Penglaris

214 6 0
                                    


Wulan tak menjawab pertanyaanku. Dia masih tertunduk menangis, tangis darah tentunya. Diangkatlah tangannya menuju wajahku. Aku terdiam kaku, tangan itu menuju ke kedua mataku. Tapi aku tidak bisa  memejamkan mataku, bahkan untuk berkedip pun tak bisa. Kelima jari-jarinya masuk ke dalam bola mataku, menyusup ke dalam seakan menembus otakku. Tak kurasakan apa-apa, tapi aku tahu ternyata Wulan membagikan pandangannya padaku terhadap apa yang dia lihat padaku selama dia hidup. Entah apa ini, tapi aku seakan merasakan mimpi di dalam mimpi.

Wulan mengajakku kembali, flashback  pada apa yang terjadi. Aku tak tahu ini terjadi tahun kapan, tapi aku menduga terjadi dimulai 2 tahun lalu. Dimulai saat Arif dan Wulan membeli sebidang tanah kavling murah, paling murah diantara beberapa kavling di gang ini karena terletak di bidang paling ujung sebuah gang buntu. Dibangunlah sebuah rumah mungil, persis dengan yang aku kontrak sebulan ini. Yang membedakan adalah rumahnya ini belum di-finishing, temboknya masih bata dan semen. Mereka pindah kesini karena Arif mendapatkan rolling pekerjaan dari kantor pusatnya di Surabaya. Mereka berdua yang baru menikah pun akhirnya pindah berdua di Banguntapan, Bantul, Yogyakarta.

Setiap pagi Arif berangkat bekerja ke kantornya di sebelah utara Bandara Adi Sucipto Yogyakarta, sedangkan Wulan yang resign dari pekerjaannya di Surabaya, menunggu di rumah saja karena belum mendapatkan pekerjaan. Bosan menganggur, Wulan pun berusaha mencari pekerjaan. Iklan di media sosial, koran dan bertanya ke tetangga-tetangga. Bertemulah akhirnya Wulan dengan tetangga terdekatnya, mbak Sri. Mbak Sri adalah janda yang suaminya sudah meninggal. Dia hidup sendiri di rumah besar itu, yang satu gang dengan Wulan. Pucuk dicinta ulam pun tiba, mbak Sri yang sedang membutuhkan tenaga tambahan di warungnya menawarkan pada Wulan untuk bekerja di warungnya. Daripada tidak ada pekerjaan pikir Wulan, tawaran mbak Sri pun diterimanya.

Warung makan yang dipunyai mbak Sri adalah warung gudeg khas Jogja. Tempatnya pun tidak begitu strategis, masuk ke dalam gang yang di gang tersebut hanya ada beberapa rumah saja. Namun jangan salah, ramainya luar biasa. Pengunjung datang dari dalam dan luar kota. Pegawainya yang sudah 10 orang saja masih sering kewalahan melayani pengunjung. Bahkan pengunjung sampai duduk beralaskan tikar memanjang sepanjang pinggir gang. Suasana sawah dan gemericik air parit menambah nikmatnya makan di warung mbak Sri. Warung mbak Sri selalu buka setiap hari dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore. Libur sebulan hanya sekali yaitu di hari Rabu Kliwon.

Sudah sebulan bekerja di warung ini, Wulan mendapatkan gaji yang dirasa cukup banyak untuk sebagai pelayan di warung. Arif juga senang, istrinya mendapatkan pekerjaan yang membuat istrinya memiliki kesibukan. Saat berangkat bekerja, Arif sekalian mengantarkan Wulan ke warung karena memang searah. Di warung mbak Sri, sebenarnya semua pegawai boleh makan sepuasnya. Yang membuat aneh, ada beberapa pelayan yang bekerja dengan membawa bekal makanan dan minuman. Bahkan kalau dilihat seksama, mereka tidak makan dan minum apapun di warung tempat mereka bekerja.

Wulan yang penasaran akhirnya bertanya pada salah satu diantara mereka. Tapi dia tidak mendapatkan jawaban apapun, hanya beralasan mereka tidak suka makan gudeg apalagi setiap hari. Sampai di suatu waktu, Wulan mendapatkan isu bahwa makanan yang dijual mbak Sri terdapat penglarisnya. Cuma memang Wulan tidak bisa membuktikan dan tidak serta merta percaya pada isu tersebut. Tetapi hal ini membuat Wulan juga berfikir dual kali untuk makan di warung mbak Sri.

Rasa penasaran akhirnya membuat Wulan ingin membuktikan isu tersebut. Dia waktu kecil juga pernah memiliki mata batin yang bisa melihat mahkluk halus, tetapi sudah ditutup oleh ayahnya karena dia tidak bisa mengontrolnya dan sering ketakutan. Wulan  juga masih ingat pesan ayahnya cara membukanya kembali, yaitu dengan wiridan selama 21 hari di waktu setelah subuh. Hal ini pun dia lakukan, tidak dengan niatan melihat penglaris tetapi hanya membuktikan ucapan ayahnya.

21 haripun berlalu. Wulan masih beraktifitas seperti biasa juga. Pagi ini dia sudah sampai warung dengan diantar suaminya. Begitu turun motor, dicium tangan suaminya yang akan melanjutkan perjalanan ke kantor suaminya. Masuklah dia ke warung dan disambut senyum mbak Sri, sembari menuju ke dapur tempat menyiapkan gudeg. Baru masuk terbelalaklah matanya karena diatas tempat cuci piring tampak sesosok mahkluk tinggi besar. Saking tingginya sampai harus membungkuk dan menunduk agar tidak menyundul langit-langit warung.

Wulan terhenyak. Badannya membeku, nafasnya seakan berhenti. Tapi dia masih bisa mengontrol dirinya agar tidak berteriak. Ayahnya pernah berkata, mahkluk seperti itu adalah jin. Badannya besar, hitam dan rambutnya hitam menutupi hampir seluruh wajah dan punggungnya. Lidahnya terjulur panjang sampai kebawah. Jin itu tidak perduli, atau mungkin tidak melihat Wulan. Jin itu masih menjilati piring kotor yang belum dicuci. Wulan mencoba menguasai dirinya. Dia mencoba mengatur nafasnya, mundur beberapa langkah dan berlalu keluar.

Diluar warung dia menuju ke sisi sebelah yang belum ramai pengunjung, menutup wajahnya sembari membaca doa apapun yang dia bisa. Dikuatkan hatinya untuk tenang, sembari berpura-pura tidak ada yang terjadi. Dia ambil tikar dan menggelarnya untuk pengunjung yang baru datang. Seharian ini Wulan tidak menuju ke dapur, hanya berkutat mengantarkan gudeg yang diracik mbak Sri ke para pelanggan. Sesekali matanya melirik, melihat jin itu masih saja menjilati piring kotor pelanggan. Sampai saat mendekati waktu tutup, jin itu perlahan melayang menembus tembok dan berakhir di toilet yang sudah lama rusak. Sepulangnya Wulan, dia tidak berani menceritakan ini pada suaminya. Mulutnya terkunci rapat. Suaminya pun menanyakan perubahan sikap Wulan, tapi Wulan menjawab hanya kecapekan saja. Maka suami pun meminta dia istirahat lebih awal saja.

Esoknya Wulan bekerja seperti biasa, berangkat diantar suaminya ke warung mbak Sri. Kali ini dia tidak melihat jin itu di dapur. Matanya berkeliling mencarinya di seluruh sudut warung. Kali ini dia terhenyak, kali ini dia melihat jin yang berbeda. Wujudnya seperti pocong, dengan wajah yang rusak. Kain kafannya hitam kecokelatan penuh dengan tanah. Yang paling mengerikan adalah dari mulut pocong itu keluar air liur yang menetes ke piring makan pengunjung, membuat Wulan ingin muntah. Tanpa sadar dia berlari ke pengunjung di luar yang piringnya sedang diberi air liur, diambilnya piring itu dan mengibaskan tangan yang satunya ke arah pocong itu.

Semua orang terhenyak, terdiam melihat apa yang dilakukan Wulan. Pocong itu juga sudah pergi menghilang. Suasana menjadi gaduh, pelanggan bertanya pada Wulan apa yang sedang dia lakukan sekarang. Tak sadar, terucapat kata dari bibirnya bahwa dia sedang mengusir pocong. Pelanggan yang di dalam warung pun keluar ingin melihat apa yang sedang terjadi. Termasuk mbak Sri, yang dari wajahnya tampak sangat marah. Suasana semakin gaduh, pelanggan enggan meneruskan makannya dan segera pulang setelah membayar makanannya. Warung mendadak sepi hari ini dan tutup sejam lebih awal walaupun masih banyak gudeg yang tersisa.

Sore ini semua pegawai sudah pulang, tinggal Wulan yang menunggu jemputan suaminya. Biasanya jam pulang mereka berdua bersamaan, tapi karena warung tutup lebih awal menjadikan Wulan harus menunggu sejam juga. Di dalam masih ada mbak Sri membereskan sisa gudeg. Dilihatnya oleh Wulan dari sela-sela lubang warung dari depan. Tampak mbak Sri memasukan panci gudeg yang masih banyak itu dan ditaruh ke dalam toilet yang rusak. Benar, dimasukan panci itu ke dalam toilet yang mana kemarin Wulan lihat menjadi tempat menghilangnya jin besar berlidah panjang. Sesaat kemudian, mbak Sri sudah selesai beberes. Dia keluar warung dan menguncinya dari luar.

"Wulan, melu aku wae mulihe. Bojomu kan isih suwe methuke (Wulan, kamu ikut saya saja. Suamimu kan masih lama jemputnya)", kata mbak Sri.
"Boten usah mbak, kula tak nengga kemawon, matur nuwun (Tidak usah mbak, saya menunggu saja. Terima kasih)", jawab Wulan.
"Ayo, bojomu yo mesti ngerti nek kowe mulih karo aku (Ayo, suamimu juga pasti tahu kalau kau pulang denganku)", pungkasnya dengan memandang penuh arti pada Wulan.

Wulan akhirnya mengiyakan dan menaiki mobil mbak Sri, sebuah pickup merek Daihatsu yang dianggap mampu membawa barang banyak aneka kebutuhan warungnya. Pintu ditutup dan mobil berjalan berlahan.
"Apa sing mau mbok lakoni, Wul? (apa yang tadi kamu lakukan Wul)", Tanya mbak Sri membuka percakapan.
Wulan bingung menjelaskannya. Mulutnya terdiam walaupun banyak yang ingin dia ucapkan.
"Mau kowe weruh pocong Wul? (tadi kamu melihat pocong Wul?)", telisik mbak Sri lagi.
Wulan tak menjawab. Kepalanya seakan otomatis mengangguk. Termasuk saat mbak Sri bertanya apakah dia juga melihat jin penjilat, dia hanya bisa mengangguk. Rumah dan warung mbak Sri yang dekat menjadikan perjalan sangat singkat. Mungkin hanya 5 menit, tapi bagi Wulan seakan sangat lama sekali di dalam mobil ini.

Rumah Gantung (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang