Hutang Tumbal (Ending)

262 6 0
                                    

Mataku mulai terbuka. Asap ruang ritual menyesakan pernafasanku. Kucoba untuk berdiri, tapi tanganku masih seperti memegang sesuatu. Tangan kananku memegang pisau penuh darah, dan tangan kiriku mencengkeram rambut. Rambut dengan kepala Sri yang telah terpisah dari badannya.

Hoekkk hoekkk.
Makanan sarapanku tadi langsung keluar melalui mulutku.Perutku langsung mual melihat kepala buntung itu, ku lemparkan secara reflek. Mataku berkunang-kunang dan isi perutku juga ingin keluar lagi. Kucoba berdiri tapi kaki kiriku tak bisa kugerakan. Dengan ngesot aku tarik tubuhku untuk keluar dari rumah besar ini. Gagang pintu rumah sudah ku raih, ku coba meminta tolong tapi tidak ada yang mendengar. Ku seret lagi tubuhku keluar dari gerbang rumah, menuju rumah pak Budi yang terdekat. Namun, daya tubuhku seakan habis bahkan untuk membuka mata pun tak bisa. 

Pak Budi berlari keluar dari rumahnya saat dia melihat aku tergeletak di pinggir jalan gang. 
"Ana apa iki mbak?!", tanya pak Budi yang tampak kaget, ketakutan dan kebingungan.

Aku tak bisa menjawab, lidahku kelu dan sudah tidak berdaya. Pak Budi masuk ke rumah memanggil istrinya, memapah tubuhku ke dalam rumah untuk dibaringkan di ruang tamu. Segelas air putih dari bu Jiyem aku teguk habis, tapi tak menambah daya apapun padaku. Dia juga membawakan handuk basah untuk menyeka darah di wajahku. Pak Budi lalu berlari keluar lagi.

Di luar pak Budi tampak panik menelpon pak RT. "Saiki pak RT, aku ora reti ana apa sing jelas Nouva ning omahku, Sri mati ning omahe!" dengan nada agak berteriak panik.
"Ya iki tak mara, tak telpon pak Babin sisan", saut pak RT melalui telepon.

Singkatnya, polisi datang ke rumah mbak Sri. Polisi melakukan olah TKP dan membawa mayat mbak Sri. Aku juga dibawa dengan mobil ambulance berbeda menuju RS Bhayangkara Yogyakarta. 

Suasana ruang IGD tidak begitu ramai. Pasien hanya ada aku saja, dan beberapa polisi yang menjagaku. Sebuah borgol mengikat tanganku dan ranjang besi ini. Selang infus juga terpasang di lengan kiriku. Ku lirik jam menunjukan pukul 6 sore, kesadaranku sudah pulih seutuhnya walaupun badan ini masih belum bisa aku gerakan dengan baik. Ditambah lagi kaki kiriku masih sakit, semoga tidak patah tulang.

Seorang polisi wanita masuk ke ruang IGD. Menutup tirai sehingga tinggal kita berdua yang ada di bilik kecil ini. Terkembang senyum dari wajahnya, yang mungkin sudah berumur sekitar 40 tahun lebih.
"Perkenalkan, saya Widya. Kapolsek Banguntapan. Dengan mbak siapa saya berbicara?", sapanya lembut sembari memegang tangan kananku.

"Saya Nouva bu."

"Baik, mbak Nouva ya. Sementara istirahat dulu. Maaf harus kami menahan anda dahulu karena korban yang berada di rumah meninggal terbunuh. Informasi dari saksi sedang dihimpun dan  olah masih berlangsung. Untuk proses sekarang dilimpahkan ke Polda DIY", jawabnya pelan tapi penuh arti.

"Tapi bukan saya yang membunuh bu", aku mulai menangis.

"Siapa yang membunuh korban, apakah kamu tahu?

"Wulan", bibirku terucap walaupun tidak yakin dengan ucapanku.

"Wulan? Dia rekan anda? Anda juga melihat Wulan yang membunuh?", bu Widya mencoba mencari kejelasan.

"Bukan, dia masuk ke tubuhku dan membunuh mbak Sri".

Bu Widya mengerutkan dahinya, mencoba berfikir dan menalar ucapanku. Keluar senyum dari bibirnya, "Mungkin sebaiknya anda perlu istirahat dulu. Kami akan mencoba menyelidiki apapun hal yang ada, mengambil bukti dan informasi dari saksi. Sampaikan fakta yang ada kepada penyidik dari Polda DIY nantinya dengan jujur apa adanya. Terima kasih sudah mau bekerja sama, semoga lekas sembuh ya".

Bu Kapolsek keluar dari ruangan IGD. Di depan pintu dia menuju ke 2 orang bawahannya.
"Bagaimana Ndan?", tanya salah satunya.

"Saya kira bukan 340. Lebih ke 338 saja.Di TKP ada obeng untuk mencongkel jendela, sedangkan pisau sudah ada di dapur rumah korban. Saya juga belum yakin  dia yang menggorok korban. Badan tersangka kecil, pisau juga kecil. Untuk memisahkan kepala dengan badan, perlu kekuatan besar dan pisau yang cukup besar juga. Dia menyebut nama Wulan, tapi sepenangkapanku dia sebut nama itu yang merasuki  tubuhnya. Biarkan penyidik Polda yang bekerja, kita sudah bekerja sesuai porsinya.  Antar saya kembali ke kantor".
"Siap", jawab mereka berdua sembari mengiringi ke mobil yang sudah terparkir di depan IGD.

Rumah Gantung (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang