Dua hari berlalu setelah penggalian makam Rukmini, memang terbukti tidak ada teror lagi. Rahayu beserta sang suami mulai beraktivitas seperti biasa, Dhamar kembali kuliah, Anwar bekerja, dan Herman memilih menetap di rumah.
Pada akhirnya semua orang tahu tentang rahasia Herman. Dhamar sampai tidak percaya padahal dia melihat kehidupan sang kakak seolah-olah baik-baik saja. Tiap kali Herman dan Rini meng-upload status di media sosial, terlihat seperti pasangan-pasangan romantis pada umumnya.
“Abang baik-baik saja di sini. Mungkin abangmu ini akan menetap di sini, jaga rumah ibu,” kata Herman melalui telepon.
Sudah terhitung dua kali dalam dua hari Dhamar menelepon Herman. Meskipun semua sudah seperti sedia kala, masih ada sesuatu yang membuatnya belum bisa tenang, salah satunya mengenai pembongkaran makam. Bagaimanapun, bentuk makam Rukmini terlihat berbeda dari sebelumnya, Dhamar khawatir suatu saat bisa menjadi berita heboh jika sampai ketahuan.
“Enggak, enggak ada apa-apa. Percaya saja apa kata abang, tidak ada yang akan curiga.” Herman meyakinkan sang adik yang masih saja memikirkan masalah pembongkaran makam.
Panggilan sempat terhenti karena tiba-tiba seseorang mengetuk pintu indekos Dhamar. Pukul sembilan malam, siapa yang bertamu? Tidak ada suara apa-apa, kecuali ketukan. Dhamar beranjak setelah meletakkan HP ke kasur dalam posisi masih terhubung ke Herman.
“Balikin buku lo.” Fikri menyodorkan sebuah buku setelah pintu indekos terbuka.
“Kirain siapa, kagak ada suaranya,” sahut Dhamar yang sempat merasa takut.
Mereka sempat mengobrol sejenak sampai Dhamar tidak sengaja menatap sesuatu di seberang jalan. Dia melihat seseorang yang tidak asing, sedang berdiri di bawah terpaan lampu jalan.
“Heh, lihatin apa?” Suara Fikri mengagetkan Dhamar.
Selang beberapa detik, sesuatu di seberang jalan hilang. Perasaan Dhamar mulai tidak tenang. Sangat tidak mungkin seseorang menghilang dari pandangan begitu cepat. Ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.
“Apa?” Fikri sempat dibuat penasaran. Laki-laki berambut bergelombang itu memerhatikan seberang jalan, tidak ada apa pun kecuali kendaraan lewat.
“Enggak ada apa-apa,” jawab Dhamar pada akhirnya.
“Lihat apa lo? Setan?”
Fikri pergi, kembali ke indekos yang kebetulan cukup dekat dengan Dhamar, hanya berbatas empat petak.
Dhamar menutup pintu, mengunci, lalu berjalan menuju kasur. Diambilnya HP yang sudah dalam keadaan mati. Panggilan berakhir, sesuai dugaan. Dhamar memutuskan memanggil sang kakak. Ditunggu-tunggu, masih belum terhubung.
Dhamar mengembuskan napas panjang, menenangkan diri. Namun, bayang-bayang di bawah terpaan lampu jalan masih melekat. Sosok Rukmini kembali muncul.
***
Pukul setengah tujuh pagi Dhamar terbangun. Dia tidak ingat kapan dirinya tertidur setelah sampai pukul satu dini hari rasa kantuk belum kunjung menyerang. Jika tidak ingat ada kuliah pagi, Dhamar sudah pasti memilih melanjutkan tidur.
Dhamar beralih ke samping kanan, berniat mengambil handphone dan di saat itulah dia dikejutkan dengan sesuatu. Ditemukan beberapa helai rambut di tepian ranjang. Rambut Dhamar sendiri berwarna hitam dan pendek, berbanding terbalik dengan apa yang ditemukan: panjang, kusam, dan berwarna putih.
Aneh, tentu saja. Tidak ada seorang pun yang memasuki indekos Dhamar. Ibu kos—Liana—juga tidak mungkin. Rambut wanita itu pendek dan belum beruban. Apa mungkin ada seseorang masuk kamar? Dhamar kurang yakin karena kunci indekos selalu dibawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...