumah yang ada di sana. Setelah ketemu, ia pun menekan tombol itu beberapa kali.

1 menit ...

3 menit ...

5 menit ...

Tak kunjung ada yang menyahut dari dalam. Suasana di sekitar sini juga sangat sunyi, seperti tidak ada kehidupan. Hanya terdengar suara jangkrik yang menggema di sepanjang jalan.

"Kelihatannya tidak ada orang," ujar Samantha pelan. Ia menoleh ke belakang, sedikit bergidik ngeri melihat jalanan kosong yang gelap. Rumah milik Alaric ini memang terletak paling ujung sehingga terkesan agak menakutkan karena terpisah dari deretan rumah-rumah lain. "Cale, lebih baik kita kembali besok saja. Perasaanku tidak enak ...."

"Tidak enak kenapa? Kau tidak perlu takut. Tidak ada hantu di sini," jawab Callista cuek seraya kembali menekan bel dengan gemas. "Kau sendiri yang bilang kalau kita harus berpikir secara logis."

"Iya, tapi-ah, sudahlah. Lupakan. Aku tidak pernah menang berdebat denganmu."

Gadis itu tersenyum miring lalu hendak menekan bel lagi. Akan tetapi, belum sempat jarinya menyentuh tombol untuk yang kesekian kali, ada suara seseorang yang tiba-tiba menyahut.

"Hei, bisakah sabar sedikit? Kau bisa merusak bel rumahku!" sahut Alaric melalui speaker penerima tamu yang terpasang di dekat pagar.

Callista mendengkus. "Oh, ada orangnya ternyata."

"Mau apa lagi kau datang kemari? Pulanglah, aku sedang sibuk."

"Tunggu! Aku datang baik-baik ke sini bersama temanku. Kami hanya ingin meminta keterangan lebih lanjut terkait peristiwa di klub malam kemarin. Kau bilang kau tidak mencoba membunuh wanita berambut pirang itu, bukan? Kalau begitu, seharusnya kau tidak keberatan jika kami hanya meminta keterangan singkatmu, Tuan Theodore."

"Huh, keterangan singkat? Aku tahu itu cuma akal-akalanmu saja."

Callista pun langsung menyenggol lengan Samantha agar ia ikut angkat bicara supaya pria itu percaya.

Samantha sontak terkesiap dan plonga-plongo bingung. "Uh-oh, umm ... maaf kalau kami datang tiba-tiba begini, Tuan Theodore. Tapi seperti apa yang sudah dikatakan barusan, kami datang kemari hanya ingin meminta keterangan singkat darimu untuk laporan investigasi. Oleh karena itu, kami harap kau dapat bekerjasama dengan baik."

"Cih! Kau pasti bersekongkol dengannya," tuduh Alaric. Suaranya terdengar meragukan ucapan Samantha.

"Tentu tidak, Tuan Theodore. Perlu kau ketahui, aku adalah seorang detektif yang sangat mematuhi peraturan."

Callista lanjut menimpali. "Bagaimana? Aku tidak berbohong, 'kan?"

Terdengar suara helaan napas.

"Merepotkan saja!" gerutu pria itu. Lalu, tak lama kemudian pintu pun berayun terbuka. Alaric terlihat berdiri sana sambil memasukkan satu tangannya ke dalam saku celana, menatap kedua gadis itu dengan tatapan skeptis. "Cepat masuk. Kalian cuma punya waktu selama 15 menit. Jangan salahkan aku kalau lebih dari itu aku tidak akan menjawab pertanyaan kalian lagi."

Bersambung ...

Dr. Vampire: Who's The Predator?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang