Bab 1 (Mari Bercerai)

1.9K 109 5
                                    

Play musiknya dan baca ceritanya.

Happy Reading!

💖💖💖💖

"Mari kita bercerai, Yasmin."

Tiga kata yang sangat sederhana, tetapi mampu membuat Yasmin merasa dunianya runtuh seketika. Dia tidak tahu di mana letak kesalahannya sehingga suaminya dengan begitu lantang mengajaknya untuk berpisah.

"Kali ini alasan apa lagi, Mas?" tanya Yasmin, "apakah masih masalah yang sama?"

Gusti-suami Yasmin-hanya bisa memalingkan wajahnya, dia tidak sanggup melihat raut wajah hampa Yasmin yang terasa menyakitkan untuknya.

Perlahan, Gusti menganggukkan kepalanya.

Masalah yang sama, terus akan sama dan selamanya akan sama jika, Yasmin tidak bisa menyelesaikan sumber permasalahannya langsung dari akarnya.

Lantas, kenapa hanya Yasmin saja yang harus menyelesaikannya? Karena, hanya dia yang bisa membuat masalah ini selesai, tetapi dia juga tidak punya kuasa untuk sesuka hati menghadirkan suatu kehidupan dalam rahimnya tanpa ada kehendak dari Tuhan.

"Mas, apa kita benar-benar harus bercerai? Apa tidak ada jalan lainnya?" tanya Yasmin dengan nada pelan seraya menarik ujung kemeja suaminya.

Gusti yang berdiri di depan Yasmin yang sedang terduduk terdiam sejenak sebelum menjawab, "Ada jalan lainnya, Yas. Tapi, Mas yakin kamu akan lebih tersakiti di sini."

"Katakan saja, Mas. Siapa tahu hal itu bisa menjadi solusi dari masalah kita," kata Yasmin dengan senyum tipisnya. Dia tidak masalah jika harus tersakiti, yang terpenting dia tidak berpisah dari orang yang dia cintai.

Gusti menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar sebelum berkata, "Jalan lainnya adalah dengan menyewa rahim atau aku menikah lagi, Yas." Gusti menatap wajah ayu Yasmin dalam, "aku yakin kamu akan lebih sakit kalau sampai aku melakukan hal itu. Aku tidak mau menyakiti kamu lebih dalam, Yas."

Yasmin menahan napas dalam-dalam mendengar penuturan suaminya. Memang jalan lain apa yang bisa dia dan suaminya lakukan kecuali dua hal itu?

Betapa bodohnya kamu, Yas. Sudah tidak ada jalan lagi bagi kamu dan Mas Gusti bersama.

Yasmin menghapus air matanya yang turun tanpa diminta. Dia berdiri di depan suaminya dan menatap tepat pada mata suaminya yang berwarna coklat madu.

"Mas, apa aku boleh bertanya?"

Gusti mengangguk pelan, mempersilakan Yasmin bertanya sesuka hati tanpa kata. Gusti kembali memalingkan wajahnya, enggan menatap wajah ayu Yasmin.

Yasmin menggenggam tangan suaminya yang terasa dingin, seketika dia tersenyum sendu dan bertanya, "Apa kamu bisa, sekali saja tidak menuruti ucapan ibumu, Mas? Bisakah kamu mempertahankan rumah tangga kita walau tanpa kehadiran seorang anak?"

Dari nada suaranya, Gusti tahu kalau Yasmin sedang berusaha mati-matian untuk menahan tangisnya dan memandangnya penuh harap.

Gusti ingin, dia ingin sekali melakukan semua yang dikatakan oleh istrinya.

Gusti ingin bersama Yasmin. Gusti ingin mempertahankan rumah tangga mereka. Gusti ingin bersama Yasmin, bahkan tanpa kehadiran seorang anak pun. Sumpah demi apapun, Gusti sangat ingin.

Tapi, yang dilakukan Gusti justru sangat mengkhianati apa yang diinginkan oleh hatinya.

Perlahan, Gusti menarik tangannya dari genggaman tangan Yasmin. Dia mundur perlahan dan menggelengkan kepalanya pelan.

"Maafkan aku, Yasmin." Setelah mengatakan itu, Gusti langsung pergi keluar dari kamar tanpa mempedulikan isak tangis Yasmin yang terdengar menyayat hati.

Yasmin langsung jatuh ke atas lantai yang dingin bertepatan dengan pintu kamar yang tertutup rapat.

Yasmin menutupi wajahnya seraya menangis terisak meratapi nasib pernikahannya yang harus hancur karena dia tidak bisa hamil atau lebih tepatnya belum bisa hamil diusia pernikahannya yang ke-5 tahun.

Pernikahan yang selalu dia impikan untuk bisa langgeng sampai dia berubah menjadi nenek-nenek, tidak akan pernah bisa terwujud lagi.

Suami yang selalu dia doakan supaya bisa menemaninya disetiap suka maupun dukanya pun meninggalkannya di saat dia tengah butuh sandaran.

"Kenapa, Tuhan? Kenapa aku merasa Engkau sangat membenciku? Takdir macam apa yang Engkau gariskan untukku ini," kata Yasmin pelan.

Di balik pintu, Gusti mendengarkan semua isak tangis istrinya.

Mata Gusti turut memerah mendengar perkataan lirih Yasmin.

Bukan, ini bukan salah takdir ataupun Tuhan yang membenci Yasmin. Ini semua adalah salahnya yang belum bisa menjadi sosok suami tegas, berpendirian, dan masih mengikuti apa kata ibunya.

Yasmin, Sayang, jangan menyalahkan dirimu sendiri atas semua hal yang terjadi, karena sejatinya, ini semua adalah salahku.

Gusti ingin sekali berlari ke dalam dan merengkuh Yasmin ke dalam pelukannya, tetapi dia tidak bisa. Sudah cukup dia memberikan luka untuk Yasmin, biarkan semua menjadi seperti ini saja.

"Cengeng," kata Bu Naya kepada putranya itu.

Gusti yang melihat ibunya ada di depannya langsung menghapus air matanya yang entah sejak kapan mulai turun.

"Saya tidak cengeng, Bu. Air mata ini turun, karena dia tahu sebentar lagi akan kehilangan seseorang yang sangat berharga," balas Gusti tersenyum tipis, "dan semua ini berkat, Ibu. Apa Gusti harus berterimakasih kepada Ibu?"

Bu Naya mengibaskan tangannya ke udara dan tersenyum pongah.

"Tidak perlu repot-repot berterimakasih kepada Ibu. Ibu tahu apa yang terbaik untuk anak-anaknya. Lebih baik sekarang, kamu cepat pergi dapatkan surat cerai. Ibu mau kalian berdua resmi menandatangani surat cerai sore ini!" tegas Bu Naya dan berlalu pergi begitu saja tanpa mempedulikan perihnya hati Gusti.

Gusti menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan sebelum beranjak keluar dari rumah. Gusti akan mengabulkan apa yang diminta oleh ibunya itu.

Di dalam kamar, Yasmin sudah berhenti menangis. Yasmin sudah memutuskan untuk menerima semua takdir yang telah digariskan oleh Tuhan dan menjalaninya dengan lapang dada.

Apapun yang digariskan oleh Tuhan untuknya, itulah yang terbaik untuk kehidupannya.

Yasmin berjalan keluar dari kamar dan menuju dapur. Di sana dia bertemu dengan calon ibu mertuanya. Yasmin mengumpulkan mentalnya karena dia yakin calon ibu mertuanya ini pasti akan mengolok-ngoloknya.

Bu Naya yang melihat kedatangan Yasmin langsung mendengus sinis dan berkata, "Oh, Tuan Putri baru terbangun? Pantas saja Gusti tidak betah memiliki pasangan seperti kamu ini. Sudah tidak bisa hamil, pemalas, dan tidak pandai memasak pula."

Yasmin berusaha tidak mendengar cercaan ibu mertuanya dan meneruskan kegiatannya untuk minum.

"Heh, kamu ini tuli, ya? Dasar gak punya sopan santun! Untung saja Gusti sekarang sudah pergi mengurus berkas perceraian kalian. Semakin cepat kalian bercerai semakin bagus. Gak guna juga lama-lama punya menantu kayak kamu!" sengit Bu Naya lalu pergi dari dapur dengan perasaan dongkol karena diabaikan oleh calon mantan menantunya.

Yasmin yang telah selesai minum langsung meletakkan kembali gelasnya ke atas meja. Dia tersenyum getir mendengar semua perkataan ibu mertuanya.

Dulu, ibu mertuanya tidak seperti ini. Entah apa yang membuatnya berubah. Mungkin saja karena ibu mertuanya itu sangat ingin cucu sedangkan dia tidak bisa memberikannya.

Juga, perkara perceraian....

"Kenapa secepat ini?" tanya Yasmin lirih dengan mata mulai berkaca-kaca.

Oh, Tuhan. Yasmin ingin menangis lebih keras saat ini.

-TBC-

Oh, My Baby! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang