Prolog

208 27 2
                                    

Derap langkah seorang anak lelaki berambut merah menggema di jalan berbatu East Avenue yang becek dan pesing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Derap langkah seorang anak lelaki berambut merah menggema di jalan berbatu East Avenue yang becek dan pesing. Napasnya terengah-engah, titik-titik peluh mengalir menuruni wajah bulatnya. Sebelah tangannya memegangi topi newsboy kumalnya agar tidak terlempar dari kepala. Hanya itu satu-satunya topi yang ia punya, dan ia tak mau sampai kehilangan benda itu. Matanya bolak-balik memandang ke sekelilingnya.

Makhluk itu bisa datang dari mana saja, bocah itu membatin. Ia tidak pernah menyangka monster itu bukan hanya sosok dalam dongeng absurd para tunawisma pemabuk yang setiap hari ia lewati dalam perjalanan ke pabrik. Makhluk itu nyata, hadir dalam darah dan daging selayaknya manusia. Nafsu membunuh ada dalam jiwanya yang gelap dan busuk. Ia membaur dalam kegelapan. Tak berjejak, tak mencolok, tak berisik. Hanya kehadirannya yang menjadi pertanda bagi manusia, bahwa manusia itu tidak sendiri di alam ini.

Bocah itu tak tahu mengapa ia menjadi incaran malam ini. Mungkin karena ia sehat dan lincah, atau karena dagingnya masih lembut dan empuk. Ah, tidak, ia bahkan tidak yakin apakah makhluk itu hendak memakannya. Satu yang pasti, makhluk itu mustahil berniat baik. Sosok itu begitu ganjil, laksana sebuah massa berwarna hitam yang senantiasa berselubung asap. Di sela-sela asap, terlihat kulit kelabu kehijauan, yang mengelupas dan meneteskan cairan kecokelatan berbau busuk. Kuku-kuku tangannya bagaikan cakar elang. Saat berjalan, langkahnya senyap, seakan kakinya tidak menapak tanah. Bocah itu tidak berani melihat kepalanya. Ia keburu lari, didorong ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Tadinya malam ini biasa saja. Si bocah berjalan pulang setelah sif yang melelahkan di pabrik alat-alat rumah tangga Worthington & Co. Tatkala sang bocah melihat makhluk itu di ujung jalan, ia mengira sosok itu hanyalah seorang pria asing berjaket panjang. Namun, kengerian tak terjelaskan segera menyergap seluruh pikiran sadarnya. Ia tahu ia dalam bahaya. Maka, segera ia mengambil jalan memutar. Saat itulah makhluk itu, yang kini jelas bukan manusia, melesat melewati sudut matanya. Refleks, ia lari tunggang langgang, menuju tempat sembunyi pertama yang mampu ia pikirkan.

"Seseorang, tolong aku ...," bisik bocah itu gemetar. Ia duduk dalam sebuah peti kayu bekas di belakang toko kelontong, tangan memeluk kedua lututnya. Telinga dan matanya berawas-awas. Bunyi desis samar makin lama makin mendekat. Kegelapan menyelimuti, cahaya sirna dari sela-sela papan sambungan peti. Bocah kulit putih itu tak berani bersuara. Pelan-pelan tangannya mengusap air mata dari pipinya yang berbintik-bintik dan kotor bernoda cat. Suhu udara makin menurun, dinginnya tajam menusuk tulang.

Ia teringat pada rumah. Pada senyum ibunya dan sepanci sup hangat di meja makan, pada adik perempuannya yang masih balita, pada anjing-anjing kampung jinak yang menjadi teman mainnya. Lalu, ia teringat ayahnya, yang sudah berbulan-bulan berlayar ke Karibia. Jika ia mati di sini malam ini, kapan jasadnya akan ditemukan? Siapa yang mengajak main adiknya dan memberi makan anjing-anjing itu? Siapa yang akan menyambut ayahnya di pelabuhan kala lelaki itu pulang?

Lalu, sekonyong-konyong, suasana kembali normal.

Anak itu hampir tak mempercayai indera-inderanya. Dalam sekejap, udara malam kembali pengap dan gerah khas musim panas. Pendar lampu-lampu gas di tepi jalan kembali terlihat. Kala ia memasang telinga, sayup-sayup terdengar bunyi kaki kuda dan roda kereta berkelotakan di jalan utama, sesekali ditingkahi cuit kelelawar. Tentu saja ia tidak langsung percaya. Bocah itu diam, menunggu. Keadaan masih sama sunyinya. Setelah sepuluh menit, hati-hati ia melangkah keluar.

Aman! soraknya dalam hati. Ia melangkah cepat menuju jalan utama. Namun, ia tak pernah sampai ke ujung gang kecil itu. Tepat tiga bangunan jaraknya dari tempat ia bersembunyi, sosok hitam itu secepat kilat menerjangnya. Ia tak tahu dari mana makhluk itu datang. Dalam sekejap, kegelapan melingkupinya, membelit tubuh mungilnya erat-erat hingga rusuknya serasa remuk.

"T ... tolong! Aaah!" Anak lelaki itu meronta-ronta. Makhluk itu membekapnya. Cairan pahit berbau busuk bertetesan mengaliri kerongkongan si bocah. Betapa pun ia ingin muntah, ia tiak kuasa menyingkirkan daging si makhluk dari mulutnya. Lalu, sekonyong-konyong, ia rasakan sepasang bilah panjang nan tipis bagai batang es menembus lehernya. Seketika, sensasi beku menjalari tiap jengkal pembuluh darahnya, seolah jiwanya disedot paksa dari dalam tubuh.

Kemudian, semuanya senyap.

Hai! Di awal tahun 2023 ini, setelah sempat frustrasi parah soal menulis, aku memutuskan untuk kembali ke dalam comfort zone

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai! Di awal tahun 2023 ini, setelah sempat frustrasi parah soal menulis, aku memutuskan untuk kembali ke dalam comfort zone. Kisah ini bakal di-update setiap akhir pekan, sekitar 1-2 bab perminggu. Hitung-hitung sekalian membiasakan diri kembali menulis rutin.

Semoga kalian suka, ya! Jangan lupa masukkan cerita ini dalam Library, supaya enggak ketinggalan notif update 😊

Into the ShadowsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang