penawar?

645 62 16
                                    


Xavier menatap penuh tanda tanya ke arah Kenan yang masih terpejam. Kerutan didahi sepupunya itu tercetak jelas dan membuat ia penasaran tiada henti. Belum lagi perihal sang ibu yang sudah 20 menit meninggalkan dirinya

"Apa yang terjadi di luar sana Ke?"

"Kumohon jangan bersuara Xier, sekali lagi jangan ya"

Bibirnya mengantup rapat. Kalimat peringatan secara halus itu terdengar sedikit menggidik, Xavier hampir ketakutan.

Pandangannya jatuh kejendela yang terlah tertutup, diluar sana sangat sunyi. Benar benar tak ada suara sedikitpun. Bahkan deru angin semilir tak terdengar indranya, dan keingintahuan semakin meroket naik.

Xavier berfikir keadaan memang senyap atau cuma ia yang tak mendengar apa-apa

Diliriknya kearah Kenan, pemuda itupun juga tengah menatap matanya, ada senyuman tipis disana. "Mereka sudah pergi, kita aman Vier" ujarnya.

"Kita aman dari apa?"

"Sesuatu yang menakutkan"

"Kau membuatku takut Ke, berhenti bercanda"

Kenan tertawa pura-pura. Niat hati ia ingin memberikan sedikit informasi tapi sepupunya terlampau tak fokus. Kaenan menghela napas, ia akan berbicara pada ibunya nanti.

Keduanya lantas keluar, disana Xavier melihat sang ayah dipenuhi oleh darah. Kakinya melangkah dengan cepat, menatap rupa rupawan itu dengan kekhawatiran. "A-ayah?" Panggilnya lirih, air matanya pun telah meluncur deras.

"Tenang Xier, darahnya bukan dari ayah. Ayah baik-baik saja". Gavin memberikan penjelasan dan sialnya membuat Xavier menatapnya terkejut

Xavier masih ingat jika terkhir ia melihat ayahnya menggunakan kaos berwarna putih. Dan sekarang, warna putihpun tak nampak sama sekali

"Ayah membunuh siapa?"




















Kerumunan kaumnya membentuk lingkaran, pakaian mereka serba hitam dengan payung ditangan mereka. Ditengah kerumuman itu berkobarnya api menggulat bak semburan. Tak padam walau air hujan turun mengiringi kesedihan mereka.

"Hendry meregang nyawa atas nama pack kita, aku turut berduka untuk betaku"

Laki-laki yang mungkin sudah berumur 50an itu menatap sedih papan kayu yang disusun telah menjadi abu. Didalamnya terdapat sang sahabat-betanya. Orang yang hampir 80% selalu bersamanya.

Ia menoleh kearah sang luna, perempuan cantik itu tersenyum. "Posisi akan kosong sampai Jengga mengantikanku, dan Tablo akan menggantikan ayahnya

Alpha yang tadi berbicara memandang putra sulungnya. Kilatan amarah masih tercetak jelas, sang putra gagal memastikan sesuatu dan malah nememukan hal yang membuat ia dan semuanya tak habis pikir.

"Jengga, ayah harap kamu tuntaskan semuanya. Matemu menunggu disana dan kaum yang sama juga mengincarnya. Tidak ada sejarah kau kalah, dia matemu dan dia milikmu"

Alpha itu pergi, menyisahkan Jenggala dengan anak betanya. Urat pada lenggannya tampak dengan dengusan yang kian menggila, "pemuda itu? Apakah mempunyai 2 mate, Tablo? Kenapa harus aku dan takdirku?" Tanyanya kearah sang teman.

Tablo menunduk, ia sedih melihat bagaimana sang ayah menjumpai ajalnya bahkan sebelum melihat dirinya naik pangkat-menggantikan popisi ayahnya. Tapi Tablo lebih sedih dan terluka mengetahui fakta calon Alphanya ini harus rela berbagi? Atau merekalan kaumnya?

"Maafkan saya, maafkan ayah saya yang gagal membawa luna"

Jenggala menggeleng, "latih semua pasukanmu, karena akan ada pembantaian dan peperangan besar-besaran dimasa depan atau mungkin sudah dimulai sekarang.."
























Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Malédiction | Yoshi Harem III [ HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang