GALI KUBURAN

870 64 4
                                    

"Memangnya tidak ada cara lain, Bang?"

Jujur saja Dhamar takut jika harus menemani, bahkan turut membantu sang kakak menggali kuburan Rukmini. Melakukan hal seperti itu jika sampai ketahuan, masalah justru makin bertambah. Dhamar tidak berani dan ragu apa yang Herman lakukan akan berhasil.

"Pelankan suaramu."

Herman berjalan menuju pintu, lalu membukanya. Beruntung tidak ada siapa-siapa di luar. Pintu ditutup pelan.

"Tidak ada cara lain? Ini terlalu beresiko," ujar Dhamar dengan suara pelan.

"Cara apa? Kalau memang Ibu mau kain kafannya diganti, kita lakukan sekarang." Herman masih yakin apa yang ada dalam kepalanya akan berhasil.

Dhamar tidak tahu harus berbuat apa. Menggali kuburan meskipun milik ibu sendiri bukanlah sesuatu yang wajar. Terlalu berisiko jika sampai ketahuan. Dhamar tidak mau hidupnya justru makin bermasalah.

"Tapi, Bang. Pasti ada lah cara lain. Atau kalau tidak, kita diskusikan saja masalah ini bersama-sama. Aku yakin, pasti bisa saling bantu." Dhamar memberi saran, berharap sang kakak berubah pikiran.

"Abang malas ribut sama mbakmu itu. Ini salah abang, seharusnya abang yang harus tanggung jawab. Tapi, abang tidak bisa melakukannya sendiri, abang minta tolong ke kamu."

Saran Dhamar tidak digubris, Herman masih kekeh dengan caranya sendiri. Dia mengambil HP untuk melihat waktu. Setelah itu, langkahnya menuju lemari, mencari sesuatu yang bisa digunakan sebagai pencahayaan di pemakaman nanti. Dua senter, sebuah jaket hitam, dan besek diambil, pintu lemari pun ditutup kembali.

"Ini beneran?" tanya Dhamar.

Dhamar sebenarnya tidak mau membantu Herman, lebih baik memilih kembali ke indekos daripada berurusan dengan makam Rukmini. Bukan takut bertemu setan, tetapi lebih ke arah takut ketahuan.

"Kalau kamu tidak mau bantu, sudah, tidak apa-apa. Abang cuma minta tolong, rahasiakan ini dari semua orang."

Berbagai macam cara menasihati Herman, nyatanya tidak membuatnya gentar. Dhamar makin dibuat bingung. Apakah membantu atau tidak, keduanya teramat susah dipilih.

Dua buah senter dimasukkan dalam besek, lalu Herman menyembunyikannya di dalam jaket. Dia pun keluar kamar, meninggalkan sang adik seorang diri. Di sisi lain, Dhamar benar-benar bingung. Langkahnya terasa berat karena keraguannya sendiri.

Sampai pada akhirnya, Dhamar menyusul Herman. Mungkin saja siapa tahu di jalan sang kakak akan berubah pikiran jika terus-menerus dinasihati.

***

Pukul sembilan seperempat Dhamar dan Herman sampai di pemakaman. Nyatanya saat Herman sudah berkehendak, tidak ada satu pun yang menghentikannya, bahkan oleh adik sendiri.

Suasana di dalam pemakaman tentu saja gelap gulita. Dua buah lampu yang terpasang di sisi kanan dan kiri pintu masuk pemakaman mati. Selain dingin, hawa mencekam terasa sangat kental. Sepanjang mata memandang, hanya kegelapan yang tampak.

Pemakaman di desa tempat tinggal Herman bisa dikatakan jarang didatangi. Jika tidak ada keperluan, seperti memakamkan seseorang, berziarah, atau acara bebersih makam, sudah bisa dipastikan tidak ada seseorang yang datang. Meskipun begitu, tetap ada rasa takut pada diri Herman jika seseorang memergokinya tengah menggali kuburan.

Kalau boleh jujur, Herman takut meskipun Dhamar di sampingnya. Dia teringat kejadian beberapa jam lalu yang ditampakkan sosok sang ibu. Tidak berbeda jauh dengan Herman, Dhamar merasakan hal serupa. Sekadar melewati pekuburan bukanlah hal asing bagi mereka, tetapi menggali kuburan adalah pengalaman pertama.

35 Hari Teror Ibu (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang