Tangisku pecah tanpa bisa kukendalikan lagi. Aku tiba-tiba saja merasa sendirian di dunia ini. Biasanya disaat aku hancur karena perlakuan ayah, ada sultan yang selalu menenangkanku. Ya, meski aku tahu dia hanya berperan sebagai teman yang baik, tapi itu sudah cukup bagiku. Setidaknya aku tidak merasa sendirian. Setidaknya masih ada orang yang peduli dengan kesedihanku. Tapi sekarang... Tidak ada lagi yang berada disisiku...
Aku mengedarkan pandanganku kesana kemari mencari keberadaan mobilku. Tapi nihil. Mobil berwarna putih mengkilap itu tidak terlihat dimanapun. Pasti pak Imron sengaja pergi meninggalkanku. Dan seperti yang sudah-sudah, dia baru akan kembali setelah dua atau tiga jam lamanya. Sesuai perintah ayah yang mengharuskanku menghabiskan waktu dengan sultan.
Aku tertunduk pasrah. Tidak mungkin aku kembali lagi ke dalam sana. Mau memesan takksi online aku terlalu malu dengan penampilanku. Aku merasa sangat risih. Akhirnya pilihanku tertuju pada bangkku taman yang terletak cukup jauh dari rumah utama.
Ku dudukkan diriku yang terasa sangat lelah ini. Duduk sendirian masih dengan tangis yang tak kunjung berhenti juga. Meratapi nasibku sendiri yang ternyata sangat menyedihkan. Bagaimana aku akan melewati hari-hariku setelah ini? Bagaimana aku bisa melepaskan diriku dari neraka yang bernama keluarga hutomo? Sedangkan pernikahan dengan sultan yang menjadi satu-satunya harapanku sudah berada di ujung tanduk.
Lalu tiba-tiba ada seseorang datang memakaian jas berwarna hitam menutupi tubuhku. Aku mendongakkan kepala dengan refleks. Berusaha melihat sosok yang melakukkan hal baik ini untukku.
"Pak Athar..." Panggilku dengan ekspresi terkejut.
Pak Athar tidak menjawab panggilanku. Dia justru mengambil sapu tangan di saku kemejanya dan dengan hati-hati mengusap wajahku yang penuh dengan air mata.
"A.. Aku bisa sendiri pak.." Kataku sedikit tergagap. Aku sangat canggung diperlakukan sedemikian lembut oleh seorang Athar. Karena kalian tahu kan bagaimana biasanya dia bersikap? Sangat dingin.
"Kamu tidak bisa melihat wajahmu sendiri." Jawab pak Athar sembari menepis tanganku yang mencoba mengambil sapu tangannya dengan lembut. Dia tidak menghiraukan protesku dan terus mengusap wajahku dengan hati-hati.
Aku akhirnya hanya pasrah membiarkan pak Athar mengusap kedua pipiku yang basah bersimbah air mata. Dan perlakuan lembut pak Athar justru membuat tangisku semakin deras. Air mata jatuh tanpa bisa ku hentikan lagi. Sekarang bahkan diiringi dengan suara sesenggukan yang begitu menyesakkan nafasku.
"Kamu sengaja ya, terus menangis agar aku terus mengusap wajahmu?" Tanya pak Athar dengan suara datar. Namun dia sama sekali tidak berhenti mengusap setiap tetes air yang keluar dari kedua mataku.
Aku menatap kedua mata pak Athar lama. Mencoba mencari jawaban dari sikapnya yang tidak biasa ini. Apa dia diam diam sedang mengejekku? Atau mau mengerjaiku? Atau dia tulus mengkhawatirkanku?
"Iya saya sengaja! Biar saja. Biasanya kan pak Athar yang selalu menyuruh saya mengerjakan ini itu. Sekarang giliran bapak yang melayani saya." Jawabku ketus menutupi kegugupanku. Ah... Aku memang tidak terbiasa dengan perlakuan lembut dari orang lain.
Diluar dugaan Pak Athar hanya membalas perkataan ketusku dengan kekehan ringan. "Dasar, tidak pernah berubah." Kata Pak Athar yang tiba-tiba mencubit pipiku dengan ekspresi gemas. Aku? Tentu saja jadi semakin bingung. Kenapa dengan sikap pak Athar hari ini? Apa dia hantu yang menyamar jadi pak Athar? Karena tidak mungkin pak beruang kutub itu bisa bersikap semanis ini.
"Ada apa?" Tanya Pak Athar yang sekarang sudah duduk disampingku. Dia memandangku dengan tatapan intens yang membuatku semakin gugup. Sepertinya dia menangkap ekspresi janggalku saat tadi menahan sakit karena Pak Athar mencubit di tempat bekas tamparan Ayah. Nyeri dan ngilu tentu saja.
Aku membalas tatapannya dalam diam. Bimbang. Apakah aku harus menceritakan semua yang terjadi pada pak Athar? Tapi kami tidak dekat. Aku merasa canggung untuk bercerita. Tapi... Disisi lain... Aku tidak punya siapapun untuk diajak bercerita. Setidaknya.. Rasa sesak dalam dadaku bisa berkurang jika bercerita pada orang lain...
"Saya... Ditampar oleh ayah... lagi..." Kataku dengan tawa kering yang terdengar begitu sumbang. Ya, aku sedang menertawakan nasib burukku sendiri. Seingatku pak Athar tahu tentang tabiat Ayah. Karena aku sering bercerita pada Sultan sedari kecil tiap kali ayah memukulku. Dan tidak jarang pak Athar, yang dulu kupanggil om Athar, juga ada disana mendengarkan ceritaku.
Ekspresi terkejut tergambar jelas di wajah tampan pak Athar. Tapi sedetik kemudian keterkejutan itu berubah menjadi kemarahan. Apa pak Athar marah untukku? Marah karena aku diperlakukan dengan tidak baik? Tapi kenapa marah? Kami bahkan tidak dekat...
"Apa... Dari dulu ayahmu itu sedikitpun tidak berubah? Dia masih saja suka memukulmu?" Tanya Pak Athar dengan intonasi dingin yang biasa ku dengar. Sepertinya dia sudah kembali normal lagi.
"Iya Pak. Biasanya, saat itu terjadi, saya selalu mencari kak Sultan dan dia akan menenangkanku. Tapi sekarang.. Saya hanya mendapat hinaan disana." Kataku menjelaskan. Mataku kembali mengembun mengingat bagaimana perlakuan Sultan padaku tadi.
Lagi-lagi Pak Athar memandangku dalam. Entah apa yang sedang dia cari di dalam diriku. "Sultan menghinamu?" Tanya Pak Athar dengan ekspresi yang kembali penuh amarah. Lagi? Dia marah untukku lagi?
"Tidak pak, tapi... Si itu... Si Aylia yang menghina saya. Dan kak Sultan hanya membenarkan perkataan kekasih gelapnya itu." Kataku meralat prasangka pak Athar.
"Apa yang perempuan itu katakan?" Tanya pak Athar lagi. Aku semakin bingung dengan sikap pak Athar hari ini. Karena dia bukan tipe orang yang suka mau tahu urusan orang lain.
"Dia... Menghina cara berpakaian saya. Padahal saya mengenakan ini juga dipaksa oleh ayah. Dan Sultan juga sangat tahu akan hal itu. Tapi... Dia diam saja. Dia tetap membela pembantu menyebalkan itu." Kataku setengah emosi. Memang benar yang menghinaku adalah Aylia, tapi sikap sultan lah yang paling melukaiku. Apalagi selama ini dialah yang selalu menghiburku.
Ekspresi wajah Pak Athar berubah menjadi semakin suram. Dia tampak marah. "Kamu pulanglah, biar saya yang menegur Sultan." Kata Pak Athar dengan pandangan yang begitu lembut. Pandangan penuh kasih sayang yang sudah sangat lama tidak aku dapatkan...
"Saya juga maunya langsung pulang pak. Tapi sopir saya sengaja pergi meninggalkan saya disini. Mungkin dua jam lagi baru dia akan menjemput saya." Kataku menjelaskan situasi.
Pak Athar tampak berdecak kesal. "Biar kuantar." Kata Pak Athar yang segera berdiri dari duduknya. Dia mengulurkan tangannya padaku mengajak agar aku juga segera berdiri.
Aku bimbang, aku memang ingin segera pergi dari sini. Tapi aku terlalu malu jika harus merepotkan pak Athar lagi. Dari tadi dia sudah cukup banyak membantuku. "Terima kasih pak, tapi.. biar saya menunggu sopir saya saja. Saya tidak enak kalau terus merepotkan bapak." Kataku akhirnya.
Tapi diluar dugaan, pak Athar justru meraih kedua bahuku dan membantuku untuk berdiri. Entahlah... dia seperti bukan pak Athar hari ini. Sikapnya begitu berbeda. Begitu lembut.
"Jangan membantah. Mobilku terparkir tidak jauh dari sini. Ayo jalan." Kata Pak Athar dengan lembut. Dia kemudian menuntun langkahku menuju mobilnya. Dan hatiku? Tentu saja bergetar tidak menentu...
--bersambung--
dukung cerita ini ya bestie
biar saya lebih semangat dalam menulis
jangan lupa vote dan tinggalkan komentar ya
aku sayang kalian

KAMU SEDANG MEMBACA
My Fiance Affair
RomansaBagaimana perasaanmu jika tiba-tiba kamu diminta membatalkan pertunangan yang sudah berjalan bertahun-tahun?