23: Rungguh Cibarus

923 64 7
                                    

Situs purbakala itu terlihat angker. Ini seperti bukit yang dikelilingi bebatuan besar dari alam. Suara-suara mengerikan, sering terdengar aneh. Tetapi Ciung terpaksa pergi ke tempat itu, karena ayamnya Nagawiru, tiba-tiba kabur dari kandang. Semua tempat telah dia jelajahi, sampai akhirnya nyasar ke situs Rungguh Cibarus.

Cahaya biru terang, yang membuat Ciung melangkah pasti ke tempat itu. Meski banyak orang yang mencegahnya, karena katanya, sedang ada Puteri dari istana Galuh sedang bertapa di sana, dengan kawalan tiga prajurit dan tiga orang dayang. Tapi justru itulah yang membuatnya makin penasaran. Siapakah puteri dari istana Galuh yang sedang bertapa itu? Apakah merupakan salah satu trah sepupunya?

Ciung, terus mengendap-ngendap maju. Di dalam gelap, dia ingin mengintip sosok puteri itu. Tiga prajurit, tampak berjaga-jaga di dalam gulita, sebelum tiba-tiba tertidur nyenyak. Menyusul, tiga dayang yang tidur bergelimpangan pula, di antara kelapa-kelapa hijau yang sudah tak ada lagi airnya.

Ada apa? Pikir Ciung, merasa aneh. Lalu tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang sangat cantik, tampak sedang tertawa. "Tidur kan kalian, setelah minum kelapa hijau? Baik, kini aku bisa kabur untuk menjemput anak-anakku. Sebagai janda, aku harus semangat memperjuangkan hidup mereka!"

Anak-anak? Ciung garuk-garuk kepala. Jadi puteri muda yang sangat cantik itu sudah punya anak dan janda pula? Lalu, buat apa dia bertapa di Rungguh Cibarus? Bukankah pertapaan di tempat itu untuk mencari keturunan calon raja Galuh? Kalau dia janda, urusannya apa?

Tetapi Puteri itu sudah berkelebat lari, membuat Ciung berusaha mengejarnya diam-diam. Di dalam keremangan, wanita itu tampak begitu semangat bergerak. Seperti orang kesurupan yang baru dikejar setan. Entah ke mana tujuannya, tapi dia mengangkat kainnya begitu tinggi. Memamerkan paha mulusnya, yang membuat Ciung menelan ludah.

Keinginan mengejar yang awalnya penasaran, jadi berubah gairah yang memacu getaran kencang di selangkangan. Maka ketika dia melihat wanita itu jatuh, Ciung cepat menangkap tubuhnya.

"Aaah..." wanita itu menjerit, tapi Ciung cepat menutup mulutnya.

"Katakan kau siapa, apa tujuanmu, atau kubunuh kau!" Ancam Ciung, garang.

Mira, lalu mengangguk gugup, setelah Ciung melepas bekapan tangan dimulutnya. "I-iya! Na-namaku Mira! Aku ingin cari kendaraan untuk pulang ke Ciomas, demi menjemput anak-anakku."

"Ciomas?" Ciung merasa baru mendengar nama itu. "Daerah mana itu? Baru dengar."

"Ada kok di peta. Coba cek google!"

"Hah, apaan itu beta? Gugel? Ngagel? Cagel?"

"Bukan itu."

"Kau ini siapa? Puteri Galuh?"

"Bukan. Aku Mira, suamiku baru mati, anakku dua. Orang-orang Galuh mengira aku Puteri Miranti, padahal mereka salah orang. Aku dinikahkan dengan Pangeran Banga, dan disuruh bertapa di Rungguh Cibarus agar cepat hamil."

"Ini serius?"

"Iya, aku terakhir berada di Ciomas. Sebelum tiba-tiba ke Galuh ini."

"Ciomas ya?"

"Ya, antarkan aku ke situ. Kau bisa?"

"Kau betulan bukan puteri dan sudah janda?"

"Iya."

Ciung tersenyum. Pikiran nakalnya mulai menggoda. Di malam yang dingin, usai lelah mencari Nagawiru. Setelah drama patah hati, ditinggal Sarnih, dia telah seminggu lebih tak lagi menikmati tubuh wanita. Entah mengapa, dia jadi sangat terangsang malam itu.

"Aku bisa mengantarmu. Asal tidak malam ini. Sebab khawatir prajurit yang mengawalmu bangun dan mengejar. Kau harus kusembunyikan dulu di suatu tempat!"

GANCETTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang