MASALAH HERMAN

1.5K 119 0
                                    

Tepat pukul setengah sembilan malam, rumah Rukmini berangsur-angsur sepi. Setelah selesai mengadakan tahlilan yang dimulai dari pukul setengah delapan, para tetangga satu per satu pulang ke rumah mereka masing-masing. Di ruang tamu cukup luas itu, masih tersisa Herman, Aryo, Dhamar, dan dua orang tetangga terdekat. Mereka masih mengobrol banyak hal, tidak terkecuali membahas tentang Rukmini.

Menurut cerita saksi mata, Rukmini ditemukan tergeletak di samping sumur belakang rumah pada pukul setengah tujuh pagi oleh Yeni, salah seorang tetangga. Yeni yang saat itu hendak mengambil air di sana, terkaget-kaget ketika melihat Rukmini tersungkur dengan tubuh basah. Dia menjerit meminta tolong, tidak lama kemudian beberapa orang berdatangan.

“Kemarin saya sempat datang ke sini melihat kondisi Ibu Rukmini. Biasanya setiap hari, Ibu keluar rumah, tapi anehnya sudah tiga hari saya tidak pernah melihatnya lagi. Pas saya lihat, wajah Ibu sangat pucat. Saya minta Ibu pergi ke klinik, tidak mau.” Danang menceritakan saat terakhir melihat Rukmini.

Rukmini dikenal sebagai seorang yang jarang bergaul dengan warga desa. Waktunya banyak dihabiskan di dalam rumah meskipun sesekali keluar hanya untuk sekadar menyapu halaman, pergi ke warung, mencuci sekaligus menjemur, ataupun pergi ke kebun.

Sebenarnya, tidak sedikit warga desa merasa iba dengan wanita enam puluh tahunan itu. Di usianya yang tentu tidak muda lagi, dia justru hidup seorang diri. Semua anak-anaknya jarang pulang, tentu karena mereka sudah memiliki kesibukan masing-masing, seperti sibuk mengenyam pendidikan ataupun sibuk mengais rezeki.

Selain jarang berbaur, Rukmini juga jarang bicara. Jangankan mengobrol, sekadar menyapa seseorang saja jarang dilakukan. Oleh karena itu, para tetangga sekitar amat jarang berbicara dengannya. Namun, meskipun begitu, mereka tetap mengawasi Rukmini dan siap menolong jika diperlukan.

Baik Herman maupun Dhamar, mereka sangat terpukul dan menyesal karena selaku anak, seolah-olah membiarkan orang tua satu-satunya ditelantarkan. Mereka tidak merasakan firasat apa pun, bahkan lupa masih memiliki sosok ibu.

Dalam beberapa pekan terakhir, Dhamar disibukkan dengan berbagai macam tugas perkuliahan. Laki-laki 22 tahun itu adalah anak terakhir Rukmini dan satu-satunya yang mengenyam pendidikan sampai di bangku perkuliahan.

“Waktu itu saya memang berniat pulang, tapi tidak sempat karena tiba-tiba ada sesuatu yang mendadak dan harus segera dilakukan. Saya juga sudah berniat menghubungi Ibu, tapi entah kenapa malahan lupa,” kata Herman, masih menyalahkan diri sendiri.

Herman adalah anak pertama Rukmini. Usianya sudah menginjak lebih dari tiga puluh tahun, perawakannya lebih tinggi dari Dhamar, berkulit cokelat, dan berambut cepak. Dia sudah menikah lebih dari enam tahun yang lalu dan memiliki satu orang anak perempuan. Herman yang saat itu tengah menikmati kopi, terkaget-kaget ketika mendengar berita kematian ibunya.

Tidak ada angin; tidak ada hujan, ada telepon masuk dari nomor Rukmini. Herman yang saat itu baru saja selesai mandi dan berganti pakaian, kaget bukan main saat mendengar seseorang mengatakan tentang ibunya yang meninggal dunia.

“Tapi kemarin sore saya melihat Bapak di rumah, bahkan sempat bercakap-cakap sebentar.” Ridwan menatap heran ke arah Herman. Masih teringat dengan sangat jelas, waktu dan tempat dia berbincang dengan salah satu anak Rukmini tersebut.

Herman ikut-ikutan heran, tidak terkecuali dengan Dhamar. Dia lantas menjawab, “Salah lihat mungkin. Sebenarnya, saya memang berniat tetap pulang ke sini, cuma tiba-tiba saja tidak enak badan.”

Gelagat Ridwan mendadak aneh. Beberapa kali dia memandangi Danang, seakan-akan mereka tengah berkomunikasi melalui bahasa tubuh. Dari gerak-gerik dan gelagat tak biasa antara Danang dan Ridwan, membuat Herman penasaran.

“Kenapa, ya, Pak?” Herman bertanya. Daripada menerka-nerka, lebih baik ditanyakan saja.

Danang menatap Herman. Dia geleng-geleng sambil senyum-senyum. “Tidak ada apa-apa.”

Danang menatap jam dinding yang dipajang di atas pintu masuk ruang televisi. Kemudian, ditatapnya Herman lagi. Mereka berbisik-bisik, menghiraukan sejenak Aryo, Dhamar, dan Herman yang sudah pasti tengah memperhatikannya.

“Sudah malam, kami izin pulang,” kata Danang, lalu memperbaiki kupluknya.

Mendengar ucapan Danang, Herman terkesiap. Beberapa saat lalu mereka masih nyaman mengobrol, tetapi tiba-tiba saja sikap Danang dan Herman berubah aneh.

“Lah, baru jam berapa ini?” Aryo ikut berujar. Dia menoleh, menatap jam dinding.

Jarum jam belum tepat berada di angka sembilan. Seingat Aryo, baik Ridwan maupun Danang, mereka bisa mengobrol cukup lama, membahas apa pun yang bisa dibahas. Belum lagi rumah mereka tidaklah terlalu jauh, pulang larut malam bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.

“Istri saya sendirian di rumah, kasihan dia,” ujar Ridwan. Dia memasukkan buku Yasin ke saku baju kokonya, lalu beranjak, diikuti Danang.

***

Jangan lupa besok.

Herman membuang napas. Setelah membaca pesan sang istri, HP diletakkan begitu saja di atas bantal. Ditatapnya ruangan yang menjadi kamar tidurnya. Tidak banyak perubahan, bahkan masih rapi meskipun jarang ditempati.

Enggan rasanya membalas pesan dari Rini, sang istri. Dia sudah malas ribut ataupun membahas untuk tetap mempertahankan pernikahan. Berkali-kali dibahas, berkali-kali juga harus perang mulut. Herman sudah pasrah dan lebih memilih menuruti kemauan Rini untuk tetap bercerai. Beban laki-laki yang belum lama menjadi seorang pengangguran itu makin lama makin bertambah.

Herman mengambil sebatang rokok di nakas, tak lupa korek api. Ketenangan dalam ruangan itu, dia berharap pikirannya juga ikut tenang. Sedari masuk kamar, Herman masih belum beranjak dari kasur. Sambil mengisap rokok, pandangannya menatap gorden yang setengah menutupi jendela.

Entah kenapa, tiba-tiba ada semacam tarikan yang membuatnya ingin beranjak ke jendela. Satu embusan napas yang dibarengi keluarnya asap rokok, Herman beranjak. Sudah dipastikan tidak ada apa-apa ketika hari mulai beranjak tengah malam. Keadaan di luar rumah sudah pasti sepi dan gelap.

Hanya ada keheningan saat Herman menatap ke luar jendela. Dari kamar lantai dua, yang terlihat hanyalah rumah, jalan, dan barisan pepohonan. Di sepanjang jalan, tidak ada satu pun manusia atau kendaraan. Benar-benar lengang, berbanding terbalik dengan depan rumahnya yang tidak pernah ada kata sepi.

Selain suara kendaraan, klakson pun kerap terdengar. Rumah yang dia tempati bersama sang istri memang berada tepat di depan jalan besar. Kebisingan sudah menjadi santapan sehari-hari. Ketika berada di rumah Rukmini, Herman merasakan kedamaian, keadaan yang sangat dibutuhkannya akhir-akhir ini.

Sewaktu hendak beranjak dan akan menutup gorden, taksengaja terlihat sesuatu di bawah lampu jalan. Herman masih menatap seseorang yang tengah berdiri seorang diri di depan halaman rumahnya. Benaknya bertanya-tanya, siapa yang malam-malam berada di pekarangan orang.

Dari kejauhan, terlihat seorang perempuan tua mengenakan pakaian panjang berwarna putih. Rambut semiputihnya tergerai dengan ujung menyentuh pinggang. Karena dilihat dari atas, wajah orang itu tidak terlihat. Namun, yang jelas, perawakannya mirip Rukmini, tinggi dan kurus.

Tok! Tok! Tok!

Pandangan Herman refleks beralih.

“Bang ....” Terdengar suara Dhamar dari balik pintu.

“Iya, ada apa?”

“Abang tidur?”

Pandangan Herman masih menatap pintu. Dia mengembuskan napas, lalu menjawab setelah menyesap batang rokok dan mengembuskan asapnya. “Kenapa?”

“Boleh masuk?” Cukup lama Dhamar menjawab.

Herman tidak menjawab. Sebelum beranjak, dia sempatkan beralih pandang ke jendela. Orang di bawah terpaan lampu jalan sudah tidak ada. Herman menatap sekeliling, mencari keberadaan perempuan tua itu. Akan tetapi, yang dicari justru tidak ditemukan. Pikirannya tidak aneh-aneh. Dia menduga, orang itu pergi saat dirinya tengah saling berbicara dengan Dhamar.

35 Hari Teror Ibu (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang