· s h o e s ⁰² ·

118 30 8
                                    

Halo, readersQ!
Kali ini, mari aku bawa kalian pada saat di mana semua bermula. Silakan ramaikan~

Matanya tidak lepas dari seseorang yang sedang tampil di atas panggung. Membagikan kisahnya bersama sang kekasih lalu dilanjutkan dengan menyanyikan sebuah lagu. Lampu di seluruh kafe meredup, menyisakan satu yang terang menyorot gadis itu.

Lembut.

Suaranya mulai mengalun indah. Diiringi oleh musik yang berasal dari pengeras suara di kedua sudut panggung.

Dia memperhatikan hingga lagu selesai, seperti kebanyakan pengunjung kafe yang lain. Hingga indra penglihatannya menangkap sesuatu.

Cairan bening lolos dari sudut mata gadis itu.

Tidak ada yang tahu selain dirinya, ... dan gadis itu sendiri.

Tepuk tangan riuh terdengar ke seluruh kafe. Kemudian lampu-lampu mulai bersinar dengan normal kembali, menggantikan lampu yang menyorot ke atas panggung.

Gadis itu pun turun dari panggung dan menuju meja yang sebelumnya dia tempati. Dia duduk sebentar di sana kemudian pergi tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya tergesa.

Itu semua tertangkap oleh penglihatan Naren karena sedari tadi, dia tidak mengalihkan pandangan barang sedetik pun. Dia memperhatikan sampai gadis itu menghilang, tidak tercapai lagi oleh pandangannya. Barulah setelah itu benda lain dia jadikan objek pandang: gelas kopi miliknya yang telah habis tidak bersisa.

"Woi, Bro!"

Sapaan disertai tepukan di pundak membuat Naren menoleh. Temannya, sekaligus sang pemilik kafe ini, adalah pelakunya.

"Parah lo baru datang sekarang. Grand opening-nya udah lewat hampir seminggu baru lo nongol."

"Sori. Lagi ngurusin anak baru." Naren berucap santai. "By the way, kafe lo lumayan juga. Konsepnya buku atau cerita gitu, kan?"

"Hm. Gue juga tambahin Panggung Kisah selain novel-novel dan buku lain yang ada di lantai dua." Akvi menunjuk panggung mini yang tadinya dinaiki gadis itu.

"Panggung Kisah?"

"Iya, kayak namanya, orang-orang bisa gunain panggung itu buat show themselves. Terserah mau nyanyi, ngungkapin unek-unek, cerita remeh kayak abis kepeleset waktu turun dari ojek. Pokoknya terserah mereka. Gue bebasin, asal bukan yang plus-plus."

Naren cukup tergugah dengan ide temannya itu. Pasalnya, selama ini Akvi hanya tampil dengan sosok yang seringnya terlalu santai. Dia tidak menyangka kalau laki-laki itu bisa memiliki pemikiran demikian.

"Well, gue akuin lo keren."

"Thanks."

"Oh ya, lo mau liat ke lantai dua? Suasananya beda dari lantai satu ini. Bakal lebih terasa konsepnya."

"Boleh." Naren mengangguk singkat.

Kemudian kedua laki-laki beranjak. Menaiki satu per satu anak tangga, hingga akhirnya sampai di lantai dua.

Benar. Suasana di lantai dua berbeda.

Book cafe.

Itu yang terlintas di benak Naren saat penglihatannya berkeliling ke segala penjuru di lantai itu. Keempat sisi dinding hampir seluruhnya ditutupi oleh rak-rak tinggi yang diisi oleh–jika perlu menebak–ratusan buku, ditambah dua rak lain yang berada di tengah.

Sisi kiri dari arah pintu masuk, dapat terlihat area lesehan yang dilapisi karpet bulu agar pengunjung bisa merasa nyaman. Pula terdapat beberapa buah bantal. Dinding kaca selebar 2 meter membuat orang-orang bisa melihat keluar, ke arah jalanan yang sering padat merayap. Bila musim hujan tiba, area lesehan itu mungkin akan menjadi spot favorit, karena tetesan-tetesan air hujan yang tertinggal di kaca mendatangkan suasana 'berbeda' yang bisa membuat orang enggan untuk beranjak.

[✓] To be in His ShoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang