Aku benar-benar merasa tidak enak pada El dan Niall, aku sadar mereka berdua sedang mencoba mengungkapkan perasaan masing-masing, tapi dengan lancangnya aku mengganggu mereka berdua. Aku sudah mencoba untuk membujuk Mrs. Bradley dengan berbagai macam alasan yang kupunya di kepalaku, tapi tetap saja Mrs. Bradley ingin bertemu denganku dan kedua sahabatku untuk membicarakan kelulusan. Mau tidak mau, aku harus menuruti beliau sebelum aku didepak keluar dari sekolah.
Baru saja aku ingin santai dan tidur di ruang musik saat El dan Niall bernyanyi, tapi tiba-tiba si pirang itu menghampiriku dengan ponsel di tangannya. Ia bilang bibi Maura ingin bicara denganku dan menyuruhku untuk datang kerumahnya. Niall sempat menanyakan tujuan bibi Maura mengajakku ke rumahnya, tapi aku hanya mengangkat bahu sebagai jawaban. Dan disinilah aku, di rumah Niall dengan bibi Maura dan paman Bobby yang duduk di depanku. Beliau bilang ada hal penting yang ingin mereka diskusikan denganku.
"Kenapa bibi tahu kalau Niall sedang bersamaku?"
"Niall bilang ia akan bersamamu dan Elena seharian ini. Jadi, bibi kira, kenapa tidak mengundangmu untuk berdiskusi tentang Niall saja, kau kan sahabatnya sejak kecil," jawab bibi Maura.
Aku menganggukkan kepala sopan. "Jadi, apa yang ingin bibi diskusikan denganku?"
Bibi Maura dan paman Bobby berpandangan sambil tersenyum. "Kami setuju untuk mengikut sertakan Niall dalam salah satu ajang pencarian bakat, karena bibi kira ia sangat suka bernyanyi, kenapa tidak sekalian bibi ikut sertakan saja, bagaimana menurutmu, Joanna?"
Senyuman mengembang di wajahku. Kalau memang untuk kebaikan Niall kenapa tidak? Tapi seingatku, kalau ia berhasil lolos, maka ia harus menginap disana dan tidak bisa pulang. Lalu, bagaimana dengan El? Apa ia juga akan setuju dengan keputusan bibi Maura? Sial, posisiku serba salah sekarang.
"Kurasa lebih baik tanyakan dulu pada Niall, maksudku ia adalah orang yang akan menjalani tantangannya, kan? kalau ia tidak siap, lebih baik kita menunda saja sampai tahun depan?" usulku. Lagi-lagi bibi Maura dan paman Bobby berpandangan, lalu mengangguk bersamaan.
"Usul Jo memang baik. Kita harus membicarakan ini pada Niall, kau sendiri Jo? Apa kau akan mendukung Niall? Pada saat seperti itu, ia butuh dukungan moral dari orang disekitarnya," tanya paman Bobby.
"Tentu saja. Apapun keputusan Niall aku akan mendukungnya. Niall adalah sahabat baikku."
Aku sudah memberikan jawaban yang baik untuk kedua orangtua Niall, tapi bagaimana caranya aku menceritakan ini pada El? Bagaimana kalau El marah padaku karena aku tidak memberitahukan ini padanya? Atau yang lebih parah lagi, ia akan berkata kalau dirinya baik-baik saja, tapi ia akan menangis sendirian? Cih, terkadang aku merutuk posisiku yang harus memuaskan semua orang.
***
Hari ini adalah hari kelulusanku, El dan Niall. Aku sudah beberapa kali melihat penampilan El dan Niall dan yang seperti kuperkirakan mereka tampil dengan sangat luar biasa, aku saja sampai terpukau. Beberapa hari yang lalu, aku dan El sudah membeli gaun yang dipersiapkan untuk hari ini. El memilih untuk memakai gaun panjang berwarna pastel, ia memastikan setiap inci kulitnya tertutup dengan gaunnya, dan aku mengambil gaun panjang berwarna hitam, warna-warna cerah selalu membuat mataku sakit.
Niall dan El sudah berada di depan rumahku dengan setelan formal, aku keluar tanpa merasa repot dengan gaun panjangku. Berbeda dengan El yang sepertinya agak susah untuk menyesuaikan diri dengan gaunnya.
"Aku tidak tahu kalau kau bisa berjalan dengan high heels," ucap El.
Aku terkekeh pelan, tidak menjawab. Aku mengangkat gaunku dan memperlihatkan alas kakiku yang sangat berbeda dengan El, aku memakai sepatu kets berwarna hitam agar terlihat cocok dengan warna yang kupakai. Niall terbahak melihat sepatuku, sementara El tercengang tidak percaya.
"Kau itu benar-benar, Jo. Kukira kau mulai normal karena mau memakai gaun, tapi ternyata sisimu yang ini belum hilang juga ya?"cetus Niall masih tertawa.
El menggelengkan kepala. "Lebih baik aku membantu bibi menyiapkan kuenya."
Ibuku memang akan mengirimkan kue buatannya untuk pesta kelulusan kami, beliau bilang lebih baik aku memakan kuenya daripada memakan sesuatu yang tidak jelas komposisinya di pesta nanti. Agak berlebihan, aku tahu.
Sesaat setelah El pergi, aku menatap Niall tajam. Mengisyaratkan dirinya dan El tanpa suara, Niall tentu saja mengerti apa yang kumaksud. Niall sudah memutuskan untuk mengikuti ajang pencarian bakat itu, orangtuanya sangat senang dengan keputusannya, aku juga ikut senang, tapi El masiih menjadi pikiranku karena sampai sekarang ia belum tahu.
"Kenapa kau belum memberitahunya?" tanyaku tajam.
Niall menghela nafas. "Aku bingung bagaimana mengatakannya, aku takut emosinya menjadi tidak stabil dan malah merusak acara hari ini. Aku takut, Jo..."
Aku menggelengkan kepalaku dan menghembuskan nafas pelan. Aku sudah pernah mengusulkan kalau aku saja yang akan mengatakan ini pada El, tapi Niall menolak dengan alasan ialah yang mengikuti ajang itu, bukannya aku. Terkadang aku merasa kalau Niall-lah yang sebenarnya keras kepala, bukan aku.
"Dengar Niall, kalau kau tidak mengatakan padanya hari ini, aku sendiri yang akan mengatakannya, oke?" aku menunjuk Niall, menegaskan maksudku.
"Apa yang kalian bicarakan?" El muncul dari dalam rumah dengan membawa satu kotak besar yang kuyakin berisi kue buatan ibuku.
Niall menatapku, menyuruhku untuk menjawab pertanyaan El tanpa suara. "Kami hanya membicarakan bagaimana si pirang ini bisa lulus, yang ia lakukan hanyalah bermain bola, membuatku curiga."
El tertawa. "Kau ini jahat sekali, Jo. Niall kan sudah berusaha sekuat tenaga untuk bisa lulus."
"Jahat adalah nama tengahku, El," aku nyengir kuda. "Omong-omong Niall, apa yang yang kau lakukan disana? Kenapa tidak membantu El? Kau yang laki-laki disini, bawakan kotak itu untuknya."
"Kau yakin hanya aku laki-laki disini? Lalu bagaimana denganmu?" balas Niall.
"Kalau aku masih harus diteliti lebih lanjut," balasku sarkas. El menyerahkan kotak besar itu sambil tertawa.
Tidak kusangka, perjalanan ke sekolah terasa sangat cepat. Seperti yang kuduga, banyak gadis yang memakai gaun dengan warna cerah, membuat mataku sakit seketika. Sekilas, aku melihat Cassie dengan gaun berwarna merah marun dengan glitter yang memenuhi seluruh gaunnya, benar-benar terlihat seperti Cassie yang selalu ingin mencari perhatian orang lain.
Niall dan El langsung pergi ke ruang musik karena mereka harus gladiresik terakhir sebelum tampil, aku menemukan tempat yang tidak terlalu mencolok, tapi juga strategis untuk melihat mereka berdua tampil. Saat itu juga aku menyadari kalau Cassie mendekat kearahku.
"Warna gaunmu bagus, seperti ingin pergi ke pemakaman," sindir Cassie.
Aku tersenyum paksa. "Gaunmu juga, sampai membutakan mata siapapun yang melihatnya."
Cassie menatapku tajam, tidak terima aku mengkritiknya balik. Aku masih mempertahankan senyumanku, walaupun itu hanya karena terpaksa. Aku mendengar lagu Bon Jovi, Never say goodbye dimainkan. Ah... cocok dengan suasana akan berpisah dengan teman-teman sekolah. Aku dan Cassie masih beradu tatapan, dan ia pergi setelah merasa kalah. Menganggu hariku saja.
Ketika aku melihat kearah panggung, Niall dan El sudah berada disana. Raut wajah mereka berdua jelas menandakan kalau mereka sedang gugup. Wajar saja, mereka tidak pernah bernyanyi didepan banyak orang sebelumnya, minus aku dan keluarga kami. Lampu mulai redup dan Niall mulai mengangkat mikrofonnya.
Shut the door
Turns the light off
If i wanna be with you
I wanna feel your love
I wanna lay beside you
I cannot hide this, even though i try
Heartbeats harder
Time escapes me
Trembling hands touch skin it makes this harder
And the tears stream down my face
Kali ini suara El yang mulai menggema di aula. Ia menutup matanya, mencoba menghayati isi lagunya, Niall menatap El dengan pandangan yang sulit diartikan.
If we could have this life for one more day
If we could only turn back time
Niall kembali mengangkat mikrofonnya. Seperti yang kukatakan berkali-kali kalau suara mereka sangat menyatu ketika mereka bernyanyi bersama.
You know i'll be your life, your voice, your reason to be
My love, my heart is breathing for this
Moment, in time
I'll find the words to say
Before you leave today
El kembali dengan solo. Lagi-lagi aku melihat kilatan yang tidak asing di mata Niall. Aku tidak tahu apa yang lain menyadarinya, tapi aku sangat yakin kalau kilatan dimatanya adalah ungkapan perasaannya.
Flasing lights in my mind
Going back to the time
Playing games in the street
Kicking balls at my feet
There's a numb in my toes
Standing close to the edge
There's a pile of my clothes
At the of your bed
As i feel myself fall
Make a joke of it all
Dan mereka menyelesaikan lagunya dengan suara yang menyatu lagi. Dari sudut mataku aku bisa melihat Cassie yang sedang melihat mereka berdua dengan tatapan tajam, membuatku menyeringai puas.
You i'll be your life, your voice, your reason to be
My love, my heart breathing for this
Moment, in time
I'll find the words to say
Before you leave today
Mereka memilih lagu ini karena akan ada perpisahan dengan teman-teman mereka, juga untuk mengatakan perasaan mereka yang terpendam. Tapi, saat Niall mengatakan ia akan pergi barulah makna lagu ini akan mereka rasakan. Ironis sekali.
Niall melihat kearahku meminta pendapatku. Aku mengangguk dan melihat Niall mengajak El untuk pergi keluar dari aula. Yah... yang bisa kulakukan adalah melihat reaksi mereka saat mereka merasakan makna lagu yang baru saja mereka nyanyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
With You
Fiksi PenggemarBanyak kata ingin disampaikan, tapi tidak bisa terungkapkan. Banyak hal yang ingin dilakukan, tapi tidak bisa terwujudkan. Hanya dengan bersamanya, aku tidak perlu mengungkapkan. Hanya dengan melihatnya, mimpiku sudah terwujudkan. Bagaimana bisa han...