Halo, readersQ!
Ah, kangen sama panggilan itu. Padahal dulu seringnya pake itu. Ini cerita baru dengan genre baru untuk profilku. Selamat menikmati~!Ah, sial!
Matanya melirik sekilas jam yang melingkari pergelangan tangan. Merutuk dalam hati lalu kembali memandang lurus pada jalanan sore yang selalu padat. Dia terlambat ... atau mungkin sebenarnya tidak, karena apa yang ditujunya saat ini tidak termasuk ke dalam daftar penting dalam hidupnya.
Ya, sebut saja begitu untuk saat ini.
Tiba di tujuan, Kafe Legenda, laki-laki jangkung itu berlari kecil untuk segera masuk. Langkah pertamanya di dalam kafe disambut riuh tepuk tangan dari para pengunjung kafe. Pencahayaan di seluruh kafe pun menjadi lebih terang.
"Terima kasih." Suara lembut itu mengalun melalui mic.
Seorang gadis dengan rambut sepunggung sedikit membungkukkan tubuhnya, lalu turun dari atas Panggung Kisah.
"Capek, Bro?"
Tepukan di pundak membuat dia menoleh. Sang pemilik kafe sekaligus temannya, Akvira Jayyen Ditama. Laki-laki berkacamata itu memandangi dirinya dengan tatapan yang .... Dia tahu Akvi sengaja menggodanya.
"Dah, duduk dulu. Gue kasih minum gratis kali ini."
Akvi menuntunnya ke stool bar yang tidak jauh dari sana, lalu meminta salah satu pegawainya untuk membuatkan minuman andalan di kafe itu.
"Lo telat, ... dan dia manggung lebih awal. Kali ini, sih, cuma nyanyi."
"Dia gak datang sendiri, kali ini bareng cowoknya. Yang itu." Akvi melanjutkan seraya menunjuk singkat pada seorang laki-laki yang duduk di dekat panggung. Gadis itu duduk di depannya, tetapi ponsel seakan-akan lebih penting daripada memperhatikan kekasihnya. "Tadi sebelum manggung, dia bilang persembahin lagu itu buat cowoknya."
"Kapan lagi coba nemu cewek yang kayak gitu."
Kalimat terakhirnya itu ditujukan untuk menyindir teman di sampingnya. Benar-benar sengaja.
"Banyak bacot lo."
Sontak Akvi tertawa mendengar kalimat singkat yang ketus itu.
"Ketawa aja terus, gue semogain doi lo makin gak peka."
Seketika raut wajah Akvi berubah masam. Tidak asik sekali temannya ini.
"Eh.. hai, Kak Naren!"
Gadis bertubuh mungil yang baru turun dari lantai dua menyapanya.
Laki-laki yang bernama lengkap Naren Akasa Pramuja itu membalas singkat sapaan juniornya. Meskipun tidak seperti teman-temannya yang suka nongkrong bersama adik tingkat hingga saling mengenal, Naren mengetahui gadis yang sekarang berdiri di hadapannya ini. Sudah mengundang perhatian sejak ospek fakultas mereka.
Juga, ... gadis itu adalah gebetan Akvi. Athafiya Zivaru Marino.
Kini gantian Naren yang menatap Akvi dengan sorot jahil. Waktunya pembalasan.
"Radi masih sering nyamperin?"
Kening gadis itu mengkerut. Atha tidak tahu mengapa kakak tingkatnya ini tiba-tiba bertanya demikian. Alhasil dia hanya mengangguk kecil untuk menjawabnya.
"Lo anak psikologi, tahu kan, maksud dia?"
Dengan ragu, Atha kembali mengangguk.
"Jangan terima, ya, kalau dia nembak lo. Buaya."
"Emang gak bakal aku terima, kok. Mending mikirin statistik yang bikin puyeng."
Naren terkekeh kecil. "Kalau udah gak bisa, lo bisa minta tolong sama gue. Walaupun gak seahli itu, gue masih bisa jelasin."
"Waah, makasih banyak ya, Kak." Wajah Atha berseri. "Kalau gitu aku pamit duluan, ya. Udah sore banget."
"Kos lo ada jam malam?"
"Nggak."
"Terus ngapain pulang cepet-cepet, matahari aja masih ada."
"Pengen aja. Lagian mata ini udah gak sanggup."
"Oh, hati-hati di jalan kalau gitu."
"Makasih." Atha tersenyum kecil lalu pandangannya beralih pada Akvi yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara. "Kak, titip salam buat Ren, ya."
"Ah, iya. Main aja ke rumah sesekali."
"Iya, kapan-kapan."
Atha mengucapkan pamit untuk terakhir kalinya sebelum meninggalkan kafe. Ojek yang dipesannya sudah menunggu di luar.
"Belajar statistik, gih," ujar Naren tiba-tiba. "Nambah, tuh, alasan lo buat bareng Atha."
Akvi berdecak kesal. "Sengaja banget lo. Gue udah pusing sama analisis peluang, belum lagi pelajaran perilaku organisasi, malah lo sodorin itung-itungan lagi."
"Lagian Radi yang mana lagi, sih? Seangkatan sama lo? Tapi perasaan gak ada, deh."
"Bukan seangkatan sama gue, sama Atha. Ketua angkatan, tuh." Naren menjawab tanpa menoleh pada Akvi. Dia fokus pada satu titik yang sebenarnya mengganggu batinnya. "Bayangin, Vi, Atha sama Radi belajar statistik bareng terus muncul benih-benih. Atha yang tadinya nolak akhirnya luluh juga."
"Anjir lo!" Akvi menyumpahi temannya itu dengan kesal, tetapi sebuah tawa yang membalasnya kemudian. "Kalau lo panas liat gebetan lo sama cowoknya, jangan sengaja ngebuat gue ikutan panas."
Akhirnya Naren menoleh pada Akvi. "Dia bukan gebetan gue. Gue gak suka sama dia."
"Halah, bullshit! Bukannya gak suka, belum mau ngaku aja lo. Kalau gak suka, gak mungkin lo selalu tontonin dia waktu manggung. Bahkan sekarang lo terang-terangan lagi jealous ngeliat dia sama cowoknya."
"Sok tahu lo."
"Bukan sok tahu, tapi gue emang tahu. Kita udah temenan dari SMA, gue udah tahu gimana lo kalau berhubungan sama lawan jenis. Gue ada di sana, ya, waktu lo pertama kali jadian sama ayang lo itu."
"Ayang, ayang, pala lo mental. Gue udah gak sama dia lagi kalau lo lupa."
"Oh, iya. Udah jadi pematah hati, bukan pengisi hati lagi." Akvi mengakhiri kalimatnya dengan sebuah tawa renyah.
"Anjir lo." Kali ini Naren yang menyumpahi Akvi dengan kesal. "Gue cabut." Dia beranjak dari duduknya, menuju pintu kafe.
"Woi, ini belum lo minum! Udah dibikin, nih!"
"Ya, tinggal lo minum. Kan, itu gratis."
Tidak lagi menghiraukan hiruk-pikuk sekitar, Naren keluar dari kafe dan menghampiri motornya.
Enaknya psikologi klinis atau industri, ya?
Pemikiran itu tiba-tiba hinggap di benaknya.
Bersambung!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya, ya. Jangan lupa untuk meninggalkan jejak, vote dan komen kalian berarti bagi penulis. Boleh banget notice kesalahan penulisan, sangat membantu saat revisi nanti.
Cerita ini dibuat untuk ikut serta dalam Projek Songfiction bersama pejuangnaskah11
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] To be in His Shoes
RomanceNaren tidak pernah menyangka jika kebiasaannya menyaksikan seorang perempuan yang tampil pada 'Panggung Kisah' di kafe milik temannya, malah mendatangkan perasaan asing. Entah itu hanya sebuah lagu biasa yang dinyanyikan, atau cerita singkat yang me...