kelima

77 7 0
                                    

“JAWAB Ibu.”

Di sebuah ruang yang kini terkunci itu, Beomgyu dan Yeonjun duduk berdua menghadap seorang guru BK yang kini tengah menatap mereka dengan menuntut.

Sudah sepuluh menit mereka berada di sana, namun tak satu pun dari mereka berani angkat bicara. Suara yang terdengar bahkan hingga terus memantul dalam ruangan tersebut hanyalah suara sang guru, seorang wanita yang usianya berkisar akhir empat puluhan.

Berkali-kali guru itu bertanya dan menuntut mereka berdua untuk menjelaskan, namun mereka hanya diam.

“Ibu sudah dengar berita soal kalian berdua. Ada yang pernah melihat kalian beberapa kali masuk ke dalam gudang penyimpanan, dan itu lamaaa sekali. Ngapain coba itu? Jawab Ibu. Kalian pacaran? Ayo, Ibu nggak punya banyak waktu untuk urusin ini. Jawab, cepat.”

Sang guru mulai mengetuk-ngetuk meja dengan tak sabaran. Matanya nyalang kepada dua siswa yang masih membisu sambil menunduk cemas itu.

“Kalian pacaran?” 

“Iya.”

“Enggak.”

Guru itu langsung mengangkat alis. “Beomgyu? Yeonjun? Yang mana yang benar? Beomgyu jawabnya iya, Yeonjun jawab enggak. Ayo, yang mana yang benar?”

Seketika, sekujur tubuh Beomgyu pun terasa seperti baru saja ditikam puluhan besi. Berdenyut nyeri. Ia bahkan tak berani menoleh pada siapa pun, bahkan pada Yeonjun—padahal ia baru saja ingin menoleh pada lelaki itu untuk meminta dukungan.

Dengan tergagap, Beomgyu menjawab, “ya, Bu. Kami memang pacaran. Tapi itu saya yang duluan ngajakin Yeonjun pacaran. Saya yang salah.”

Yeonjun yang sedari tadi terdiam kaku buru-buru menjawab, “Bu Jessi, itu, s-saya juga yang mau, s-saya—” 

Tiba-tiba, Bu Jessi menggebrak meja di hadapannya. “Yang bener aja, kalian laki sama laki, loh?! Kalian berdua ini sadar nggak, kalo apa yang kalian perbuat itu jijik? Beomgyu, Yeonjun, saya toleran terhadap banyak hal, tapi yang ini saya tidak bisa biarkan. Saya yakin kalian sudah dididik sejak kecil kalau hubungan sesama jenis itu salah. Kalian diajarin nggak, waktu kecil? Jawab!”

Beomgyu dan Yeonjun serempak mengangguk dalam diam. Dalam diam pula, Yeonjun kembali meremas kain celananya dengan begitu kuat. Di dalam kepalanya, kembali terlintas semua sesi renungan malam di panti asuhan, termasuk sesi renungan yang membicarakan topik ini. Topik yang begitu ia hindari.

“Nggak malu sama babikah kalian? Sama sapi? Sama kerbau, anjing, tikus, kucing? Mereka itu binatang, loh. Tapi justru binatang yang lebih pintar dari kalian. Mereka tau yang mana kodratnya dan yang mana bukan. Kalian ini—aduh. Tanda kiamat, nih. Udah muncul kaum kayak kalian, artinya udah parah dunia ini. Nggak habis pikir saya. Bisa-bisanya laki ketemu laki terus jatuh cinta. Kalian tau, nggak? Sikap kalian yang menjijikkan ini bisa bawa pengaruh buruk buat teman-teman kalian.”

“Bu, tapi kami nggak ngapa-ngapain. Kami nggak ajak siapa-siapa buat jadi kayak kami. Kami diam, Bu. Kami nggak gembar-gembor ke sana ke mari soal ini.” Beomgyu buka suara.

“Lantas, dengan begitu artinya perbuatan kalian ini benar? Ya, bagus dong, kalo kalian nggak gembar-gembor. Lagian hal sehina dan sejijik itu mau digembar-gembor buat apa juga?”

Yeonjun benar ketika ia bilang bahwa mereka akan kalah suara. Mereka berdua, saat itu, dihakimi di depan tiga guru lainnya, termasuk wali kelas mereka. Tak ada barang satu saja manusia yang membela mereka. Tidak ada. Semakin mereka dicecar, maka semakin bengis pula semua wajah yang menatap mereka. Tatapan tersebut seolah menguliti mereka dari kepala hingga kaki. Tanpa ampun. Tanpa belas kasih, meskipun mereka telah nyeri karena isak tangis yang tak terbendung namun juga tak lolos dengan leluasa dari tenggorokan mereka.

[Yeongyu / Beomjun] SURGA KITA SENDIRI - COMPLETED ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang