Meskipun sekelebat, tetap membawa trauma tersendiri bagi Rahayu, Aryo, dan Dhamar. Selera makan sudah lenyap, masakan di meja tidak lagi menggugah selera. Mereka akhirnya pergi ke kamar, mencari ketenangan diri dalam ketakutan yang masih belum sepenuhnya hilang.
“Apa mungkin Ibu masih punya urusan yang belum selesai?” Rahayu bertanya-tanya.
Masih sangat jelas rupa Rukmini sewaktu menampakkan diri. Wajahnya pucat kesi, rambut tergerai, dan sepasang mata pandanya menambah kesan kengerian. Rukmini muncul secara tiba-tiba, duduk di kursi dengan tatapan lurus menatap meja.
Semua orang terperangah. Mereka ketakutan melihat kemunculan sang ibu yang sudah meninggal. Rukmini muncul hanya sebentar, lalu menghilang ketika lampu kembali padam beberapa detik sebelum menyala lagi.
“Mas tidak tau.” Aryo yang tak kalah syok, masih belum bisa berpikir jernih. Seumur-umur, baru pertama kali dia ditampakkan sosok orang terdekat yang sudah meninggal.
“Apa itu memang benar Ibu?” Rahayu kembali bertanya.
“Mas tidak tau. Mas baru pertama kali mengalami seperti ini.”
Aryo duduk di samping sang istri. Saat itu dialah orang paling dekat dengan Rukmini. Saat sosok ibu mertuanya muncul, dia menjerit sambil sontak berdiri, bahkan tersandung kaki kursi saking terkejutnya ketika hendak pergi.
Sosok yang dilihatnya sama persis seperti yang dilihat di belakang rumah. Sosok itu jugalah penyebab dirinya terjatuh dari tangga.
“Mas seperti ini juga karena melihat Ibu,” kata Aryo, mengingat kembali saat dirinya terjatuh karena tiba-tiba merasa anak tangga yang dipijak bergerak-gerak sendiri.
Rahayu menatap Aryo. Namun, sebelum dia berbicara, sang suami terlebih dahulu berkata, “Demi Allah, tangganya gerak-gerik sendiri. Kamu harus percaya apa kata mas.”
Rahayu menggeleng. Perempuan itu merasa tidak mungkin ibunya berbuat seperti itu meskipun sebenarnya dia juga tidak tahu pasti apa yang dipercayainya benar atau tidak. Melihat orang yang sudah meninggal, lalu bangkit lagi saja sudah di luar nalar, apalagi sampai memercayai ucapan Aryo, lebih tidak masuk akal lagi.
HP di kasur bergetar, memecahkan ketegangan yang sempat tercipta. Tertera nama Herman di layar telepon. Rahayu mengangkat panggilan, percakapan pun terjadi.
“Dia jangan sampai tau dulu,” bisik Aryo.
Aryo memiliki firasat buruk jika sampai Rahayu bercerita. Bukannya melarang, dia hanya menghimbau agar tidak terburu-buru Herman diberi tahu. Besok setelah semua berkumpul, tidak hanya satu-dua hal yang nanti akan disampaikan, masalah penampakan Rukmini pun akan diceritakan.
Beruntung Rahayu langsung paham. Dia juga tidak tega jika Herman sampai tahu. Masalah sang kakak saja masih belum teratasi, tidak mungkin ditambah masalah lagi. Baik Rahayu maupun Aryo, mereka sudah tahu hubungan antara Herman dengan sang istri yang sering mengalami guncangan, belum lagi status Herman sekarang yang menjadi seorang pengangguran, sudah jelas pasti akan tambah runyam.
“Ya, sudah. Istirahat saja. Kalau besok tidak bisa pulang juga tidak apa-apa,” ucap Rahayu, menenangkan Herman.
Panggilan berakhir. Aryo membasuh wajah dengan kedua telapak tangan, lalu beranjak dari pinggir kasur. Dia sudah mulai merasa lebih tenang dan baik. Bagaimanapun juga, jika dirinya terlihat ketakutan dan tegang, pasti akan berpengaruh bagi sang istri, Rahayu pasti akan tambah takut dan makin tidak tenang.
“Ya, sudah. Lebih baik kita istirahat saja. Anggap saja tidak terjadi apa-apa. Mas mau keluar, mau cek pintu dan matikan lampu.”
“Jangan.” Rahayu menolak, dia tidak mau ditinggal seorang diri.
“Tidak akan terjadi apa-apa, percayalah. Apa Ibu sampai tega menakut-nakuti anaknya?” Tidak yakin, tetapi hanya itu yang terlintas dalam benak Aryo.
“Mas hanya cek pintu dan matikan lampu.”
Aryo pun pergi meninggalkan Rahayu meski dengan kondisi kaki belum pulih benar. Karena sempat mengalami sesuatu yang menakutkan, membawa pengaruh sendiri baginya. Dia menjadi waswas dan kerap mengkhayal yang tidak-tidak. Laki-laki itu selalu awas dengan sekeliling.
Ruangan pertama yang dituju adalah dapur. Sempat ragu bahkan sampai gemetar, gorden berhasil disibak. Aryo bernapas lega mendapati tidak ada apa pun yang menakutkan. Langkanya sedikit lebih cepat. Sesekali dia menatap kursi tempat sosok Rukmini menampakkan diri.
Adrenalinnya terasa dipacu. Atmosfer di dapur berubah drastis, terasa begitu mencekam. Pintu keluar halaman belakang sudah terkunci, Aryo melangkah ke arah sakelar. Sekali lagi, tatapannya mengarah ke kursi yang tergeletak sendiri, kursi yang selalu diduduki Rukmini.
Karena saat itu saking takutnya, makanannya, bahkan piring yang masih menyisakan makanan, tidak sempat dibereskan. Rahayu masih syok dengan apa yang dialami saat itu. Setelah berurusan dengan dapur, langkah Aryo berubah haluan. Ruangan demi ruangan terlewati, dia bisa kembali ke kamar tanpa terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
***
Tok! Tok! Tok!
“Buka pintunya!”
Rahayu memberanikan diri berjalan sendirian menuju ruang depan. Matahari belum terbit, pagi-pagi buta dia diganggu ketukan pintu yang diselingi suara Anwar.
Pintu terbuka, Rahayu dikejutkan dengan Anwar yang dalam kondisi buruk.
“Kamu ... kamu kenapa? Ke-kenapa babak belur seperti ini?”
Rahayu terkejut tidak kepalang melihat wajah Anwar penuh lebam dan membengkak. Terlihat bekas darah di sudut bibir sang adik, belum dengan kondisi pakaian yang kotor dan terdapat bekas telapak sepatu orang.
“Mas! Mas Aryo!” Dengan panik sembari beberapa kali menempelkan jemari di pipi lebam Anwar, Rahayu memanggil sang suami agar terbangun dan bisa membantunya.
Beberapa kali dipanggil, Aryo muncul. Dia pun sama terkejutnya dengan Rahayu. Langkah yang sudah tidak terlalu kentara pincangnya bergerak makin cepat, pertanyaan serupa dengan Rahayu pun ditanyakan olehnya.
Anwar dipapah menuju sofa terdekat. Setelah didudukkan, Rahayu bergegas ke dapur. Dia datang dengan sebaskom air hangat dan peralatan P3K. Sama seperti Aryo, dengan telaten dan diselingi ucapan-ucapan kemarahan, Rahayu mulai mengobati Anwar.
Anwar akhirnya cerita bahwa dirinya tiba-tiba dihajar beberapa orang tidak dikenal. Saat itu dia akan pulang ke rumah Rukmini, ketika istirahat sejenak, tiga orang laki-laki datang, lalu secara membabi-buta dia dikeroyok.
“Ngapain juga malam-malam kelayapan? Kan masih bisa besok. Untung kamu kagak kenapa-kenapa. Kamu tuh, bikin, orang lain panik, bikin orang takut.” Rahayu kembali mengomel.
“Nanti kita ke puskesmas saja, periksa kamu. Sekalian kamu, Mas, juga harus diperiksa.”
Anwar pun baru menyadari bahwa suami kakak perempuannya tadi berjalan agak pincang. Dia menatap Rahayu, lalu bertanya, “Kenapa sama Bang Aryo?”
Aryo dan Rahayu terdiam. Mereka saling tatap, bingung apa yang akan dijelaskan kepada Anwar. Kalau Aryo menceritakan yang sebenarnya, masih pagi seakan-akan sudah mencari masalah.
“Kemarin jatuh dari tangga.” Aryo menjelaskan yang terjadi meskipun tidak secara rinci sambil menunjuk bekas luka di lengan.
“Kalian aja nanti yang pergi. Mungkin nanti aku mau diurut saja. Ini pasti cuma terkilir,” tolak Aryo, merasa tidak harus segitunya sampai diperiksa di puskesmas.
“Kan biar sekalian. Biar kamu juga diperiksa, siapa tau terjadi apa-apa. Bisa jadi, lho, diurut malahan tambah parah.”
Aryo masih kekeh dengan pendiriannya. “Udah, kagak perlu. Ini sudah jelas, paling keseleo atau terpelintir.”
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...