Bagian 4

0 0 0
                                    

"Sa-saya, Felisya Bassam,"

"Nama kamu indah,"

"Eh?"

"Ayo kita pulang, udah siang saya juga harus pergi kerja, kamu harus kuliah?"

"I-iya, Pak,"

Aku, Xavier dan Jojo pun berjalan pulang, sedikit bercanda bersama membicarakan tingkah Lidia yang aneh saat di restoran, membicarakan tentang perkuliahanku dan kebiasaan-kebiasaan yang sering aku lakukan. Saat sampai kami berhenti sebentar dan berpamitan. Aku masuk ke dalam rumah, mencuci tangan, minum segelas air dan mengambil ponselku untuk menelepon Jun.

"Hai bestie," sapanya

"Hai.. udah mandinya bestie?"

"Udah bestie, ini lagi pake baju mau liat bestie?"

"Heh! Dasar gila emang,"

"Haha, tunggu sebentar ya sayang. Pake baju dulu,"

Aku menunggu sebentar Jun memakai baju, saat selesai Jun bertanya, bagaimana perasaannya tadi berolahraga tanpa ditelepon olehnya. Aku pun menceritakan semuanya, bahwa aku berolahraga dengan tetangga sekaligus managerku dia bernama Xavier.

"Udah siap-siap ya kalo aku pergi udah ada penggantinya," ucap Jun

"Hah? Maksud kamu?"

"Iya, kalo aku pergi udah ada cadangannya, manager kamu itu,"

"Jun, bukan gitu. Masalahnya dia kan tunggu aku di depan, gak enak ju-"

"Iya, liat aja dia sampai tunggu kamu gitu. Dengan alasan bawa siapa? Jojo? Itu cuma alibinya aja, sebenernya dia mau deketin kamu dengan gunain Jojo,"

"Jun, gak gitu. Kalo kamu telepon juga aku bakal olahraga bareng dia meski ka-"

"Terus kamu ceritain tentang aku? Kita? Hubungan kita? Enggak, kan? Kamu takut ketauan dan rencana ka-"

"Jun, stop! Dulu juga kita pernah kayak gini, ngeributin soal cowok tapi akhirnya aku sama kamu kok, aku tau hubungan yang kita lalui ini itu gak mudah. Cuma udah dong Jun, jangan cemburu hal yang sepele, aku sama dia cuma sebatas tetangga, manager dan karyawan aja,"

"Sepele kamu bilang? Udahlah Sya, aku capek, aku harus pergi kerja, kamu juga harus pergi ke kampus." Jun mematikan teleponnya.

Dia memang egois atau memang aku yang salah? Tapi aku juga ada diposisi yang tidak bisa menentukan kemauan aku, Xavier sampai tunggu di depan rumah mana mungkin aku harus tolak. Aku juga harus jaga perasaan dia sebagai managerku, aku tidak mau karena alasan tidak olahraga bersama aku bisa dipecat.

Aku pergi ke kampus sambil mencoba menelepon Jun, tetapi ponselnya terus tidak aktif. Di dalam kelas aku terus tidak fokus dengan pelajaran yang diterangkan oleh Dosen, karena pikiranku terus memikirkan Jun. Aku yakin dia tidak akan kekanak-kanakan seperti ini, aku yakin dia hanya butuh waktu untuk memikirkan apa yang aku buat ini salah atau benar, aku juga yakin hubungan kita akan baik-baik saja, seperti yang sudah kita lalui bersama.

Selesai kelas aku pergi ke toko buku dekat restoran, toko buku yang dijaga oleh orang yang disukai oleh Lidia. Aku memilih buku, membayarnya dan langsung membaca di sana, aku juga masih mencoba untuk menghubungi Jun, tetapi ponselnya sekarang di mode sibuk. Air mataku perlahan mengalir, memikirkan bagaimana jika hubungan ini sudah tua untuk menahan semua serangan dari luar, bagaimana jika hubungan ini akan berakhir begitu saja.

"Ke-kenapa ceritanya relate banget sama aku sekarang?" batinku sambil air mata terus mengalir.

Tiba-tiba seseorang mengulurkan sebuah sapu tangan, aku melihat ke arah tangan itu. Seorang pria tinggi sedang tersenyum tipis dan berdiri di depanku. Vian atau biasa Lidia sebut Mpi.

TERNYATA KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang