4.Ji'tu

3 0 0
                                    

Anggap aja Ayra sama ustadzahnya ngomong pake bahasa arab ya.. soalnya aku nggak bisa bahasa arab fusha. Yang aku tahu biasanya orang sana kalo ngomong keseharian pakai arab fusha.

*****

"Jadi kamu beneran mau pulang ke Indonesia?" Tanya ustadzah Zainab, selaku pimpinan pondok putri tempat Ayra sekolah sekarang.

"Iya ustadzah, kalo ustadzah meizinkan."

"Saya pasti mengizinkan Ayra, kami tidak memaksa kamu tetap bertahan di sini. Mungkin ini memang sudah waktunya kamu berdakwah di daerahmu. Jangan lupa untuk sesekali berkunjung kemari, kami pasti merindukanmu." Ucap Ustadzah Zainab dengan senyumannya.

Sebenarnya dia agak sedih melepas salah satu murid kesayangannya ini, tapi mau bagaimana lagi, mungkin memang sudah tiba waktunya.

"Sampaikan salam saya kepada guru-guru dan murid-murid di sana."

"InsyaAllah ustadzah...."

***

Hari yang Ia tunggu telah tiba.

Selain pulang karena meninggalnya Hasna dan sakitnya kiai Abdul Ghofur, empat hari yang lalu ia juga mendapat kabar bahwa ayahnya sedang sakit, itu semakin membuatnya semangat untuk pulang.

Tapi ia sedih, akan meninggalkan negri yang penuh dengan orang-orang yang dekat dengan Allah ini. Tapi ia berjanji pada dirinya sendiri, bi idznillah dia akan kembali untuk berkunjung.

Ayra sedang berada di dalam bis khusus untuk perempuan. Sekitar 25 menit lagi ia sampai di bandara. Kali ini ia pulang berombongan dengan para santri Jakarta yang memang jadwal pulang. Barulah ketika sampau di Jakarta ia di jemput abangnya, sampai rumahnya di pasuruan.

***

Zean memandang pemandangan kota Pasuruan dari atas loteng dengan lisan yang tak lepas mengucap dzikir.

Ia baru saja kehilangan 'istri'nya Yang baru pernah dua kali ia ajak ngobrol. Sisanya... ia mengajak ngobrolnya ketika koma.

Zean tidak bisa memungkiri perasaannya, ia masih menyukai Ayra. Walaupun ia tidak pernah tahu bagaimana wujud Ayra, tapi kekagumannya yang berubah menjadi cinta itu sudah menuncah ruah.

Selama kurang lebih empat bulan  ini, dia mencoba mencintai istrinya, tapi sulit. Begitu sulit.

Tapi ia tidak mungkin langsung melamar Ayra sedangkan istrinya baru saja meninggal.

Kenapa dia berasa sangat jahat di sini?

***

Akhirnya.

Ayra mengitarkan pandangannya ke seluruh penjuru bandara, mencari abangnya. Ya.. dan dapat, abangnya-Zidan sedang melambai-lambai ke arahnya di samping kedai teh poci.

Tidak perlu lama, Ayra langsung berjalan menuju abangnya dan langsung memeluknya.

Lima tahun tidak bertemu Zidan jadi....

"Kok abang gendutan?" Kalimat yang begitu saja meluncur dari mulut Ayra yang langsung membuat raut Zidan menjadi datar.

"Hehe... udah ayo cepet pulang," Ayra langsung menarik nangan Zidan tanpa peduli wajah Zidan yang masih datar. Tapi melihat semangat adiknya, senyumnya kembali mengembang selebar tubuhnya-eh ralat- selebar-lebarnya.

***

Berita Ayra akan datang hari ini sudah menyebar ke seluruh penjuru pesantren. Setelah kesedihan karena meninggalnya Hasna dan sakitnya kiai Abdul Ghofur, kini ada hal yang membuat semangat mereka bangkit.

Walaupun masih sakitnya kiai Abdul Ghofur masih membuat sedih mereka.

Ayra kini sudah sampai kota tercintanya. Lebih lima tahun ia tinggal, lumayan banyak hal yang berubah.

Kunjungan awalnya saat ini ialah, rumah. Ia akan bermalam dulu di rumah tiga hari, baru nanti berkunjung ke pesantren Darul Muttaqin beberapa hari. Tapi rencananya, malam ini ia langsung berkunjung ke rumah sakit untuk membesuk kiai Abdul Ghofur.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikumsalam...anakku..." Saudah -ibu Ayra- tidak bisa membentung tangisannya. Mendengar salam dan di bukanya pintu, dia langsung menyahut dan berjalan cepat memeluk anaknya.

Lima tahun bukan waktu yang sebentar bagi seorang ibu berpisah dengan anaknya, apakan lagi Ayra adalah anak perempuan satu-satunya.

"Gimana kabar ummi?" Tanyanya masih dalam pelukan erat ibunya.

"Alhamdulillah ummi baik nak, abimu juga mulai sehat. Mari kita ke kamar,"

Tidak jauh dari pintu depan, mereka sampai di kamar ayah dan ibunya.

Membuka pintu, mereka dihadiahi pebandangan ayah yang sedang membaca kitab 'Hidayatullasakin' dengan kacamata yang bergeger di telinganya.

Dia mungkin masih sulit untuk duduk bersila, jadi dia duduk dengan bersandar ke dinding.

"Assalamu'alaikum abi..."

"Wa'alaikumsalam.. Ay.." mendengar suara salam Ahmad-abi Ayra- langsung menutup kitabnya lalu mengambut salam anaknya. Setelah salim Ayra langsung memelum ayahnya pelan.

"Langsung sehat abimu Ay, karena denger kamu mau dateng." Ucap Ummi Saudah diakhiri kekehan.

"Nggak seneng gitu liat Zidan dateng?" Sahut Zidan agak sewot.

"Tiap hari liat muka kamu tu Zid, bosen ummi." Canda Ummi  Saudah yang membuat hidung mancung Zidan kembang kempis di sengajakan.

"Udah, nanti makin lebar itu hidung Zid," sahut Abi Ahmad.

"Ini kenapa malah Zidan yang dibully sih?" Kesalnya.

"Harus latihan sabar, bentar lagi nikah juga." Ucap ummi saudah yang membuat Ayra terkejut.

"Oiya ummi? Kok Ayra nggak dikabarin?"

"Biar suprise," bukan ummi yang menyahut, tapi Zidan.

"Sama saha?"

"Temen sekelas kamu dulu itu, yang pernah dateng ke sini pas kelas 3 wustho." Jawab ummi.

Ayra berpikir keras, siapa yang pernah datang ke rumahnya selain Hasna?

"Ohh.. Fatya!"

Masih ingat Fatya? Yang suka nanyai Ayra tentang Zean.

Baiklah, Zidan tiba-tiba jadi malu, ia memilih langsung keluar saja.

"Salting dia Ay," ucap Ummi diakhiri kekehan. Ayra mengulumkan senyumnya.

Ternyata kakanya akan menikah dengan sahabatnya yang dulu pernah di marahi abangnya karena memberi makan ikannya kelebihan dan berakhir ikan itu mati.

Jatuh cinta ternyata. Haha.

Sejenak Ayra melupakan tentang cintanya sendiri.

****

Hampa nggak si nggak ada Author note? Kalo kepanjangan nggak kebaca juga si.

Ini Ayra(mini Series)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang