· s h o e s ¹⁴ ·

39 16 3
                                    

Hai, readersQ!
Cus, langsung baca isi chapter ini. Selamat menikmati~

Tepuk tangan terdengar dari segala penjuru kafe. Seorang laki-laki yang baru selesai menyanyikan sebuah lagu terlihat turun dari Panggung Kisah, menuju meja yang sebelumnya ditempati bersama teman-temannya.

Di salah satu meja dekat jendela, dua gadis seumuran sedang berbincang. Piring di depan masing-masing yang tadinya terisi oleh potongan kue telah habis tidak bersisa, minuman yang mengisi gelas pun tersisa seperempat.

"Ih, jadi pengen tampil di atas panggung juga!" ujar salah satunya yang memakai pakaian serba biru dongker. "Konsep kafenya juga keren banget. Masa aku baru tahu ada kafe bagus gini dekat kampus. Apa aku mainnya kejauhan, ya."

"Aah, nyesel aku baru tahu kafe ini. Makasih juga udah bawa aku ke sini, Tha!"

"Sama-sama."

"Ngomong-ngomong, banyak juga gak yang tampil di panggung itu biasanya?"

"Nggak sebanyak itu, sih. Kalau ada yang pengen aja baru ada yang tampil. Kebanyakan cuma nongkrong, doang."

"Hum, gitu."

"Di sini juga ada Silent Ear," telunjuk Atha mengarah pada papan yang cukup berjarak dari tempat mereka, "yang biasanya pake sticky note gitu buat nulis sesuatu terus ditempelin di sana."

"Ada ketentuan isinya?"

"Umm.. gak ada, deh. Intinya ingat etika aja."

"Waah kereen! Aku mau nyoba!" Arika–nama panggilan teman Atha itu–berseru dengan antusias penuh. "Eh, pake sticky note sendiri apa disediain?"

"Ada juga disediain, bisa minta ke sana. Pake punya sendiri juga gak papa, biasanya aku gitu."

"Aku minta punya kamu aja boleh?"

"Boleh." Atha menjawab sambil mengangguk kecil. Kemudian tangannya tenggelam di dalam backpack kecilnya untuk meraih pouch berisi peralatan tulis. Begitu mendapatinya langsung dia tarik keluar. Dia menyodorkan sticky note berwarna violet yang diminta oleh Arika. Gadis itu juga meminjam pulpen sekalian.

Sembari Arika menuliskan sesuatu di atas sticky note, Atha mengedarkan pandangannya ke sekeliling kafe untuk memberi gadis itu privasi. Kafe Legenda semakin ramai dari hari ke hari. Atha turut senang untuk kakak dari temannya yang sekarang sudah jarang dia temui. Hanya sesekali berpapasan di kampus dan sekali-dua kali saling berkirim pesan singkat.

"Udah. Aku tempelin ini dulu," ujar Arika seraya berdiri dan membawa sticky note-nya. Karena saat ini tidak ada yang sedang menggunakan Silent Ear, gadis itu dengan cepat menempelkan sticky note-nya di salah satu sudut papan itu. Kemudian langsung kembali pada Atha setelahnya.

"Orang-orang bebas baca punya siapa aja yang nempel sticky note di sana, kan?"

"Iya. Itu kayak Panggung Kisah versi tanpa perlu ngeluarin suara, jadi orang-orang bebas baca."

"Agak takut aku kalau semisal gak boleh. Tadi saking penasarannya aku baca beberapa soalnya."

Atha melemparkan senyuman geli pada temannya itu.

"Oh iya, kafe ini ada lantai duanya. Mau liat ke sana? Kalau kata aku, itu surga mini buat kita."

Kalimat terakhir Atha membuat Arika penasaran, sehingga akhirnya menyetujui ajakan gadis itu.

Mereka berdua beranjak dari tempat duduk masing-masing, meraih tas, lalu berlalu ke arah tangga yang dekat dengan etalase display.

Tiba di lantai dua, Arika tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tergugah oleh apa yang sekarang dia lihat. Rak-rak tinggi yang dipenuhi oleh buku. Atha benar, ini adalah surga mini mereka yang kesekian.

"Athaa, thank you soo much for bring me here!"

"Umhum, your welcome."

Atha membawa Arika untuk duduk di area lesehan, tempat yang selalu dia gunakan saat berada di sana. Mengejutkannya, dia mendapati Saras duduk di sana dengan kedua kaki yang menyilang, serta sebuah buku di tangannya.

"Mbak Saras!" sapa gadis itu sekaligus untuk memberitahukan kehadirannya di sana.

"Oh. Hai, Tha! And.. your friend?"

"Yup, Arika. Arika, ini Mbak Saras–salah satu kenalanku. Satu kampus juga sama kita, anak manajemen bisnis."

"Ah. Halo, Mbak. Nice to meet you," ucap Arika sambil mengulurkan tangannya.

Saras membalas uluran tangan Arika dengan ramah. "It's a nice moment for me too."

"Udah di sini lama?" Atha membuka obrolan begitu Arika pergi untuk melihat-lihat buku di setiap rak.

Saras melirik jam tangannya sekilas sebelum menjawab, "Lumayan."

· 📜 ·

"Awas leher lo gak balik-balik kalau noleh mulu," celetuk Naren dengan sengaja, berniat menggoda temannya itu.

"Lambe-mu!" Akvi menatap dengan sengit walaupun apa yang diucapkan Naren benar adanya.

Sejak melihat kedatangan Atha dengan seorang gadis–yang dia tebak merupakan seorang teman, Akvi tidak bisa melepaskan pandangannya dari gadis itu. Secara berkala, dia akan menoleh ke meja yang ditempati oleh gadis itu, menerima risiko nanti lehernya akan terasa pegal karena demikian.

"Lagian kapan, sih, lo mau jeder si Atha? Bosen gue liat tingkah bucin diem-diem lo."

"Halah, segala ngomongin orang! Lo sendiri gimana? Doi lo udah sendiri, kapan lo mulai gerak? Ditinggal ngeliat dari jauh, nanti diembat orang lagi baru tahu rasa."

"Kalimat yang sama buat lo, Bro."

Merasa kalah, Akvi berdecih kesal lalu menyedot minumannya dengan kasar.

"Tapi ya, Nar, gue masih mending ada usaha buat deketin si Atha. Lah, lo? Gerak aja kagak."

"Gue punya cara sendiri, gak usah lo peduliin. Pikirin aja gimana caranya biar Atha peka sama lo."

"Terserah lo, deh. Gue ingetin aja, ya, kita di kampus ini cuma tinggal dua semester dan itu semester sibuk. Kalau lo gak mulai gerak, gak bakal ada kesempatan lagi."

Naren sudah membuka mulut untuk memberikan sahutan, tetapi Akvi lebih dulu kembali bersuara.

"Kalau gue, gue masih bisa liat Atha yang sering ke kafe ini. Lo anak rantau, gak nutup kemungkinan bakal pulang begitu lulus. Gue bener, kan?"

Baiklah. Kali ini Naren tidak bisa memberikan sanggahan apa pun. Akvi benar.

Bersambung!
Langsung swipe aja buat chapter selanjutnya, tapi jangan lupa jejak bintangnya dan notice typo atau kesalahan penulisan~

[✓] To be in His ShoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang