Sisanya sepanjang perjalanan kami lebih banyak diam. Tentara-tentara itu juga bersikap seolah mengikut saja yang akan kami lakukan.Aku masih memperhatikan setiap gedung, hotel, atau bangunan lainnya yang akan ku jadikan tempat singgah kami selanjutnya.
Aku bersikap seolah pimpinan atau lebih tepatnya pemandu wisata.
Ya, wisata kota Zombie.
Kulihat Lamira memberi prajurit David air mineral botol yang kubawa sebelumnya.
Prajurit David lantas meminumnya, tapi ia tidak melupakan rekannya yang lain.
Mereka minum bergantian. Jujur saja, aku senang melihat rasa solidaritas mereka yang tinggi. Meski sebelumnya mereka beradu mulut.
"Kau mau minum?" tawar kapten Adrian padaku.
Aku menggeleng.
" Tidak, kau saja yang habiskan." Ucapku singkat.
Lamira kembali memberi mereka sebungkus biskuit. Dan kembali berbagi seperti sebelumnya.
"Apa yang kau bawa di dalam tas ini?"
Kapten Adrian meraih tas berisi senjata yang kubawa sebelumnya."Itu isinya revolver, sten gun, dan amunisinya." jawabku singkat.
Ia tampak tidak senang, terlihat jelas dari wajahnya.
" Apa kau bisa menggunakan semua ini..." protes Kapten.
Tidak kujawab,melainkan melempar jawaban kepada Lamira.
"Lamira, jelaskan padanya!"
Kubiarkan Lamira yang bersuara.
"Kapten, kau terdengar meremehkannya. Jika bukan karena dia, mungkin aku dan yang lainnya sudah menjadi bagian dari mereka."
Kapten hanya diam.
Lamira kembali menceritakan pengalaman yang baru ia lalui. Ketika terjebak di sekolah penuh zombie tersebut. Ia mengakhiri ceritanya.
Kemudian Kapten Adrian yang bercerita tentang misi sebelumnya yang mengevakuasi warga rumah sakit sebelumnya.
"Sebelumnya ada seorang guru dari sekolah menengah atas yang menghubungi kami untuk meminta bantuan. Karena Kepala sekolah mereka menerima serangan salah satu monster ini." Ucap Letnan Gerrit sambil memakan roti.
Kurasa yang dimaksud itu sekolah Lamira.
"Bagaimana mereka bisa menghubungi kalian?""Sebelumnya pemerintah memberi peringatan melalui siaran darurat pagi ini." Ujar Kopral. "Dan ada nomor telepon yang tertera disiaran tersebut untuk menghubungi kami jika masih ada sebagian warga yang belum terpapar wabah ini.'' sambungnya.
"Tapi hasilnya nihil, karena seisi sekolah sudah berubah menjadi zombie." Lanjut Kapten.
Perkiraanku tak mungkin meleset, tentu yang dimaksud itu sekolah Lamira.
Meskipun mereka datang lebih awal dariku, tidak akan merubah kemungkinan."Kami tiba di sana setelah 30 menit, karena terbatasnya kendaraan yang bisa kami gunakan," jelas Prajurit David. " Tapi siapa sangka sekolah itu akan menjadi markas para zombie dalam waktu 30 menit itu."
"Andai kalian datang lebih awal," ucap Alice lirih. "Tidak akan ada bedanya, " tangisnya kembali meledak.
"Aku.. Aku tidak menyangka semua akan seperti ini, aku benar-benar berharap ini hanya mimpi. Bahkan aku harus menyaksikan sahabatku diserang di depan mataku sendiri..."
Alice terus menangis sesenggukan. Lamira berusaha menenangkannya.
Sebelumnya juga aku mengira ini hanya mimpi, aku sendiri masih bingung dengan kenyataan yang ada.
KAMU SEDANG MEMBACA
ARTIFICIAL HUMAN
Science FictionSedari awal aku memang tidak mengenal siapa diriku yang sebenarnya. Rentetan peristiwa sejak awal mula aku hidup bak robot manusia yang harus memenuhi keinginan mereka. Dan percobaan demi percobaan menciptakan monster yang menghabisi jutaan manusia...