“Eh, besok 35 hari meninggalnya ibu lo, kan, ya?” tanya Fikri yang seperti biasa kerap mampir di indekos Dhamar.Yang ditanya mengingat-ingat, lupa sebenarnya sudah berapa hari sang ibu tiada. Bisa jadi iya, bisa jadi tidak. Dhamar tidak tahu pasti, terlebih tidak pernah menghitung.
“Kok, lo bisa tau? Gue malahan kagak ngeh.”
“Cuma nebak, sih. Tapi kayaknya bener.”
“Memangnya kenapa?” Dhamar menatap Fikri heran. Bisa-bisanya sang sahabat memikirkan hal yang tidak seharusnya dipikirkan.
Fikri menjelaskan, “Kalau di tempat gue kan masih ada tujuh harian, empat puluh hari, seratus, sampai seribu hari. Biasanya pas empat puluh hari, lima hari sebelumnya udah mulai sibuk.”
Dhamar tidak tahu pasti bagaimana proses acara-acara seperti itu. Di desa tidak ada tradisi tujuh harian dan sebagainya., tentu membuatnya tidak terlalu paham.
“Gue lebih kagak nyangka lagi hidup keluarga gue berubah kayak gini. Orang-orang yang gue sayangi, udah pada pergi, yang tersisa cuma gue sama Bang Herman.”
Dhamar menghentikan acara berbenah. Besok, dia akan pulang, tentu untuk melangsungkan rencana yang telah dibuat bersama Herman, apalagi jika bukan mencari rumah Sastro.
Ujiannya sudah dari kemarin selesai, mulai hari ini bisa dikatakan bebas. Dia ingin mengakhiri teror yang memakan korban meskipun sudah cukup lama tidak lagi ditampakkan sosok sang ibu, apalagi bermimpi buruk.
Namun, meskipun begitu, Dhamar belum bisa tenang. Dia ingin menyelesaikan masalah agar bisa benar-benar hidup normal. Semoga saja rumah Sastro bisa cepat ditemukan.
“Oh, iya, lo beneran mau balik?” Fikri bertanya. Dia mengubah posisi duduk, dari yang semula di kursi, berpindah ke kasur.
“Lah, ini kan lagi beres-beres. Gua cuma mau ini berakhir. Gue kagak bisa membayangkan abang gue jadi korban berikutnya.”
“Jangan, lah, ya. Serius, abang lo terlalu baik, gue sampai iri pengin punya abang seperti itu. Udah ramah, gampang berbaur, baik juga. Pasti bakalan sedih banget kalau itu sampai terjadi. Tapi gue yakin, keluarga lo bakalan kayak dulu lagi.”
Fikri memberi semangat. Dia masih ingat keramahan yang Herman lakukan kepadanya. Padahal hanya sebatas teman Dhamar, tetapi Herman bisa membuat nyaman, bahkan untuk berbagi cerita.
“Kapan-kapan, abang lo ke sini lagi. Dia asyik diajak main.”
“Kalau dianya mau. Ini juga kagak biasanya dia nginep lama di sini, paling satu hari, itu pun pas baru sehari di sini.”
Fikri menebak, “Mungkin karena dia udah bebas. Jadi, mau ke mana pun, kagak ada yang larang.”
Dhamar hanya mengedikkan bahu.
***
Selama dalam perjalanan pulang, perasaan Dhamar aneh. Dia tidak tahu ada apa, yang jelas seperti ada sesuatu yang terjadi. Hatinya selalu tidak tenang.
Dari kemarin malam, pesannya ke Herman tidak terbaca, ditelepon pun tidak diangkat. Sang kakak sendiri memang tipe orang yang jarang menggunakan HP, cukup bisa dimaklumi, itu pun pasti tidak lama lagi akan membalas pesan atau balik menelepon.
Dia sempat berpikir, apa mungkin kakaknya jatuh sakit? Jika perasaan tidak enaknya mengarah ke sakitnya sang kakak, semoga saja tidak sampai mengalami sakit parah.
Perjalanan terasa panjang padahal tidak sedang macet. Memasuki desa terdekat, tidak sengaja Dhamar melihat rombongan pengantar jenazah. Dia tidak tahu siapa yang meninggal, yang jelas, keranda beserta para rombongan makin lama makin jauh.
Motor yang sempat terhenti, kembali dilajukan. Tidak lebih dari lima menit, akan sampai di tempat yang dituju. Tidak jauh berbeda dari desa tetangga, tempat tinggal Dhamar pun seperti ada yang baru saja meninggal, terlihat dari beberapa ibu-ibu yang tengah mencari kembang di sepanjang jalan.
Dhamar tidak sempat bertanya ataupun menemui mereka, motornya masih terus melaju dengan pelan karena di depannya terlihat beberapa orang tengah berjalan beriringan.
Daripada makin penasaran, dia bertanya ke salah satu orang di depan. Jika melihat dari arah langkah mereka, jalan yang diambil salah satunya menuju ke rumahnya. Dhamar menduga-duga, tetangganyalah yang meninggal dunia.
“Siapa yang meninggal, ya, Pak?” tanya Dhamar.
Lima orang laki-laki dan perempuan itu saling tatap. Salah satu dari mereka menjawab, “Lah, memangnya kamu tidak tau?”
Dhamar makin bingung. Logikanya sederhana. Jika dia tahu, mana mungkin sampai bertanya. Dia tidak lebih dari sekedar penasaran.
“Abang kamu meninggal. Memangnya kamu tidak dikasih tau?” kata orang yang berbeda.
Dhamar seketika terdiam, masih mencerna kata-kata yang masuk telinga.
“Jangan bercanda, lah, Pak,” ujar Dhamar, menolak mengiakan.
Para rombongan tidak membalas, salah satu di antara mereka hanya menggeleng. Dhamar makin tidak tenang, terlebih dengan tatapan orang-orang itu. Tanpa berkata apa-apa, dia bergegas.
Pikirannya masih menolak mengiakan. Tidak mungkin Herman meninggal, Dhamar sangat meyakini hal itu. Dia terus berkendara dengan perasaan tidak keruan. Rumahnya mulai terlihat, tidak sedikit yang tengah berdiri, bahkan duduk di teras.
Sebuah bendera putih tertancap di tanah. Mata Dhamar mengembun, air matanya mulai tumpah. Motornya digeletakkan begitu saja, dia berlari tunggang langgang menuju rumah.
Semua orang memperhatikannya. Dhamar tidak peduli. Dia menerobos masuk. Di ruang depan, berbaring seseorang yang tertutup kain batik. Tubuh Dhamar makin lemas, jalannya sempoyongan, lalu terenyak ke lantai.
Tangannya gemetar saat hendak membuka kain penutup jenazah. Kain bagian atas terbuka, wajah pucat kesi Herman terlihat. Bendungan air matanya pecah. Dhamar berteriak histeris.
***
Herman sendiri ditemukan seseorang yang tengah pergi ke kebun. Dia tergeletak di pinggir sungai dengan kondisi sudah tidak bernyawa. Lehernya berwarna hitam, bahkan terdapat bekas cekikan.
Semenjak kematiannya. Dhamar menjadi murung, tidak mau diajak bicara, pendiam, bahkan sering duduk memeluk lutut, dan kerap terlihat di makam Herman. Orang-orang merasa iba, tidak kecuali dengan Sudibyo.
Dua hari Dhamar tidak mau makan. Jika dipaksa, tidak segan-segan akan mengamuk. Dia begitu terpukul atas kematian Herman, menolak jika sang kakak sudah meninggal.
Meskipun pengorbanan Herman berhasil, Dhamar memang bisa dikatakan selamat, tetapi tidak dengan psikisnya. Hari demi hari berlalu, dia makin memprihatinkan, bahkan tidak sedikit yang mengatakan bahwa dirinya sudah gila. Karena hanya ada sang paman, Sudibyo-lah yang mengurus Dhamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
TerrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...