Bismillah ..
•°•°•
Deg!
Tubuh Safiyah, tiba-tiba terasa kaku saat iris matanya tidak sengaja bersitatap langsung dengan netra legam pemuda itu. Jadi benar .. dia suami Nabila?
Dapat Safiyah akui, bahwa suami dari pemilik tubuh ini sangat tampan. Pahatan wajah yang terlihat sempurna itu, bahkan mampu membuat dirinya terpesona dalam sepersekian detik.
Tapi ada satu hal yang lebih membuat Safiyah terkejut. Tatapan itu? Netra hitam legam dari sosok pemuda yang sedang berdiri tepat di hadapannya.
Tajam dan menghunus.
Terlihat jelas, ada sirat kebencian di sana. Ia yang menyadari, sedikit mengerutkan alis dengan tampang kebingungan.
Apa itu hanya sekedar perasaannya saja? Atau sebelum dirinya masuk ke tubuh ini, Nabila telah membuat kesalahan? Safiyah menipiskan bibirnya, sembari bergumam tidak jelas di dalam pikirannya.
Ekhem!
"Terpesona sih terpesona, tapi nggak usah sampai lama juga kali tatap-tatapannya. lanjut di rumah aja nanti, Jangan di sini! kan yang liat jadi ikut baper. Plus iri! Duh, emang yah .. kalau udah bucin akut mah, di mana aja tetap saling romantis." Sindir Arumi, seraya memasukkan keripik singkong ke dalam mulutnya.
Mendapat sindiran halus dari Arumi, mereka segera mengalihkan pandangannya ke lain arah. Safiyah yang malu, mengutup dirinya dalam hati.
"Cih, nggak usah mulai kak. Mending kakak pulang! Urus anak, kasihan Atlas di tinggal seorang diri di sana." Balas Kahfi, sudah kepalang kesal dengan tingkah kakak perempuannya.
Kembali beralih menatap Nabila. Kahfi mendengus jengah, "ayo pulang!" Ajak pemuda itu, berbalik melangkahkan kaki jenjangnya lebih dulu.
"Loh, kamu mau kemana. Huh?" Tanya Melatih mencekal cepat tangan sang anak, menahan.
"Pulang, bun."
"Pulang kok istrinya nggak di bawah?" Kesal Melatih, greget melihat kelakuan anaknya.
"Dia punya kaki bun, dia juga bukan anak-anak lagi yang harus di tuntun." Jelas Kahfi malas.
"Kahen!" Tegur Pangestu pelan.
Membuang nafas kasar, rahang pemuda itu mengeras dengan tangan yang terkepal kuat di bawah sana. terpaksa, Kahfi kembali berbalik menatap tajam manusia iblis yang berwujud manusia itu. Sial*n!
"Ayo!"
Dengan gerakan kasar, pemuda itu meraih pergelangan tangan Nabila yang tertutupi khimar.
Safiyah yang belum siap dengan tarikan itu, mau tidak mau harus beranjak dari posisi duduknya dengan tidak etis.
"Astaghfirullah."
Ringisnya tanpa sadar menyentak tangan pemuda itu pelan. Terlepas, Safiyah menyembunyikan tangannya di balik hijab yang ia kenakan.
"A-aku bisa jalan sendiri." Ucapnya, memberikan jarak di antara mereka. Safiyah menatap datar nan dingin pemuda yang berstatus sebagai suami dari pemilik tubuh ini.
Bukan karena apa, tapi yang menempati tubuh ini sekarang adalah dirinya. Safiyah! Seorang gadis, yang selalu bersikap dingin dan acuh kepada lawan jenisnya.
Berinteraksi dengan laki-laki saja, sangat jarang! Bahkan, ia sampai di juluki sebagai perempuan sombong, karena sikapnya yang terlalu ketus dan cuek kepada laki-laki yang ingin mendekatinya.
Dirinya belum terbiasa, berdekatan dengan yang bukan mahramnya. Walaupun ia sadar, bahwa tidak sepatutnya ia bersikap seperti itu tadi. Karena pemuda di hadapannya saat ini, adalah suaminya. Salah! tapi lebih tepatnya suami dari Nabila. Pemilik tubuh, yang saat ini ia tempati.
Menghela nafas pelan, Safiyah menyungging senyum miris.
Ternyata, tebakannya itu benar. Mengenai perasaannya tadi, bahwa pemuda di hadapannya itu? memang benar membenci sekaligus tidak menyukai istrinya sendiri.
Bagaimana ia bisa tahu? Safiyah adalah orang perasa. Instingnya seakan sangat peka dan sadar, ketika hanya melihat dari tatapannya, intonasi bicaranya, serta gelagat pada orang yang mengajaknya berinteraksi. Dirinya bisa tahu, apalagi ketika suami Nabila yang menariknya lumayan kasar tadi. Sudah sangat membuktikan!
Tidak perduli dengan tatapan tajam yang lelaki itu berikan kepada dirinya. Safiyah berbalik menatap Melatih lembut.
"Kalau begitu, Nabila izin pamit yah bunda? Makasih, udah di buatin kue Brownis nya. Enak banget, Nabila suka." Safiyah memeluk singkat wanita paruh baya itu. "Maaf nggak bisa lama. In Syaa Allah, kapan-kapan aku akan berkunjung ke sini lagi bersama kak Arumi. Kita bisa coba membuat resep kue baru! Iyakan kak?" Ia menoleh sekilas ke arah wanita muda itu.
"Pasti dong!"
Melatih mengelus pipi menantunya lembut, " iya sayang, alhamdulillah kalau kamu suka. Makasih juga udah berkunjung ke rumah bunda .. baik, kapanpun kamu mau bunda selalu siap. Infokan aja nanti! Hati-hati yah sayang."
"Dan Kahen, jaga menantu bunda! Jangan sampai ada yang lecet. Awas saja kalau sampai bunda tahu, Nabila kenapa-napa .. habis kamu!" Pintah Melatih, memperingati sang anak dengan tampang garangnya.
Kahfi mendengus jengah, memutar matanya malas. Sebenarnya, anak bunda itu dirinya atau Nabila sih?! Heran, tadi pada saat berbicara sama si Medusa, sikap bundanya sangat lembut bak selembut kain Sutra. Sedangkan pada saat berbicara kepadanya, sikap wanita itu seketika berubah 180° menjadi pemarah. Tatapan garang, seakan ada luapan amarah yang akan selalu siap untuk meledak ketika bersamanya.
"Hm."
Setelah berpamitan kepada kedua orang tua Kahfi, mereka keluar beriringan menuju mobil pemuda itu.
"Masuk!"
Perintah Kahfi, seraya membukakan pintu Mobil samping pengemudi. Safiyah hanya menurut, melaksanakan perintah laki-laki itu tanpa menjawab.
Blam!
Baru saja bokongnya menyentuh jok Mobil, gadis itu dibuat terperanjat, oleh ulah Kahfi yang mendobrak pintu itu cukup kencang.
Safiyah menggeleng pelan, beristighfar meminta ampun kepada Allah. Sebenarnya ada masalah apa di antara mereka? Apa gadis ini, telah membuat kesalahan fatal?
"Pasang seat belt lo buruan! Gue nggak mau tanggung jawab, kalau nanti lo mati karena terbentur Dashboard. Tapi kalau itu benar terjadi, gue akan sangat senang dan akan bersujud syukur kepada tuhan." Kahfi menyungging senyum miring, menoleh menatap netra Coklat terang itu dalam.
"Lo emang layak buat mati! Karna lo itu hanya beban dan perusak. Lo pengganggu, pembawa sial .. Cih! Seharusnya lo gak usah hidup, tidak! Lebih tepatnya gue menyesal udah nolong lo waktu itu."
"Seandainya gue nggak nolong lo, mungkin sekarang hidup gue sangat tentram. Gue bisa bahagia bersama Sofia. Dan lo, nggak menjadi parasit dan benalu di antara hubungan kita. " Ujar Kahfi tajam.
Kedua tangan Safiyah terkepal kuat di balik hijab. Rahang gadis itu mengeras, menahan gejolak amarah yang tertahan di dalam sana.
Dari dulu, ia tidak perna mendapatkan kata menohok seperti ini. Karena ia selalu berusaha untuk menjaga perasaan mereka agar tidak sakit hati atas perkataannya.
Tapi kali ini, satu pemuda yang dirinya tidak ketahui. dengan berani mengatainya kata-kata yang tidak pantas.
"CUKUP! Jaga ucapan kamu Kahen!" Sentak Safiyah dengan tubuh bergetar takut. Entah kenapa, keberanian pada dirinya hilang ketika berdekatan dengan pemuda itu. Seakan, ada perasaan lain yang menahan dirinya untuk tidak berbuat lebih, apakah perasaan itu .. berasal dari lubuk hati Nabila?
Kahfi mendecak remeh. mencengkram kuat setir itu, sehingga memperlihatkan urat-urat tangannya. "Jangan berani, lo sebut nama gue dengan mulut kotor lo itu, sial*n!" Gertaknya mengumpat.
" ..... "
•°•°•
Alhamdulillah
KAMU SEDANG MEMBACA
Transmigration Or Dream? [REVISI]
Teen FictionLangsung baca aja, kalau kepo(: Kalau mau vote, komen dan follow .. Silahkan! kalau enggakpun tidak masalah. Hanya cerita kegabutan, tapi in syaa allah bermanfaat, dan menambah ilmu baru. Di baca aja dulu, siapa tahu minat .. WARNING!! Walau cerita...