8- Elena O'Hara

31 2 0
                                    

Aku dan Niall berpandangan sejenak lalu menatap Jo seperti ia memiliki kepala tiga. Jo bilang kalau kami harus datang ke rumahnya setelah pulang sekolah, karena orangtuanya sedang menjenguk saudaranya dan ia tidak diperbolehkan ikut. Kukira kami disuruh datang untuk menemaninya, tapi ia malah mengikat tanganku dan Niall!! Jo sendiri terlihat masa bodo dengan tatapan kesalku dan Niall, ia malah melempar tas sekolahnya dan duduk bersandar di sofa.
"Jo, apa-apaan ini?"
Jo menatapku malas sambil menyeringai samar. Aku melirik Niall untuk meminta bantuannya agar Jo mau melepas ikatannya ini. Kalau aku atau Niall membuka ikatan ini, ia mengancam tidak akan berbicara pada kami selama satu bulan, membuatku dan Niall berpandangan pasrah. Terkadang aku merasa kesal memiliki sahabat yang keinginannya harus selalu dituruti seperti Jo.
"Kenapa tidak ada yang berbicara?" tanya Jo tanpa menatap kami. Ia menutup matanya dan melipat tangannya didepan dada. Posisi seperti itu adalah posisi Jo ketika ia ingin mendengarkan sesuatu yang serius.
"Kenapa kau harus mengikat kami?" balasku.
Jo menyeringai. "Touche."
Niall menghela nafas panjang. "Ayolah Jo, kita bukan anak kecil lagi. Jadi, permainan seperti ini sudah tidak digunakan lagi. Katakan saja apa maumu."
Seringaian Jo melebar, mirip seperti kucing yang ada di film Alice in Wonderland. Astaga... kenapa aku merasa ucapan Niall malah membuat situasi semakin rumit ya?
"Baiklah, aku ingin kalian berdua diam disini dan mengungkapkan apa yang kalian rasakan pada yang lainnya sementara aku akan tidur di kamarku sebentar. Kalau sudah selesai, kalian hanya tinggal meneriakkan namaku dan aku pasti akan bangun."
Tanpa bisa kutahan, wajahku memerah, aku tidak tahu bagaimana ekspresi Niall karena aku menundukkan wajahku agar ia tidak bisa melihat betapa merahnya wajahku sekarang. Jo tertawa kencang melihat kami berdua sebelum beranjak dari posisinya.
"Kau," tunjuk Jo kearahku. "Ungkapkan yang sebenarnya, aku tidak mau ada kesalahpahaman lagi. Dan kau," tunjuk Jo kearah Niall. "Cepatlah sadar dengan perasaanmu dan ungkapkan pada El. Ingat kalau kalian membuka ikatan itu sendiri, aku tidak akan berbicara pada kalian selama satu bulan. Nikmati waktu kalian." Jo langsung pergi setelah menyelesaikan kalimatnya.
"Joanna Milligan!! Aku akan menggantungmu di langit-lagit rumah nanti!!" teriak Niall. Jo tertawa kencang lagi.
"Ancamanmu itu tidak sekejam ancamanku, Ni."
Terdengar suara pintu tertutup dari lantai dua, pertanda kalau Jo sudah masuk ke kamarnya dan bersiap untuk tidur. Aku menggelengkan kepala dengan sikap Jo yang seenaknya, dari dulu ia memang selalu menjadi orang yang seenak jidatnya kalau melakukan sesuatu. Merasa diperhatikan, aku melihat kearah Niall dan menyadari kalau sejak tadi ia sudah menatapku. Lagi-lagi wajahku memanas.
"Mau bagaimana lagi? Jo memang seenaknya sejak dulu, kan? kau mau duduk di sofa?" tanya Niall. Aku mengangguk, menyetujui.
"Jadi... apa yang Jo maksud dengan 'ungkapkan yang sebenarnya'?" tanya Niall lagi.
Dalam hati aku mengutuk Jo yang sudah mengucapkan kalimat itu tanpa pikir panjang. Sekarang bagaimana caranya aku menjelaskan? Apa aku harus langsung berkata kalau aku menyukai Niall lebih dari teman atau aku harus menutupi perasaanku lagi dengan kebohongan yang lain agar persahabatan kami masih tetap berjalan? Astaga... apa selalu serumit ini kalau ingin menyatakan perasaan pada seseorang?
"El? Hey, kenapa malah melamun?" Niall menepuk bahuku beberapa kali, membangunkanku dari pikiran yang berseliweran dengan liarnya.
"Maaf, aku hanya bingung bagaimana mengungkapkannya, hehe.."
Niall tertawa. "Apa sesusah itu mengungkapkan sesuatu pada sahabatmu dari kecil?"
Aku merengut, apa ia kira semudah itu? Maksudku, kalau ia tidak memiliki perasaan yang sama denganku, persahabatan kami yang dipertaruhkan dan aku akan tambah menyesali kata-kataku nanti.
"Kalau begitu kenapa kau tidak menyatakannya duluan? Kenapa juga Jo berkata kalau kau harus menyadari perasaanmu dan ungkapkan padaku?" balasku.
Niall bungkam. Sepertinya ucapanku barusan tepat mengenai titiknya. Aku masih menatap Niall dengan tatapan mengintimidasi, aku ingin tahu apa yang ia pikirkan tentangku, bukan sebagai sahabatnya, tapi sebagai seorang gadis. Aku jadi ingat ucapan Jo yang berkata kalau Niall hanya menganggap dirinya sebagai adik yang tidak diinginkan, sementara Niall memiliki bayangannya sendiri terhadapku. Sebenarnya bayangan apa yang dipikirkan Niall terhadapku.
"Niall?"
"Hm?"
"Sebenarnya apa pendapatmu tentang aku? Bukan sebagai sahabat kecilmu, tapi sebagai seorang gadis?" tanyaku. Niall menundukkan kepalanya, menghindari tatapanku yang menyiratkan rasa penasaran.
Hening sejenak. Tidak ada yang berbicara, yang terdengar hanyalah suara musik yang disetel dengan suara keras dari atas, mungkin dari kamar Jo. Mungkin Jo tidak ingin mendengar pembicaraanku dan Niall, yah, setidaknya ia masih mengetahui apa itu privasi.
"Kau... menurutku kau adalah gadis yang baik, ramah, suaramu membuatku terpukau, caramu menjagaku dan Jo juga membuatku nyaman berada di sekitarmu, kau melindungiku saat aku tidak tahu, bahkan kau juga orang yang bisa membujukku untuk melakukan sesuatu. Saat melihatmu terluka... aku tahu aku tidak bisa melihatmu terluka lagi, apalagi penyebabnya adalah aku. Secara insting, aku ingin terus melindungi kalian berdua, terutama kau, El. Tanpa bisa kutahan, aku selalu mencari sosokmu, telingaku ingin mendengar suaramu, aku ingin selalu berada di sekitarmu. Kukira, perasaan ini hanyalah perasaan sebatas sahabat kecil, tapi aku tidak merasakan hal yang sama terhadap Jo," jelas Niall. Ia masih belum menatapku, wajahnya tertunduk seakan takut menghadapiku.
"Benarkah itu?" bisikku tidak percaya.
Niall mengangguk. "Aku sudah diinterogasi oleh Jo sebelumnya. Memar di bahuku-lah yang menjadi buktinya. Ia ingin aku sadar dengan perasaanku sendiri," Niall menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
Aku terkekeh pelan. Sampai segitunyakah Jo ingin membuat kami mengakui perasaan satu sama lain? ia menginterogasi Niall dan berkali-kali memberiku petunjuk untuk tidak meragukan Niall. Kalau ada pemilihan sahabat paling baik, aku yakin ia bisa menang.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa yang kau pikirkan terhadapku?" Niall mengangkat kepalanya dan balik menatapku.
Sudah saatnya aku mengatakan yang sebenarnya, Niall sudah berani menyatakan pendapatnya tentang aku, rasanya tidak sopan kalau aku tidak membalasnya juga. Aku menghela nafas panjang untuk menenangkan detak jantungku yang mulai liar lagi, bisa kurasakan wajahku memanas dengan perlahan.
"Aku merasa... aku merasa kalau kau adalah sahabat yang baik, kau peduli dengan keadaanku, kau bahkan melakukan hal seperti kemarin untuk melindungiku dan Jo, kau baik, kau membuatku nyaman dengan kehadiranmu, kau adalah orang yang luar biasa menurutku. Kau pandai bernyanyi, permainan gitarmu membuatku tersenyum setiap kali aku mendengarnya, kau juga selalu memakan masakanku. Kalau Jo tidak menyadarkanku tentang perasaan nyamanku padamu, mungkin aku juga tidak akan menyadarinya. Perasaanku padamu juga berbeda dengan perasaanku pada Jo," aku menghela nafas lega, akhirnya aku bisa menyatakannya dengan baik. Rasanya gugup menyatakan perasaanku secara langsung.
Lagi-lagi Niall terdiam. Ia masih tetap menatapku, tapi mulutnya tidak bergerak untuk mengucapkan sepatah kata, dan hal itu kembali membuatku gugup. Apa perasaan Niall kepadaku berbeda dengan perasaannya kepada Jo karena aku hanya sahabatnya saja? Atau ia hanya menganggapku teman kecil dan tidak lebih dari itu? Bagaimana kalau ternyata pengertianku salah paham dan akhirnya mengakibatkan persahabatan kami berantakan? Astaga... apa yang sudah kulakukan.
"El, aku...emm..aku..-"
"Guys, kalian sudah selesai? Kita ada latihan untuk kelulusan, lho. Panitia yang lain memarahiku karena aku terus memberi keringanan untuk kalian. Jadi, sekarang aku terpaksa harus menyeret kalian ke sekolah untuk latihan lagi. Cih, aku tidak suka menjadi panitia kelulusan," Jo tiba-tiba masuk ke dalam ruangan dan mengoceh panjang lebar. Ia membuka ikatanku dan Niall lalu benar-benar menyeret kami keluar dari rumahnya menuju sekolah.
"Hey, kenapa tidak ada yang menjawabku?" tanya Jo lagi.
Niall mendengus pelan. "Kalau aku bilang kami belum selesai bicara, apa kau akan membiarkan kami tetap berada di rumahmu?"
Jo berpikir sebentar lalu menggelengkan kepalanya. "Maafkan aku, walaupun sebenarnya aku mau meninggalkan kalian berdua, tapi Mrs. Bradley akan marah besar kepadaku kalau aku terus membiarkan kalian bolos. Ini juga sangat merepotkan untukku, tahu."
Aku dan Niall tertawa dengan ekspresi wajah yang ditampakkan Jo. Ia terlihat memelas dengan memikirkan hukuman yang akan ia terima dari Mrs. Bradley, aku tidak menyalahkan Jo, kalau aku berada di posisinya pun, aku juga akan memaksanya dan Niall untuk latihan. Tapi, aku penasaran dengan apa yang ingin diucapkan Niall padaku. Bagaimana pun juga, Jo muncul di waktu yang salah, dan aku sedikit merasa kesal padanya.
"Oi, ayo cepat. Kalau kalian tidak ada di sekolah lima menit lagi, akulah yang akan menjadi sasarannya."

With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang