Banga sangat marah melihat kondisi Kunir yang terus menerus pendarahan serta kesurupan. Tabib Ciem Koh sampai kualahan menghadapinya. Sehingga Banga memanggil Ki Sanggu untuk mengobati Kunir.
"Jiwanya terganggu, karena keguguran. Ini mengerikan," kata Ki Sanggu, saat membakar kemenyan di depan pintu kamar Kunir.
Kunir tak lagi diperbolehkan memasuki kamar Pangeran Banga, dia juga tidak diperbolehkan bercinta lagi dengan pangeran pujaannya. Begitu menyedihkannya nasib para selir yang gagal mempertahankan kandungannya, bahkan mereka harus bersiap untuk dibuang seperti sampah. Itulah yang sesungguhnya membuat Kunir depresi.
Apalagi kata Sulis si Kepala Dayang, dipastikan bakal ada gadis baru yang bakal disodorkan ke pangeran lagi. Sulis bahkan sudah mempersiapkan diri jika kelak akan ditugasi kembali untuk berkeliling daerah mencari para gadis rupawan, yang sesuai dengan selera sang pangeran.
"Ini tidak adil bagiku," keluh Kunir, sembari menesteskan air mata.
Sulis menghela nafas,"Semua ini salahmu, seharusnya kau pandai menjaga kandunganmu."
"Aku sudah berusaha! Aku tak tahu apa penyebabnya!"
"Seharusnya kau tidak sembarangan makan dan minum saat sedang bunting anak raja. Apalagi, Tuan Putri Miranti juga sedang hamil besar."
"Ma-maksudmu?"
"Aku tidak menyalahkan sang putri, tetapi banyak yang paham jika tak boleh ada dua wanita yang hamil dari pria yang sama pada jarak yang hampir bersamaan di istana ini. Pamali. Bisa terjadi kekacauan..."
"Oh!" Kunir terisak lagi, dan makin terisak saat seorang emban datang untuk memanggil Sulis, demi tugas baru dari Pangreyep. Kunir tahu, jika Sulis langsung bersiap mencari "gadis baru".
Kesedihan Kunir sedikit reda, ketika Pangeran Banga datang untuk menjenguknya. Pria itu mencium dan memeluknya, serta mengusap rambutnya. "Kau akan tinggal di kamar khusus, di mana setiap malam aku bisa diam-diam mendatangi."
"Tetapi aku tak boleh hamil, bukankah aturannya demikian jika pernah keguguran? Hukumannya dipancung..." kata Kunir, dengan suara serak.
Banga menghela nafas, lalu tersenyum."Tabib Ciem Koh akan mengatasi segalanya. Kau tak bakal hamil. Bukankah yang penting aku selalu bersamamu?"
Kunir tak menjawab, hatinya remuk. Kini dia tak lebih sebagai objek seksual semata. Tak ada kesempatan untuk menaikkan derajat yang sejajar dengan para putri dari trah asli, bukan sekedar anak haram dari seorang bangsawan. Nenek moyangnya selir, dan nasibnya malah lebih buruk lagi.
Dari jendela ruangan khususnya, dia melihat Pangeran Banga pergi bersama paranormal pribadinya. Entah ke mana. Dia tak perlu tahu. Karena hal itu kini bukan menjadi haknya. Bahkan dia harus merelakan, ketika gelang emas selir yang melingkar di lengan kirinya harus dilepas para emban suruhan Ratu Pangreyep. Air matanya perlahan menetes.
"Jangan menangis, ini takdirmu." Kata seorang emban, yang memasukan gelang emas itu ke dalam kain beludru warna ungu. "Seseorang nanti juga akan mengenakan gelang ini. Tetapi mungkin, dia bisa belajar dari kasusmu. Untuk lebih berhati-hati dalam menjaga jalanmu menuju tahta raja."
Kunir menelan ludahnya, dia merasa ingin menyudahi kesedihannya. "Apakah, jalanku sehina ini? Bukankah Ratu Pangreyep yang mengirimku ke ranjang anaknya?"
Emban yang memegang gelang emas dalam kain beludru menatapnya tajam. "Kau pikir, siapa dirimu sebelum kau masuk ke istana ini? Kau bahkan jauh lebih hina. Anak haram dari simpanan bangsawan yang bukan trah asli raja. Hanya keturunan selir biasa. Lalu kau merayap masuk ke sini sebagai dayang. Bodohnya dirimu, karena merasa telah sangat hebat setelah menguasai ranjang putera mahkota. Padahal, ratusan dayang di istana ini mungkin juga bisa lebih beruntung darimu!"
KAMU SEDANG MEMBACA
GANCET
Historical FictionMariana, terjebak hubungan terlarang dengan Satiman, suami adiknya Mira. Sehingga tertarik mesum di wilayah mistis Hutan Gancet. Wilayah yang konon berabad silam, pernah jadi tempat kasus gancet pasangan Pangeran Banga dengan gadis rakyat jelata ber...