“Mbak, ini ....”
Dhamar tidak percaya dengan apa yang dilihat. Di kolong ranjang, tergeletak sebuah sesajen berisikan berbagai macam bunga—ditaruh dalam wadah daun pisang, dupa, juga beberapa benda lain yang tidak diketahui namanya. Semuanya diletakkan dalam satu tampah kecil.
Dilihat dari bentuknya, sesajen tersebut sudah cukup lama diletakkan di sana. Baik Dhamar maupun Rahayu, mereka sama-sama dibuat tidak percaya dengan keberadaan benda itu.
Rahayu menolak keras apa yang terlintas dalam pikirnya. Tidak mungkin Rukmini yang meletakkan benda-benda seperti itu. Jikapun benar, lantas untuk apa? Sejak kapan juga?
“Jangan diapa-apakan ini. Mbak mau pergi sebentar,” pinta Rahayu. Perempuan berambut panjang dengan ujung bergelombang itu bergegas berdiri, lalu pergi meninggalkan Dhamar.
Langkah Dhamar mendekati sesajen. Selama tinggal di rumah, baru kali ini dia menemukan benda itu. Dari pengalamannya menonton film horor dan membaca artikel di internet, keberadaan sesajen berhubungan dengan hal-hal gaib, ada yang tujuannya positif dan ada juga yang negatif, tergantung tujuan orangnya.
Tak berselang lama, terdengar langkah dari luar kamar. Rahayu kembali datang membawa Aryo. Perempuan itu menunjuk ke arah sesajen, Aryo perlahan mendekati Dhamar.
“Apa mungkin ini ulah Ibu?” Dhamar bertanya-tanya.
“Mbak, tidak tau.” Rahayu menggeleng-geleng, ragu juga untuk mengiakan.
“Kalau memang iya, untuk apa Ibu melakukan hal-hal seperti ini?” Rahayu masih belum terlalu percaya jika ibunyalah pelakunya.
“Lebih baik kita buang saja ini.” Aryo memberi saran. Dia pun tidak tahu-menahu masalah ini. Siapa yang meletakkan dan untuk apa, yang tahu hanyalah Tuhan.
“Memang tidak masalah?” tanya Rahayu, meragukan saran Aryo.
Aryo pun sebenarnya ragu. Ada rasa takut suatu saat bisa mendatangkan sesuatu kurang baik jika sesajen dibuang. Selama dahulu pernah beberapa kali tinggal di rumah mertua, dia sama sekali tidak merasakan keanehan apa-apa.
“Apa perlu kita tanyakan ke Pak RT saja, ya, Mas?”
“Janganlah, Mbak. Bisa jadi masalah ini nyebar ke seisi desa,” tolak Dhamar.
Apa yang akan terjadi andai kata para warga tahu mengenai ini? Bisa jadi buah bibir ke depannya. Dhamar takut saja hal seperti itu terjadi.
“Kalau ini memang ulah Ibu, mas yakin Ibu tidak ada tujuan aneh-aneh. Mungkin sesajen ini buat keselamatan Ibu atau mungkin ada tradisi di sini.”
“Tradisi apa? Dari dulu Ibu tidak pernah berbuat aneh-aneh. Keselamatan apa?”
Aryo terdiam. Apa yang dikatakan sebelumnya hanyalah sebatas menduga-duga.
“Lebih baik kita tanyakan saja ke Pak RT. Lagi pula, Pak Sudibyo itu paman kita, pasti bisa menjaga rahasia.” Rahayu masih kekeh dengan sarannya.
***
“Lebih baik dibakar. Jujur, bapak saja baru tau. Semenjak Ibu kalian sering ditinggal sendirian di rumah, Rukmini memang jarang keluar,” kata Sudibyo.
“Sebenarnya, sajen itu untuk apa, Pak?” Berganti Aryo yang bertanya setelah sebelumnya sang istri juga menanyakan—hanya saja belum mendapatkan jawaban memuaskan.
“Bapak juga belum tau pasti. Yang jelas, tidak mungkin ibu kalian melakukan sesuatu yang aneh.”
Sudibyo yakin dengan ucapannya. Meskipun jarang bertemu, dia yakin kakaknya tidak berbuat sesuatu yang tidak-tidak. Beberapa kali melintasi rumah Rukmini atau satu-dua kali mampir, tidak pernah sekalipun melihat dan mengalami keanehan.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...