‗ ❍ ⁴¹, ᴛᴇʀɪᴍᴀ ᴛᴀᴡᴀʀᴀɴ

124 24 18
                                    

“Soal apa kak? Kok malah diem?” Dhiya menatap suaminya dengan penuh kebingungan, ditambah penasaran. Jungwon masih terdiam, dia benar benar bingung untuk saat ini, apakah dia harus memberitahukan kepada istrinya tentang hal ini, atau tetap ia rahasia kan saja? Papah Dhiya pun tidak melarangnya untuk memberitahukan sekarang.

“Sayang, aku mohon setelah kamu denger apa yang aku omongin nanti, kamu jangan marah ya?” Dhiya mengerutkan keningnya, “Marah? Kenapa aku harus marah? Cepetan cerita ish” Jungwon menghela nafasnya, mungkin lebih baik Jungwon ceritakan saja ke istrinya.

“Kemenangan aku waktu juara modeling antar sekolah waktu itu jadi peluang besar untuk temen papah kamu sayang, setelah papah kamu tau kalo aku seorang model dia cerita ke teman-teman nya, dan salah satu temen papah kamu minta aku untuk gabung di perusahaannya, makannya tadi papah kamu cerita ke aku”

“Bagus dong, kak, kenapa gak di terima aja? Dengan begitu kan kakak bisa jadi model terkenal..” Dhiya tersenyum senang, saat mendengar ucapan suaminya..

“Itu masalahnya sayang. Kalo misalkan aku terima tawaran dari temen papah kamu, aku harus ikut terbang ke Amerika dan tinggal disana selama dua atau empat tahunan, mereka bilang aku gak boleh ajak siapapun, aku pergi ke sana hanya seorang, aku gak mau tinggalin kamu sama anak kita nanti kalo aku terima tawarannya” Jungwon menundukkan kepalanya agar tidak terlihat oleh istrinya kalau dia sedang menangis. Dhiya terdiam sejenak untuk memikirkan sesuatu, setelah itu Dhiya tersenyum dan membawa muka suaminya kehadapannya.

Dhiya menghapus air mata suaminya sembari tersenyum kearahnya: menyemangati “Jadi seorang model itu kan cita cita kakak dari kecil, gak mudah buat kakak untuk sampe sedetik ini buat jadi model, kalo emang tawaran dari temen papah adalah peluang besar buat kakak, ya menurut aku kakak terima aja, gapapa kok kalo emang aku harus di tinggal disini sama anak kita nanti, kita kan pasti ketemu kalo kakak ada waktu dan libur. jangan jadikan aku sama anak kita sebuah alasan untuk menghentikan langkah kakak menjadi seorang model, aku enggak suka itu”

“Tapi aku nggak mau kalo harus pisah sama kamu sayang, kamu itu penyemangat aku selama aku berusaha menjadi seorang model. Aku pernah gagal dan hampir nyerah buat jadi model, tapi kamu tahan aku dan kasih dukungan buat aku untuk terus bertahan dan berjuang. Jadi, kalau aku tanpa kamu disana, aku nggak tahu harus gimana, tanpa kamu disisi aku, aku gak bisa apa apa”

“Aku bakalan terus dukung kakak, dan semangati kakak walaupun aku gak ada disisi kakak, kan ada handphone buat saling komunikasi, kita bisa video call. Jadi, terima ya tawarannya”

“Kalo emang itu mau kamu, oke, aku terima”

Dhiya memeluk Jungwon, pun sebaliknya. Meskipun Dhiya mengijinkan Jungwon untuk menerima tawaran dari teman papah nya, tetapi Dhiya juga tidak mau ditinggalkan oleh suaminya. Karena, tanpa Jungwon disisinya Dhiya tidak bisa apa-apa, tidak ada yang menjaganya. Namun, demi suaminya bisa mencapai cita-citanya, mengapa tidak? Dhiya lebih baik menurunkan ego nya.

Dhiya melepaskan pelukannya lalu mengecup bibir Jungwon sekilas, “Oya, kapan kakak berangkatnya?” Tanya Dhiya.

“Bulan depan” Dhiya tersentak kaget, secepat itu?

“Bulan depan?!”

***

“Mah, kita berangkatnya jam berapa? Anak anak udah siap semua?” Tanya Papah Dhiya, Yoga. Lelaki paruh baya berumur sekitar 40 tahunan itu menghampiri istrinya. Cherlyn, istrinya itu baru saja menutup telfonnya dan menatap kearah suaminya.

Suddenly Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang