Semenjak kematian Hadi, kehidupan keluarga Rukmini mendadak berubah. Perekonomian menjadi susah, hasil panen terjual murah, bahkan tidak sedikit mengalami gagal panen, entah itu karena dicuri ataupun kualitas buruk.
Semenjak lulus sekolah menengah, Herman mulai kesulitan mendapatkan pekerjaan setelah kematian ayahnya dan memutuskan berhenti bekerja di pabrik. Sebenarnya, dia sendiri bisa saja melanjutkan kuliah karena Hadi masih dalam masa-masa berjaya. Namun, dia justru memilih bekerja.
Sekian banyak mencoba, tidak ada satu pun yang berhasil, bahkan di tempat pertama. Setelah bolak-balik gagal, dirinya bisa diterima kerja, tetapi hanya sementara waktu karena harus merasakan yang namanya PHK.
“Seharusnya dulu kamu lanjutin kuliah supaya lebih mudah dapat pekerjaan.” Perkataan Rukmini yang hanya bisa menyesali yang sudah terjadi.
“Sekarang adikmu malah ikut-ikutan.” Rukmini lantas kembali kecewa. Rahayu yang belum lama lulus, turut mengikuti jejak sang kakak.
“Sudahlah, Bu. Kuliah itu mahal. Nanti kalau keluarga kita sudah membaik, aku mungkin bisa kuliah. Sekarang, aku mau bantu-bantu Ibu dulu, termasuk menjaga Lestari.”
Perekonomian yang masih belum stabil, membuat Rahayu menolak melanjutkan pendidikan. Dia tidak mau makin membebani ibunya. Baik Anwar maupun Dhamar, kedua adiknya tengah merasakan bangku sekolah. Tidak hanya sekadar biaya pendidikan, kebutuhan makan, bayar ini-itu pun membutuhkan uang.
Melihat anak-anaknya menderita, Rukmini merasa sebagai orang tua tidak berguna. Dia tidak bekerja, hanya mengandalkan hasil kebun. Ketika berniat menjual kalung emas untuk biaya pendidikan, baik Rahayu maupun Herman sama-sama menolak. Mereka tetap kukuh pendiriannya, memilih tidak melanjutkan sekolah.
Pernah sekali berniat kembali menjual lahan untuk membawa Lestari ke rumah sakit karena penyakitnya kambuh, tetapi tidak ada satu pun yang mau membeli. Ketika menagih utang orang-orang yang dahulu pernah berutang padanya, mereka menolak membayar dengan berbagai macam alasan.
Karena tidak tega melihat anak-anaknya terus-menerus menderita, Rukmini mengikuti saran seorang laki-laki tua yang ditemuinya di kebun. Orang itu mengatakan akan membantu, hanya tinggal pergi ke kediamannya saja dengan cara mengikuti arus sungai.
“Jadi, saya harus bersekutu dengan mereka?” tanya Rukmini, meragukan permintaan laki-laki tua bernama Sastro itu.
“Saya hanya membantu, mau tidaknya ada di tangan sendiri.”
Rukmini masih memikirkan ucapan Sastro. Beberapa pekan kemudian, dia kembali ke rumah di hutan saat hidupnya makin kacau. Penyakit lambung yang diderita Lestari kerap kumat, dia tidak tiga melihat anak perempuan keduanya makin menderita.
Ucapan Sastro menjadi kenyataan. Semenjak kematian Lestari, kehidupan Rukmini berangsur-angsur membaik. Herman mendapatkan pekerjaan lebih baik. Rahayu yang awalnya menghabiskan waktu di rumah, ikut bekerja dan langsung diterima.
Namun, di sisi lain, dia harus menyembunyikan apa yang telah dilakukan. Tiap kali menyiapkan sesajen, Rukmini menyiapkannya malam-malam saat anak-anaknya tertidur.
Rahayu dan Herman merantau di kota, tiap bulan selalu mengirimkan uang. Tahun demi tahun berlalu, Anwar mengikuti jejak kedua kakaknya: tidak melanjutkan pendidikan dan memilih merantau ke kota.
Hanya ada Dhamar seorang, itu pun tidak lama karena dia melanjutkan pendidikan. Herman dan Rahayu sama-sama berpesan agar Dhamar tetap melanjutkan sekolah, jangan berhenti di bangku menengah.
“Mas Aryo belum libur, Rahayu juga tidak diizinkan pulang,” ujar Rahayu saat ditelepon Rukmini.
“Herman coba nanti, ya, Bu. Mungkin boleh cuti.” Tidak jauh berbeda dengan Rahayu, Herman pun sama, menolak pulang.
Rukmini kesepian di saat kehidupannya makin membaik. Dia juga tidak bisa menuntut banyak kepada Rahayu dan Herman karena kedua anaknya sudah berkeluarga. Pernah suatu kali mendapat penawaran agar ikut bersama salah satu dari Herman atau Rahayu, tetapi Rukmini menolak. Sudah pasti akan sangat sulit untuk menyiapkan sesajen, bisa jadi juga akan dicurigai karena rumah tempatnya menginap mendadak aneh.
Uang-uang pemberian anak, banyak yang disimpan. Bukan tidak mau memakai, Rukmini sendiri tidak terbiasa menghambur-hamburkan uang untuk membeli sesuatu yang tidak terlalu berguna. Lagi pun, yang diinginkan adalah bisa berkumpul dengan semua anak-anaknya, bukan seberapa besar uang yang dikirimkan kepadanya.
Tahun demi tahun berlalu, kehidupannya memang sudah sangat baik. Akan tetapi, tidak bagi kesehatannya. Dia makin tua, bahkan sudah mulai sakit-sakitan.
Menyadari fisiknya yang tidak lagi seperti dahulu, Rukmini hendak mengakhiri perjanjian. Dia lantas mencari Sastro. Akan tetapi, sampai dengan satu tahun berjalan, laki-laki tua itu tidak kunjung ditemukan. Bolak-balik mengikuti arus sungai, rumah Sastro seolah-olah menghilang.
Dalam pencarian, tidak sedikit yang bertanya dari mana Rukmini pergi ke hutan sendiri. Dia yang makin risau selalu menjawab, “Dari kebun.”
Tentu dengan kesehatannya yang makin lama makin lemah, dia tidak bisa terus-terusan selalu memberikan sesajen tiap bulan. Pernah beberapa kali lupa sehingga mengakibatkan dirinya diganggu, bahkan tidak segan-segan menyerupai wujud anak-anaknya, lalu mencelakainya, seperti tiba-tiba didorong.
Sebenarnya, Rukmini sendiri sudah sering diganggu sejak melakukan ritual. Namun, tentu saja dia merahasiakan. Kuat tidak kuat, Rukmini tetap harus menghadapinya demi anak.
Bulan demi bulan berlalu, Sastro tidak kunjung ditemukan sampai Rukmini mengembuskan napas terakhir. Dia terjatuh saat hendak menimba di sumur, dua hari setelah meletakkan sesajen baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...