Peraturan kedua: dilarang keluar dari area pelayan di atas pukul sembilan malam sampai fajar menyingsing, kecuali ada keadaan darurat, seperti kebakaran atau gempa bumi. Perkecualian diberikan bila Lord Beverley sendiri yang memanggil.
~ 🥀🥀🥀 ~
Pada malam yang menggelisahkan itu, Amy sedang membaca di kamarnya. Sudah lewat pukul sepuluh. Tugas-tugas Amy sudah selesai. Lord Beverley memiliki perpustakaan besar di lantai dua rumahnya, dan ia membebaskan Amy membaca buku mana saja asalkan gadis itu tidak mengotori ataupun merusak halaman buku. Sudah pasti Amy sangat bahagia. Sebentar saja, ia sudah melahap berbagai buku di sana. Mula-mula novel dan buku sejarah, kesukaannya, lalu berpindah ke buku-buku pengantar ilmu alam yang luar biasa tebalnya.
Saat itu, ia sedang membaca sebuah novel yang ia temukan terselip di sudut rak. Frankenstein, itu judulnya. Buku fiksi ilmiah, kata Lord Beverley. Mulanya Amy terheran-heran. Bagaimana bisa fiksi jadi ilmiah? Bukankah segala sesuatu yang ilmiah harus nyata? Karena itulah ia jadi lebih penasaran. Apalagi, penulisnya perempuan. Hanya, Amy tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk membaca buku itu sendirian di malam hari adalah sesuatu yang sangat keliru. Bagaimana tidak, ia jadi terbayang-bayang adegan kala Victor Frankenstein diam-diam memutilasi mayat baru di pekuburan, lalu menjahit bagian-bagian tubuh mayat membentuk satu manusia utuh.
Sebaiknya aku berhenti di sini, pikir gadis itu sembari mengusap matanya yang pedas dan berair. Sekejap kemudian, ia menguap lebar-lebar. Setengah bermimpi ia mematikan lilin, melepas kacamata, lalu beringsut ke tempat tidur.
Malam itu, tidur Amy tak nyenyak. Dalam mimpinya, ia berangkat ke pasar. Cahaya purnama menerangi jalannya. Namun, alih-alih pasar, ia malah tiba di kuburan. Di sana-sini, orang berpakaian serba hitam sibuk mencangkul. Hampir seluruh makam telah dibuka. Di samping lubang-lubang yang menganga, orang-orang menggergaji mayat, lalu menyortir potongan-potongan tubuh ke dalam karung-karung terpisah.
"Selamat datang, kau mau beli apa?" Salah satu sosok berjubah hitam itu bertanya. Mukanya berubah-ubah. Sedetik mirip Nyonya O'Neill, sesaat mirip Joanne.
"Ugh, a ... aku ...." Sesuatu bergemerisik dalam genggaman tangan Amy. Gadis itu menemukan sehelai kertas kusut dalam tangan kirinya. Daftar belanjaan. Sepasang lengan, sepasang tungkai, sepasang ginjal, dan sepasang paru. Si Sosok-Tidak-Jelas mengambil kertas itu, membakarnya jadi abu, lalu menelan abunya bulat-bulat. Kemudian, tengadahlah ia dengan mulut menganga dan menjerit sekeras-kerasnya, hingga kelelawar-kelelawar berhamburan kabur dari pepohonan.
"Uwaaah!" Amy refleks ikut berteriak. Seketika kelopak matanya terbuka lebar. Jantungnya berdentam-dentam. Ia berbaring telentang di kasur dengan keringat membanjiri tubuh. Gadis itu mengerjap-ngerjapkan mata keheranan. Aneh, sudah lama sekali ia tak bermimpi! Lagipula, suara jerit yang ia dengar begitu ganjil. Serak dan penuh keputusasaan, seakan sang empunya suara tengah menanggung kengerian yang amat sangat.
Suara itu pasti nyata! batin Amy.
Bunyi-bunyian berisik masih terdengar dari luar. Kedengarannya seperti dua ekor hewan yang berkelahi. Tangan Amy meraba-raba kacamatanya di nakas. Setelah ketemu, ia nyalakan lilin. Jeritan tadi terus terngiang dalam telinganya, makin lama makin jelas. Tadinya Amy yakin itu suara perempuan, tetapi sekarang ia tak lagi yakin. Satu hal yang ia percaya, suara-suara itu sangat dekat dengan Emerald Hall. Barangkali malah dari dalam rumah.
Gemetaran, gadis itu duduk di ranjang sambil memandangi pintu kamarnya. Tubuhnya beku oleh rasa takut. Suara-suara di luar makin berisik. Mendadak, jerit melengking itu terdengar lagi, disusul suara hantaman berkali-kali. Setelah itu, sunyi. Amy menahan napas. Hening yang tersisa malah terasa lebih berat dan menyesakkan daripada keributan itu.
Sungguh, Amy sangat risau sekarang. Memang, Lord Beverley telah melarangnya keluar sampai fajar menyingsing. Namun, bagaimana jika justru lelaki itu sedang dalam bahaya? Sialnya, Amy tak mungkin mengecek dari kamar. Dapur dan kamar pelayan terletak pada sebuah paviliun, terpisah dari bagian rumah yang lain oleh sebuah lorong. Ada sebuah lonceng bertali yang menghubungkan dapur dengan ruang makan, sehingga penghuni rumah dapat memanggil para pelayan tanpa harus pergi ke belakang.
"Argh, sudahlah! Toh aku telanjur tidak bisa tidur!" Gadis itu menggeleng keras-keras, meraih lilin, lalu bergegas membuka pintu kamar. Kalau ia tidak memuaskan rasa penasarannya sekarang, ia yakin dirinya akan menjadi gila. Lagipula bila nanti Lord Beverley marah, ia tinggal mengarang alasan, bukan? Tidak ada tuan yang bakal marah kala mengetahui bahwa pelayannya mengkhawatirkannya. Setidaknya, itulah pikiran Amy.
Kegelapan terhampar di balik pintu. Tak ayal, ciut juga nyali Amy. Nyala lilin memantulkan bayang-bayang tubuhnya ke dinding, besar dan buram seperti hantu. Sekali ia keluarkan pekik tertahan waktu seekor tikus lari di antara kakinya. Namun, hati kecil Amy menolak mundur. Setelah satu tegukan ludah, ia paksa diri melangkah maju. Perlahan, ia buka kunci dapur, lalu ia berjingkat-jingkat melewati koridor penghubung areaa pelayan dan rumah utama.
Bagian utama rumah masih sama gelapnya. Jam menunjukkan pukul dua dini hari. Dinginnya udata menembus gaun katun tipis yang Amy kenakan. Gadis itu sama sekali lupa untuk mengambil mantel. Amy menudungi nyala lampu dengan tangan supaya tidak terlalu mencolok. Sampai di dekat laboratorium, Amy terperangah. Cepat-cepat ia bersembunyi di balik lemari. Ada cahaya dari dalam laboratorium!
"Malam-malam begini Lord Beverley masih bekerja?" gumam Amy heran.
Aneh sekali, meski ia tahu bahwa ia mungkin sudah menemukan penjelasan logis atas lampu itu, perasaan Amy masih saja tidak enak. Gadis itu berpikir keras, berusaha mencari penyebabnya. Akhirnya, ia menyadari keganjilan-keganjilan yang mengganggunya. Pertama, Lord Beverley tak pernah membiarkan pintu terbuka ketika laboratorium sedang digunakan. Malahan, ia sendiri yang meminta Amy menutup pintu apabila ia lupa, supaya uap senyawa-senyawa toksik tak menyebar ke mana-mana. Kedua, selot pintu depan terbuka. Padahal, Amy yakin betul ia sudah memasang selot waktu mengunci pintu depan tadi sore.
"Lord Beverley?" cicit Amy. Selangkah, dua langkah, ia makin mendekat. Tangannya yang bebas terangkat ke depan. Sesaat, waktu bagai melambat. Sinar kekuningan lampu gas makin benderang di matanya. Pendar lilin membayangi pipi bulatnya. Napasnya tertahan tanpa ia sadari. Perlahan, tampaklah meja panjang penuh wadah-wadah kaca berserakan. Buku dan berkas-berkas catatan Lord Beverley terhampar di sana-sini. Jarum jam bergerak maju, tiap bunyi detiknya terdengar bagai hitungan mundur ....
Tiba-tiba, pintu depan pun terbuka!
Amy terperanjat. Wadah lilin di tangannya goyah. Lilin panas menetes, membakar jemari tangan kiri gadis malang itu. Di hadapannya, menjulang seorang pria. Wajah orang asing itu tertutup topi. Jaket panjangnya menyelubungi tubuh, bagai sayap-sayap kelelawar raksasa. Ia melangkah maju, dan Amy mundur perlahan. Tangan gadis itu gemetar hebat. Nyaris Amy menjerit, tetapi orang itu segera membekapnya. Dengan gerakan lembut nan mantap dari tangannya yang bebas, sosok itu mengambil lilin beserta wadahnya dari genggaman Amy."Amy, tenang! Ini aku!"
Apa? Amy membeliak tak percaya. Suara itu .... Ia mengenalnya!
Gimana, sudah mulai seru, belum? Nantikan sambungannya minggu depan, ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Into the Shadows
Paranormal[Paranormal - Thriller - Dark fantasy] Content warning: violence, horror elements Musim gugur 1886. Amy, seorang gadis yang kehilangan segalanya pasca kebakaran menghanguskan rumah dan keluarganya, mulai bekerja sebagai pelayan di rumah Lord Nathani...