“Ibu kalian itu dulunya sering ngobrol sama tetangga, sama ibu juga sering. Terakhir ke sini, ibu kalian sudah sangat berbeda. Dia pendiam, kadang bicara sendiri.”
Murti—tukang pijit—menceritakan masa lalunya dengan Rukmini sambil diselingi memijit Aryo. Sudah banyak perubahan yang terjadi kepada teman masa kecilnya itu. Dia juga merasa aneh pada perubahan sikap Rukmini yang terjadi sejak satu tahun yang lalu.
“Ibu pasti menginginkan masa tuanya berkumpul dengan anak-anaknya,” ujar Rahayu yang sedari tadi mendengarkan cerita Murti.
Aryo tidak banyak bicara, dia tengah menikmati pijatan di lengan dan kakinya meskipun kerap merasakan ngilu saat tangan wanita itu mengenai titik sakitnya. Menurut Murti, kondisi lengan dan kaki kanannya tidaklah terlalu parah, apalagi sampai patah tulang. Aryo cukup yakin, setelah dipijat, keadaannya akan jauh lebih baik.
“Bukannya kalian berdua sering ke sini? Ibu kadang berpapasan sama kalian, lho.” Murti menatap heran wajah oval Rahayu yang berdiri di samping ranjang.
Pertanyaan Murti justru membuat Rahayu heran juga. Tidak terkecuali Aryo, laki-laki pekerja kantoran itu teringat ucapan salah satu tetangga yang mengatakan pernah bertemu anak-anak Rukmini.
“Kami jarang ke sini. Suami saya orangnya sibuk, jarang ada waktu libur. Sebenarnya, mau-mau saja sering-sering ke sini kalau seandainya rumah saya dan Ibu dekat,” ujar Rahayu, menjelaskan.
Sebenarnya, tidak menjadi masalah bagi Rahayu, dia bisa mengendarai mobil sendiri. Meskipun jauh, mungkin satu atau tiga kali dalam sebulan bisa saja dilakukan. Akan tetapi, Aryo tidak mengizinkan dirinya mondar-mandir dari rumah ke kampung, sang suami terlalu khawatir.
“Waktu itu Danang juga pernah kalau dia melihat Mas Herman, Pak Sudibyo juga sama. Apa mungkin mereka sebenarnya ke sini, tapi kenapa harus berbohong? Kalau saya dan istri memang sudah jarang ke sini, saya sibuk di kantor, pulang saja sering sampai larut malam.” Aryo pun turut menjelaskan.
Murti terdiam. Dia mengingat-ingat kapan terakhir bertemu Rahayu atau Aryo. Waktu itu saat pulang dari rumah seseorang sehabis isya, dia berpapasan dengan Aryo, hanya sekadar berpapasan, tidak sampai bertutur sapa. Dahulunya juga pernah melihat Rahayu. Murti memperhatikan beberapa saat anak dari Rukmini yang sedang menyapu halaman.
Bisa jadi Murti salah lihat. Dia menduga wajah seseorang yang ditemui mirip suami Rahayu, ditambah lagi mereka berpapasan di kala malam, mungkin memang sebenarnya salah orang. Namun, tidak bagi Rahayu. Murti melihat sendiri dari kejauhan, anak Rukmini tengah menyapu halaman meskipun saat itu tidak sempat bertutur kata karena dirinya buru-buru pergi.
“Mungkin memang ibu yang salah lihat waktu itu. Kalaupun memang benar, Pak Aryo pasti akan menyapa,” kata Murti, mengakui kesalahannya.
Murti kembali fokus memijit. Sesekali jemarinya dilumuri minyak bercampur beberapa jenis tanaman rempah. Dengan telaten dan hati-hati, bergantian dirinya memijat bagian lengan atau kaki Aryo. Namun, karena sudah terbiasa mengobrol dengan seseorang yang dipijat, rasanya aneh jika suasana menjadi sepi.
“Anaknya tidak ikut ke sini?”
Pertanyaan yang membuat dada Rahayu dan Aryo tersentak. Mereka saling tatap. Rahayu hendak menjawab, tetapi cukup sulit baginya merangkai kata-kata. Ada semacam perasaan yang membuatnya lemas saat ditanyai masalah anak, begitu pun dengan Aryo.
“Doakan, ya, Bu.” Hanya itulah yang bisa Rahayu katakan.
Murti mulai mencerna maksud ucapan Rahayu. Tidak butuh waktu lama, dia memahami artinya.
“Ibu ... ibu minta maaf. Ibu tidak bermaksud menyakiti perasaan kalian,” ujar Murti, merasa menyesal telah bertanya.
“Tidak apa-apa, Bu. Mungkin memang belum saatnya kami dititipkan anak.”
***
“Kok, malah bengong? Hati-hati, kamu lagi motong-motong, nanti jadi salah motong.”
Suara Aryo mengagetkan Rahayu yang tengah membuat makan malam. Perempuan itu menoleh sekilas, lalu kembali memotong wortel menjadi ukuran kecil-kecil.
“Kamu kenapa? Kepikiran ucapan Ibu Murti tadi?” Aryo mencoba menebak isi pikiran sang istri.
Rahayu berhenti sejenak memotong. Dia mengembuskan napas panjang, lalu menjawab dengan malas. “Kita nikah sudah empat tahunan, tapi sampai sekarang belum punya anak.”
Dugaan Aryo tidak meleset. Jika tengah membahas anak, Rahayu akan sedih, seolah-olah merasa menjadi wanita tidak berguna. Sejujurnya, Aryo sendiri sudah sangat menantikan anak, hanya saja Tuhan seperti belum mengizinkan.
Berbagai cara sudah diusahakan, tetapi tidak membuahkan hasil sama sekali. Aryo tidak sampai hati membebani sang istri, apalagi mencari pengganti. Rahayu sudah cukup menderita akan sikap tetangga, bahkan mertua.
“Memang belum saatnya, kita harus banyak sabar,” kata Aryo sembari mengusap pundak sang istri, memberikan semangat dan dukungan.
Suara kursi digeser membuat Rahayu dan Aryo terkejut. Mereka menoleh, terlihat Anwar baru saja duduk. Dengan cepat, Rahayu menghapus air mata, menutupi kesedihan.
“Lama sekali? Dari mana saja tadi?” tanya Rahayu.
Bisa dibilang Anwar sudah pergi lebih dari setengah hari, berangkat ke puskesmas pukul sepuluh pagi, baru pulang setelah asar. Di meja, tergeletak plastik putih berisikan beberapa jenis obat. Sebelum zuhur saja Anwar sudah selesai, dia pergi ke beberapa tempat sebelum memutuskan pulang.
“Ke rumah temen,” sahut Anwar malas.
Rahayu sudah menduga hal itu akan terjadi. Bukan sebuah keanehan Anwar kelayapan di rumah teman, bahkan sampai tidur di sana. Tidak hanya Anwar, Dhamar pun dahulunya demikian meskipun jarang sampai menginap.
Melihat Anwar, Rahayu teringat pesan sang ibu agar tetap menyayanginya sebagaimana adik sendiri. Teringat kekacauan di kamar atas dan penemuan surat adopsi anak yang seharusnya berada di lemari Rukmini, tetapi ada di lain tempat. Rahayu tidak yakin Anwar belum mengetahui siapa dirinya. Tidak menutup kemungkinan, Rukmini sudah bercerita.
Kalaupun tahu, Rahayu berharap tidak akan menjadi masalah, seperti merasa dibedakan. Anwar tetap akan menganggap dirinya dan Herman sebagai kakak dan Dhamar sebagai adik. Jikapun belum mengetahui kebenaran, Rahayu berniat akan secepat mungkin mengungkapkan rahasia keluarga. Bagaimanapun Anwar harus tahu.
“Itu kenapa kamar atas berantakan?” tanya Anwar, taktahu keanehan yang dibuat Rahayu.
Sedari pulang pagi, Anwar berada di kamar bawah. Sesaat setelah pulang, dia terkaget melihat kondisi kamarnya berantakan. Tanpa harus mencari tahu siapa, Anwar sudah tahu siapa dalangnya. Rahayu, perempuan satu-satunya yang paling berkuasa di rumah.
Tentu saja Rahayu heran. Dia sudah sangat yakin penyebab kekacauan adalah sang adik, tetapi kenapa dirinya yang dituduh?
“Bukannya kamu yang berantakin?”
“Buat apa? Bukannya Mbak yang suka geledah kamar orang seenaknya?” Anwar menyindir.
“Sudah, malahan jadi berantem!” Aryo melerai dengan suara cukup lantang.
Pernyataan Anwar sebenarnya tidak salah, Rahayu memang demikian, sering sesuka hati menggeledah barang orang lain, tak terkecuali barang pribadi milik suami. Namun, yang Aryo tahu, istrinya bukanlah seorang pembohong, apalagi sampai menuduh.
Rahayu teringat ucapan Dhamar. Dipikir-pikir, sangat aneh jika yang diceritakan sang adik memang benar. Jika bukan Anwar pelakunya, apakah dirinya harus percaya bahwa cerita Dhamar memang fakta? Selepas kematian Rukmini, mulai banyak terjadi keanehan di rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...