Siang itu setelah pulangnya Sudibyo, Dhamar tengah berada di kamar, mengerjakan tugas yang belum sempat dikerjakan. Beruntung dia tidak perlu lagi membantu sang kakak berberes.Hari ini adalah hari terakhir di rumah. Besok, Dhamar seharusnya sudah bisa berkuliah lagi seperti biasa. Jika tidak ada halangan, esok siang, dia akan izin pamit. Kalaupun ada apa-apa, Rahayu atau Herman pasti akan memberi kabar.
Sebenarnya, ada rasa enggan untuk buru-buru pergi, Dhamar ingin tinggal beberapa hari lagi. Di rumah, dia bisa bebas. Makan, tinggal makan; minum, tinggal ambil, tidak seperti di indekos yang banyak perhitungan agar uang di dompet bisa awet, paling tidak sampai mendapat kiriman.
Hidup menyendiri di kota nyatanya tidak seindah yang dibayangkan. Bebas? Dhamar memang bebas. Tidak banyak aturan yang ditaati. Pergi pagi pulang pagi lagi pun tidak ada yang akan memarahi, dua atau tiga hari tidak mandi juga akan baik-baik saja. Namun, ternyata, jika diminta memilih, Dhamar tentu akan berada di rumah dengan segala aturannya.
Konsentrasinya sempat terpecah karena ingatan kejadian kemarin malam. Terlepas benar adanya sosok di sana adalah sang ibu atau bukan, Dhamar tidak tahu pasti. Apakah seseorang yang telah meninggal bisa menampakkan diri? Kalau di film horor, bisa. Namun, yang Dhamar alami bukanlah sebuah fiksi belaka.
Derit pintu membuatnya menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Pandangannya tertuju ke luar pintu.
"Mbak?"
"Anwar?"
"Bang Aryo?"
Mungkin tertiup angin, pikir Dhamar. Gara-gara itu, membuatnya bisa fokus mengerjakan tugas. Layar laptop yang sempat mati, kembali dihidupkan. Dhamar mulai membaca sampai perhatiannya tertuju ke belakang ketika mendengar derit pintu.
Pintu terbuka makin lebar, tetapi masih tidak ada tanda-tanda keberadaan seseorang di sana. Dhamar berdecak kesal. Dia menduga Anwar sedang iseng.
Dhamar beranjak, lalu melangkah menuju pintu.
"Enggak usah ganggu orang lagi belajar, bisa?"
Tidak ada seorang pun saat Dhamar melongok ke luar pintu. Anwar tidak ada di mana-mana. Jikapun pergi, pasti akan terdengar langkah kaki. Dhamar masih berdiri dua langkah dari luar ambang pintu sampai pada akhirnya memilih kembali ke meja belajar. Tiba-tiba saat berbalik badan, taksengaja menangkap sesuatu.
Sekelebat bayangan muncul, lalu menghilang di balik tembok kamar Anwar. Bayangan berbentuk seperti manusia itu bergerak cepat, Dhamar hanya melihat sekilas, kurang dari dua detik.
Di lantai dua terdapat tiga buah kamar. Satu dekat tangga adalah kamar Dhamar, di sampingnya milik Herman, dan satu lagi paling pojok kanan, adalah kamar kosong, tetapi kerap sesekali digunakan Anwar.
Bayangan itu menembus tembok kamar Anwar. Karena merasa penasaran, Dhamar memutuskan melangkah ke sana. Gagang pintu didorong, ternyata terkunci. Dia baru ingat kakaknya belum lama pergi entah ke mana.
Telinga Dhamar menangkap suara. Dia mendengar ada sesuatu yang terjatuh dari dalam kamar. Tidak ada celah untuk sekadar mengintip. Dhamar tidak mungkin salah dengar karena suara itu cukup jelas.
Terdengar lagi suara benda terjatuh, tidak hanya satu, tetapi dua kali Dhamar mendengarnya dalam jeda tidak terlalu lama. Dia jelas makin penasaran. Jika terdengar satu kali, mungkin ada sesuatu di sana yang diletakkan terlalu pinggir, lalu akhirnya terjatuh.
Aneh. Dhamar mendekatkan telinga di pintu. Dia mencoba mendengarkan sesuatu di dalam sana. Kali ini yang terdengar suara lemari terbuka. Tidak hanya itu, tiba-tiba terdengar geraman lirih dari dalam kamar. Dhamar refleks melepaskan telinga dari pintu saking terkejutnya.
Jelas-jelas ada yang tidak beres di dalam kamar Anwar. Dhamar bergegas, pergi ke lantai bawah, mencari Rahayu untuk menanyakan keberadaan kunci. Tujuannya adalah kamar kakak perempuannya yang letaknya dekat dapur.
"Mbak," panggilnya, lalu menggerakkan gagang pintu.
Pintu kamar terkunci, tetapi tidak berselang lama terdengar sahutan Rahayu dari dalam.
"Buka pintunya, Mbak."
Rahayu beranjak dari tempat tidur. Perempuan setinggi Herman itu tidak lekas menghampiri pintu, tetapi terlebih dahulu melangkah menuju lemari untuk meletakkan kain merah yang ditemukannya di dalam tas di kamar Rukmini.
"Pinjam kunci cadangan kamar kosong di lantai dua, Mbak," pinta Dhamar.
Rahayu tentu saja terheran-heran. Melihat raut wajah Dhamar yang tidak biasa, juga membuatnya heran.
"Buat apa?"
"Itu ... tadi aku denger sesuatu di dalam kamar atas."
Penjelasan Dhamar justru membuat Rahayu tidak paham. Dia meminta sang adik untuk menjelaskan lebih detail. Dhamar pun lantas bercerita.
"Salah denger kali," ucap Rahayu tidak percaya.
"Maka dari itu aku mau cek sendiri."
Rahayu menatap Dhamar beberapa saat, lalu pada akhirnya mengiakan permintaan sang adik. Menurutnya, aneh saja. Dia sangat yakin yang didengar Dhamar tidak lebih dari gurauan.
Dhamar mengikuti jejak sang kakak yang ternyata mengarah ke kamar Rukmini. Langkah Rahayu mendekati lemari kecil dekat kasur.
"Nih." Rahayu memamerkan sekumpulan kunci yang diambil dari nakas.
Kunci diambil, Dhamar bergegas menuju lantai dua. Karena kebetulan semua kunci berbentuk serupa, perlu usaha menemukan satu kunci yang sesuai. Berhasil terbuka, pintu langsung didorong. Dhamar dikejutkan dengan penampakan kamar dalam kondisi berantakan.
Pintu lemari menganga, isi di dalamnya bertebaran di lantai. Buku-buku tidak berada di tempat, banyak benda teronggok di lantai. Dhamar menyaksikan kekacauan yang entah sudah seperti itu dari awal atau terjadi baru-baru ini.
Mungkinkah Anwar pelakunya? Untuk apa sampai melakukan kekacauan? Dhamar tidak bisa langsung memutuskan. Langkahnya makin dalam masuk kamar.
"Ada apa sama dia?"
Saat taksengaja menyingkirkan pakaian berserak dengan kaki, Dhamar menangkap sesuatu. Dia melihat semacam map biru tergeletak, tertumpuk pakaian.
"Ya Allah, ini kenapa berantakan?"
Dhamar yang baru saja berniat mengutip map biru itu, tersentak mendengar suara dari arah belakang.
"Ini ... ini Anwar kenapa?" Rahayu tidak habis pikir dengan kelakuan sang adik.
Tidak mungkin karena pertengkaran saat sarapan bisa membuat Anwar kesurupan. Saat berpapasan dengannya pun, tidak ada ekspresi kesal sama sekali. Anwar melenggang pergi setelah berpamitan.
"Ini sepertinya bukan Bang Anwar." Kali ini Dhamar mulai yakin siapa di balik porak-poranda ini.
Meskipun dipikir-pikir, aneh jika sekelebat bayangan itu pelakunya. Tidak mungkin Anwar melakukan hal seperti ini.
"Siapa? Bayangan itu?" Rahayu justru kesal dengan sikap Dhamar.
Rahayu mencari sesuatu di kantong celana. Dia tengah mencari handphone, tetapi benda itu tidak ditemukan.
"Mbak, tunggu!" panggil Dhamar sesaat setelah Rahayu berbaik.
Rahayu menoleh. Dhamar berjongkok, lalu menyingkirkan pakaian yang menutupi map biru. Dia pikir benda itu penting dan berniat untuk menyerahkannya kepada sang kakak.
"Itu ...." Rahayu memicing melihat map yang dipegang Dhamar.
Dhamar menatap map yang dipegang. Dari cara Rahayu menatap, dia menduga, isi dalam map ini penting. Tanpa berniat membuka, Dhamar melangkah mendekati Rahayu.
"Isinya apa?" tanya Dhamar seraya menyodorkan map ke Rahayu.
"Ini kan surat ...."
Rahayu membuka map. Apa yang dia duga, memang benar adanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...