KEMALANGAN

777 66 1
                                    

Hampir seharian Dhamar merasa diteror oleh sosok yang pernah dilihatnya waktu itu, sosok berpakaian putih panjang dengan rambut semiputih tergerai sampai pinggang. Dia tidak bisa fokus belajar tatkala sosok itu muncul, menampakkan diri meski hanya sekelebat.

Pernah sampai dibuat menjadi tontonan saat sosok itu tiba-tiba muncul di bangku depan, membuat Dhamar terkejut dan refleks menjerit. Semua mata tertuju padanya, pertanyaan demi pertanyaan hampir serupa diajukan oleh mereka.

“Ya, kata orang, kampus ini katanya angker. Dulu pernah ada yang bunuh diri, lompat dari lantai paling atas,” ucap Yanuar, salah satu teman Dhamar di kampus.

“Denger-denger, kalau dia sampai menampakkan diri, dia mau balas dendam,” katanya lagi.

“Balas dendam? Maksudnya?”

“Namanya Rahma, angkatan lama. Dia diperkosa, lalu bunuh diri, loncat dari sana.” Yanuar menunjuk bangunan di depannya, sebuah bangunan paling tinggi di kampus. “Dia akan membalas dendam ke orang yang sedarah dengan orang yang telah memerkosanya.”

Tentu saja Dhamar merasa takut, penasaran, dan bingung. Kalau kabar itu memang benar, kenapa dia ditampakkan sosok Rahma? Aneh saja menurutnya. Dhamar sendiri bahkan tidak tahu menahu tentang cerita itu. Namun, Dhamar sendiri kurang yakin sosok yang dilihat benar-benar Rahma atau sosok lain.

“Gue kagak tau Rahma siapa. Kalau memang apa yang gue lihat itu Rahma, kenapa dia baru menampakkan diri?”

Yanuar mengedikkan bahu, kurang paham alasannya. Dia hanya bercerita berdasarkan apa yang Dhamar katakan. Perkara benar atau tidaknya, dia sendiri taktahu.

Dhamar pulang kampus lebih awal padahal biasanya akan nongkrong terlebih dahulu sambil menunggu matahari tenggelam. Namun, karena kerap ditampakkan, dia memilih berada di indekos seorang diri sebelum Fikri datang berkunjung.

“Rahma siapa juga gue kagak tau. Orang yang memerkosa dia gue juga kagak tau,” kata Dhamar, menolak keras jika dirinya menjadi target pembalasan dendam Rahma.

“Udahlah, kagak usah bahas gituan, kagak penting.” Sebagai teman yang pengertian, Fikri berusaha menenangkan Dhamar, membuat temannya tidak makin terbebani dengan kabar yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

“Yanuar kan hobi ngayal, suka bikin cerpen, penulis juga kan? Siapa tahu dia cuma ngarang.” Fikri meyakinkan Dhamar bahwa tidak ada yang perlu ditakuti.

Dhamar belum beranjak dari sisi ranjang, masih duduk dengan lengan ditopang lutut. Dia pikir semua yang dialami dahulu sudah berakhir, berselang dua hari justru teror kembali datang. Apa yang Herman katakan ternyata salah. Sosok ibunya mulai meneror lagi.

Dari pagi sampai sore, dirinya tidak nyaman, selalu dalam bayang-bayang ketakutan. Entah kesalahan apa yang telah diperbuat, Dhamar ingin hidupnya seperti semula, bisa hidup tenang tanpa gangguan.

“Sejak meninggalnya Ibu, keluarga gue diteror,” kata Dhamar, menceritakan satu kisahnya.

“Teror?”

Sebenarnya, Dhamar sendiri tidak mau membahas masalah ini ke orang, tetapi jika bercerita ke Fikri, mungkin sang sahabat bisa membantu mencari jalan keluar. Di sedikit menjelaskan mengenai teror yang dialami keluarganya sejak kematian Rukmini.

“Terserah lo mau percaya atau kagak, yang jelas, gue stres kalau terus-terusan kayak gini.” Dhamar pun akhirnya beranjak.

Udara sore yang sejuk biasanya mampu menenangkan dirinya. Meskipun udara di kota jauh berbeda dari desa, paling tidak, rasanya hampir sama, bisa menyejukkan. Dhamar berdiri di ambang pintu, menatap halaman cukup luas indekos.

35 Hari Teror Ibu (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang