Herman membuka besek yang dibawa Dhamar. Sesuai perkataan sang adik, di dalam sana berisikan peralatan jenazah. Herman membuang napas, lalu mengambil besek dari tangan Dhamar.
Pikiran Herman berkelana, mengingat-ingat masa lalu, mencari kepingan ingatan yang berhubungan dengan kain putih di tangan.
“Waktu itu Ibu memang pernah mengatakan sesuatu. Ibu pernah meminta jika suatu saat nanti ketika sudah meninggal dunia, Ibu ingin memakai ini sebagai pakaian terakhirnya.” Herman berkata sambil memegang kening, menopang kepalanya dengan tangan.
“Kalau tidak salah, kata Ibu, besek ini ada sepasang, satu untuk Bapak dan satunya untuk Ibu.” Herman melanjutkan ucapannya. “Kenapa bisa lupa? Ibu yang meminta, dan aku sendiri mengiakan.”
Penyesalan menghantui pikiran Herman. Dia mulai ingat sekitar tiga tahun yang lalu tentang permintaan Rukmini. Sewaktu masih bisa melihat keadaan sang ibu untuk terakhir kali, dia benar-benar tidak ingat permintaan itu.
“Bagaimana? Apa yang akan kita lakukan?” Dhamar bertanya, masih duduk di samping Herman.
Herman berpikir beberapa saat, lalu menutup besek, lantas menyerahkannya kembali kepada Dhamar. “Kamu taroh kembali di lemari Ibu. Ibu pasti memaklumi.”
“Tapi, Bang?”
Herman menekan suaranya. “Sudah. Tidak akan ada apa-apa. Lebih baik kamu kembalikan ini ke tempat semula, abang mau istirahat. Besok, abang harus bangun pagi.”
Bukan sebuah keanehan jika seseorang bangun pagi-pagi, hanya saja Dhamar merasa ada yang berbeda dengan kakaknya. Dari gaya bicara sampai raut wajah Herman, Dhamar berpikir sang kakak sedang dilanda masalah.
“Ada apa memang?” Dhamar mencoba bertanya, siapa tahu ada sesuatu yang Herman ceritakan.
Herman menggeleng. “Tidak ada apa-apa. Ayo, kembalikan itu ke lemari Ibu. Rahasiakan ini dari kakakmu, Rahayu. Kalau dia tau, bisa jadi masalah.”
Kali ini Dhamar setuju dengan ucapan Herman. Bagaimanapun, kakak perempuannya adalah orang paling menyebalkan di dalam rumah. Jika ada masalah meskipun sepele, pasti akan dibesar-besarkan. Dhamar juga lebih memilih menurut. Dia beranjak, lalu keluar kamar sambil membawa besek.
Mungkin masalah pekerjaan, pikirnya mengenai sang kakak.
Sedari tadi sore pikiran Dhamar masih terus saja memikirkan kain kafan. Awalnya dia berniat membicarakan masalah ini bersama semua anak Rukmini, tetapi setelah dipikir-pikir, situasi dan kondisi saat itu sedang tidak cocok. Semua orang sibuk dengan urusan masing-masing, salah satu alasan kenapa Dhamar maju-mundur memulai diskusi.
Sebelumnya, ada satu hal lagi yang hendak dikatakan. Namun, ketika melihat Herman seperti tidak sedang ingin diajak mengobrol panjang lebar, Dhamar memilih tidak membahas masalah dirinya yang seperti melihat sosok sang ibu di pemakaman. Dia pun akhirnya percaya dengan pikirannya saat itu, mungkin salah lihat atau orang lain yang kebetulan ibunya.
Setelah turun tangga, lampu ruang depan menyala. Dhamar ingat sewaktu hendak naik lantai dua, ruangan di sana gelap, bahkan dirinya sendirilah yang mematikan lampu. Masih berpikir positif, dugaan paling memungkinkan pasti ada seseorang di sana.
Langkah Dhamar kembali ke tujuan, kamar Rukmini yang dekat pintu menuju ruang depan. Kamar sang ibu tidak dikunci sehingga laki-laki yang satu tahun lagi akan lulus kuliah itu bisa dengan mudah membukanya.
Kamar Rukmini gelap. Karena sangat yakin Rahayu sudah terlelap, Dhamar bisa menyalakan lampu. Sejauh mata memandang, tidak ditemukan keanehan, semua masih dalam kondisi baik. Lemari dibuka, besek yang berada dalam genggaman diletakkan di tempat semula, rak paling atas.
Awalnya masih tidak ada masalah sedikit pun sampai saat hendak menutup lemari, kotak kayu berisi perhiasan yang diselipkan di antara tumpukan baju, tidak berada pada tempatnya. Tentu hal itu aneh. Sebelumnya kotak tersebut masih ada, tetapi entah kenapa hilang.
Yang jelas bukan Dhamar pelakunya, dia mana mungkin berani berbuat seperti itu. Pernah sekali melihat handphone tergeletak tepat di sampingnya saja, tidak ada niatan sedikit pun untuk mengambil padahal waktu itu situasi cukup sepi dan kondisi keuangannya sedang kurang baik.
Dicari di bagian lain, masih belum ditemukan. Dicari di sekitar kamar, tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan benda itu. Tidak ada pencuri masuk. Sekalipun ada, mustahil juga yang diambil hanyalah kotak kayu. Yang bisa dijadikan dugaan hanyalah Rahayu. Hanya dialah orang yang seakan-akan memiliki hak atas semua barang di rumah, termasuk beberapa sertifikat tanah.
Tidak menutup kemungkinan Rahayu-lah yang mengambil untuk disimpan. Jika memang benar, bukan menjadi masalah besar karena kotak kayu itu berada di orang tepat. Rahayu akan menyimpan dan tidak sampai digunakan untuk kepentingan pribadi, itulah yang Dhamar yakini.
Tanpa menaruh curiga dan sudah yakin, pintu lemari ditutup. Mengingat hari sudah kian malam dan merasa lega, Dhamar memutuskan istirahat. Belum juga membuka pintu, langkahnya terhenti. Pikirannya meminta untuk menoleh, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dilihatkan.
Tidak ada apa pun sejauh mata memandang. Hanya ada Dhamar seorang diri dalam kamar Rukmini. Tanpa berpikir macam-macam, pintu dibuka, lampu dimatikan, lalu melangkah keluar bersamaan dengan munculnya sosok Rukmini yang tengah berdiri di samping lemari.
Lampu ruang depan ternyata masih menyala. Dhamar akhirnya penasaran ada siapa di sana. Gorden disibak, yang terlihat hanyalah bentangan karpet hijau yang belum sempat digulung. Tidak ada seseorang padahal Dhamar berpikir ada Aryo yang biasanya sedang duduk sendirian.
Beberapa kali Dhamar pernah melihat suami Rahayu duduk seorang diri malam-malam. Saat ditanya kenapa, Aryo menjawab belum mengantuk atau sedang mencari ketenangan. Dhamar pernah dua kali menemani Aryo, mengobrol apa pun sambil ditemani kopi dan rokok.
Langkah Dhamar memutuskan berjalan ke depan. Pintu sudah terkunci, bisa dikatakan tidak ada seseorang di luar.
“Sudahlah, paling lupa dimatiin.”
“Dhamar ....”
Dhamar yang baru saja berbalik, tiba-tiba mendengar seseorang memanggilnya. Suaranya terdengar dari luar, lirih dan tidak asing. Namun, jika dipikir-pikir, tidak mungkin si pemilik suara adalah Rukmini. Dhamar menggeleng, menolak mengiakan apa yang ada dalam benaknya.
“Dhamar ....”
Panggilan terdengar lagi, masih berasal dari luar rumah. Daripada dibuat makin penasaran, Dhamar berbalik badan lagi. Tangannya bersiap-siap meraih gorden. Dia dibuat mematung sekian detik saat menatap seseorang sedang berdiri di teras rumah.
Yang dilihat adalah seorang perempuan tua berpakaian putih dengan rambut semiputih tergerai menyentuh pinggang. Dhamar hanya bisa melihat tubuh bagian belakang orang itu. Sepintas, seseorang di depan mirip Rukmini.
Dhamar yang melihat hanya sepintas buru-buru menutup gorden.
“Enggak mungkin. Mustahil itu Ibu.” Dhamar berucap sambil merasakan gemuruh di dada.
Bisa saja Dhamar membuka pintu untuk mendatangi orang di sana. Namun, untuk kali ini dia memilih pergi. Perasaan tidak menentu, ada rasa takut saat melihat seseorang di depan perawakannya mirip Rukmini. Selain itu, orang tersebut mengenakan pakaian serbaputih, menciutlah nyarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...