4-Elena O'Hara

45 1 0
                                    

Berkali-kali aku mengecek jam tanganku, memastikan kalau Niall tidak telat. Ia bilang akan menjemputku karena kami ingin sleepover di rumahnya. Aku mendongak, berbeda dengan waktu itu, langit tidak hanya berubah menjadi warna oranye saja, tapi juga merah muda lembut. Memandangi langit sore adalah salah satu kegiatan kesukaanku, apalagi mengamati perubahan warna, rasanya menyenangkan. Seperti seniman yang sedang melukis di atas kanvas putih, ia bisa menuangkan berbagai macam warna, sehingga kanvas putih itu menjadi indah.

"El?" merasa namaku dipanggil, aku menoleh. Ternyata Niall. Ia memakai hoodie berwarna abu-abu dan snapback berwarna senada. Bagaimana bisa ia terlihat mengagumkan hanya dengan memakai setelan kasual?

"Kenapa lama sekali?" tanyaku sambil berusaha berdiri.

Niall menggenggam tanganku, membantuku untuk berdiri. "Aku bertengkar dulu dengan Jo. Dia bilang akan datang sendiri tanpa perlu dijemput, tapi aku menolaknya. Seperti biasa, ia selalu menang dalam argumen seperti itu. Menyebalkan."

"Memangnya kenapa Jo tidak mau di jemput?" tanyaku lagi.

Niall mengangkat bahunya.

Kami berjalan dalam diam. Aku selalu memperhatikan Niall di setiap kesempatan yang kupunya dan aku mendapatkan fakta mengejutkan. Niall selalu diam kalau kami berdua saja, ia jarang sekali bersikap hiperaktif seperti yang selalu ia tunjukkan pada Jo, membuatku terus berpikir kalau sebenarnya Niall menyukai Jo. Mungkinkah?

"Aku selalu ingin menanyakan ini padamu, hanya saja aku selalu lupa. Kenapa kakimu bisa pincang seperti itu?" Niall mengarahkan matanya ke kaki kananku.

Aku menghela nafas panjang. "Aku terjatuh di tangga. Kau tahu sendiri kalau aku ini agak ceroboh."

"Benarkah?" Niall mengangkat sebelah alisnya. "Menurutku, kau lebih hati-hati dari yang kau kira."

Aku menahan nafas. Mungkin Niall mendengar kabar kalau aku dan Cassie bertengkar di aula? Kalau memang benar, Niall pasti akan kecewa mendengar kabar itu.

"Lain kali lebih hati-hati, oke? Aku tidak bisa melihat orang yang dekat denganku terluka," ucap Niall. Ia merangkul bahuku lembut dan mencium pipiku. Aku menatap Niall yang terlihat biasa saja, ia benar-benar ingin aku mati lebih cepat. Suara detak jantungku menggema di telinga, aku berharap agar Niall tidak mendengar suara detak jantungku.

Detik selanjutnya, aku menyadari kalau perlakuannya itu hanyalah sikap seorang sahabat saja. Ia sering merangkul bahu Jo, jadi sikapnya tadi hanya sikap menghibur. Bodohnya aku bisa terlena dengan sikap lembutnya. Kenapa aku selalu menyalah artikan sikap Niall yang selalu ramah pada semua orang? Kuingatkan diriku sekali lagi, kalau statusku hanyalah seorang sahabat dari Niall. Hanya itu dan tidak lebih.

***

"Apa yang kau lakukan pada dapurku, Jo?" Niall dan aku baru sampai di rumahnya. Kami langsung mengarah ke dapur karena mendengar suara pekikan Jo. Aku dan Niall menemukan Jo sedang berdiri di dapur dengan baju yang kotor terkena saus tomat.

Jo menggeleng. "Tidak ada, aku hanya ingin membuat spaghetti untuk nanti malam saat kita menonton film, hasilnya malah seperti ini."

Niall menghela nafas panjang. "Kau jangan terlalu memaksakan diri. Aku tahu kau tidak bisa memasak, kalau kau tetap memaksakan diri, aku bisa sakit perut nanti."

Aku tertawa pelan, Jo merengut, dan Niall ikut tertawa. Aku berjalan pelan ke arah kulkas, lalu menatap Jo. "Kita sudah tidak bisa menyelamatkan saus tomat itu lagi. Aku bikin sandwich saja, ya?"

Niall mengangguk semangat. "Bagus, kalau El yang membuat makanannya, aku tidak perlu khawatir akan mendapat sakit perut setelah makan nanti. Masakan buatan selalu terjamin rasanya."

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang