Rahayu menyerahkan sebuah testpack kepada Aryo dengan raut wajah lesu. Sang suami yang baru beberapa menit terbangun, sudah menebak dari raut wajah istrinya. Tidak salah lagi, pasti negatif, seperti sebelum-sebelumnya.
Dengan malas, Aryo mengambil tespack dari tangan Rahayu. Terlihat dua garis merah. Aryo tersentak, lalu sejenak bergeming, tidak percaya dengan apa yang dilihat. Karena masih tidak percaya, laki-laki seumuran dengan Herman itu mengucek mata, lalu kembali melihat hasil testpack. Raut wajah Aryo yang awalnya lesu, perlahan berubah semringah.
“Ini ... ini benar?” tanya Aryo, masih tidak percaya.
Rahayu mengangguk. Setelah penantian bertahun-tahun, yang diinginkan akhirnya menjadi kenyataan. Rahayu dan Aryo berpelukan. Mereka terharu atas sebuah keajaiban yang tengah terjadi.
“Mas, sudahlah, Mas,” kata Rahayu yang masih dipeluk sang suami.
“Mas, aku susah bernafas.”
Kali ini Rahayu terpaksa melepas pelukan. Dadanya mulai sesak, Aryo memeluknya makin erat. Akan tetapi, berkali-kali berusaha, pelukan Aryo justru makin erat, membuat dadanya kian sesak.
“Mas, kamu kenapa, sih? Lepas, Mas, sesak.”
“Rahayu, kenapa kamu telantarkan ibumu?” Suara Aryo berubah, mirip suara Rukmini.
Secara tidak terduga, Rahayu tidak lagi memeluk sang suami, melainkan memeluk seorang perempuan berambut panjang, pelukannya pun terasa lebih longgar. Rahayu yang sempat dibuat termangu karena mendadak mendengar suara sang ibu, baru tersadar setelah merasakan sesuatu di tangannya.
Matanya membelalak menatap punggung sang suami. Tidak hanya di situ, aroma balsem mulai tercium.
“Kenapa kamu tinggalin ibu? Ibu kesepian di rumah.”
Makin cemaslah Rahayu. Dia memberontak, melepaskan pelukan, sampai tiba-tiba dirinya terpental dan sempat kehilangan keseimbangan.
“Rahayu.”
Yang dipanggil menoleh. Rukmini tengah duduk dengan tatapan mengarah ke Rahayu. Wajahnya pucat kesi, berkerut, dan bibirnya berwarna kehitaman.
“Ibu ....” Hanya satu kata yang mampu terucap.
Rahayu tidak menyangka bisa ditampakkan lagi sosok Rukmini. Dia mulai ketakutan, langkahnya menjauhi sang ibu yang tengah merentangkan kedua tangan, hendak memeluk.
“Ikut ibu. Ibu kesepian.” Rukmini beranjak, masih tetap membentangkan tangan.
Tentu saja Rahayu menolak. Dia bergegas keluar kamar, tetapi tiba-tiba pintu terbanting. Beberapa kali dibuka, masih tetap tertutup. Rahayu makin panik, terlebih saat melihat sang ibu yang kian mendekat.
“Ini ibu, jangan takut.”
Rahayu menggedor-gedor, lalu berteriak meminta tolong. Pintu masih tidak bisa dibuka, lalu tiba-tiba Rukmini sudah ada di sampingnya. Dia menjerit, terbangun dari mimpi.
Keringat membanjiri beberapa bagian tubuhnya. Napas mendadak tersengal-sengal, rambut pun acak-acakan. Rahayu menatap sekeliling kamar, tidak ada apa-apa. Aryo terlihat masih tertidur menghadap tembok.
Satu embusan napas panjang membuatnya sedikit lega. Mimpi yang semula terlihat indah, berganti buruk. Namun, yang jelas, apa yang wanita itu alami hanyalah mimpi.
Bayang-bayang sang ibu terlintas. Pulang dari rumah Rukmini, dua hari berlangsung baik dirinya maupun Aryo tidak lagi mengalami teror. Tiba di hari ketiga, pertama kalinya Rahayu memimpikan sang ibu dalam rupa yang sama persis seperti saat menampakkan diri di dapur.
“Mas.”
Rahayu mencoba membangunkan sang suami. Gara-gara mimpi buruk barusan, membuatnya haus. Gelas yang selalu ada di nakas, telah habis isinya. Karena mimpi itu, membuatnya takut beranjak.
Jam weker di nakas sudah menunjukkan pukul setengah enam pagi. Rahayu biasanya terbangun pukul lima, bahkan sudah berada di dapur, memulai aktivitas seorang ibu rumah tangga pada umumnya. Dia teringat kemarin siang membeli tespack dan akan dicoba hari ini saat baru bangun tidur.
Tentu harapan terbesarnya adalah hasil positif. Namun, setelah apa yang baru saja dialami, membuatnya takut mencoba, takut mimpinya berubah nyata. Senang jika positif, takut jika sang suami berubah menjadi sosok Rukmini.
“Mas.” Rahayu memanggil lagi, tetapi Aryo masih terlelap.
Bisa dimaklumi sebenarnya. Aryo sendiri lembur sampai pukul tiga pagi, wajar jika masih pulas. Terlebih, ini adalah hari libur, sudah biasa baginya bangun siang.
Rahayu tetap pergi. Dia mengambil tespack, lalu beranjak menuju kamar mandi. Namun, karena mimpi buruk, ada rasa takut yang masih tersimpan. Rahayu menjadi awas meskipun di rumah sendiri.
Harap-harap cemas masih menyerang dirinya saat hendak memakai tespack. Rahayu berdoa, berharap Tuhan memberinya kesempatan untuk dititipkan anak. Meskipun Aryo pernah mengatakan tidak masalah jika masih tetap negatif, tetap saja bagi Rahayu, hal itu membuatnya tertekan.
Pintu kamar mandi dibuka, Rahayu mengembuskan napas panjang sebelum masuk. Menit demi menit berlalu, Rahayu kembali dibuat kecewa dengan hasil yang tertera di tespack. Sekali lagi hasil negatif harus diterima. Sedih, kesal, malu, dan kecewa menjadi satu memenuhi pikiran.
Harapan terbesar bisa memiliki anak, harus kandas. Rahayu berjalan malas menuju kamar. Berat rasanya memberitahukan berita mengecewakan kepada sang suami. Akan tetapi, bagaimanapun juga Aryo harus tahu, apa pun hasilnya.
Rasa takut terhadap bayang-bayang mimpi telah hilang. Sempat muncul keraguan Aryo akan bersikap berbeda jika tahu lagi-lagi Rahayu belum bisa memberikan keturunan. Apakah masih tegar seperti sebelum-sebelumnya atau justru akan marah dan kecewa? Rahayu akan tahu sebentar lagi.
Pintu kamar dibuka, Aryo sudah terbangun. Laki-laki itu tersenyum menyambut kedatangan sang istri karena sudah tahu apa yang dilakukan wanita itu.
“Bagaimana?” tanya Aryo dengan raut wajah ceria. Dia masih di kasur, bersandar dengan selimut menutupi kaki.
Rahayu tersenyum balik, lalu berjalan sambil menyembunyikan tespack di belakang punggung. Perlahan, benda itu diperlihatkan. Aryo menerima dengan perasaan tak keruan.
Raut wajah Aryo mendadak lesu saat menerima kenyataan. Namun, itu tidak berlangsung lama. Dia tahu perasaan sang istri.
“Sudah, tidak apa-apa,” kata Aryo setelah menarik napas panjang, lalu menatap sang istri dengan senyum mengembang.
“Mas memang seharusnya cari wanita lain.”
“Sudahlah, berhenti mengatakan ini. Dari awal, aku sudah bilang akan menerima kamu apa adanya. Kita memang belum saatnya memiliki anak.”
Aryo sudah tidak lagi kaget mendengar ucapan Rahayu. Tidak hanya sekali istrinya mengatakan seperti itu dan tidak hanya sekali juga dia menasihatinya. Bagi Aryo, tidak sampai hati berbuat jahat, apalagi sampai menyakiti Rahayu.
“Tapi, Mas. Aku tidak bisa memberikanmu keturunan. Apa yang Mas harapkan dari pernikahan kita?”
Aryo menggeleng. Dia malas berdebat, takut kebablasan. Jika seseorang tengah mengeluh, yang bisa dilakukan hanyalah mendengarkan sekaligus menasihati. Berdebat bukanlah sesuatu yang dibenarkan dan tidak ada manfaatnya.
“Ini masih pagi dan mas tidak mau diajak berdebat. Yang jelas, apa pun hasilnya, akan mas terima. Mas tidak akan menyalahkanmu, tidak juga menyalahkan Tuhan. Kita jalani saja, pasti akan ada jalan keluarnya.”
Rahayu terdiam, Aryo beranjak dan keluar kamar dengan masih membawa tespack. Air matanya tidak bisa dibendung lebih lama lagi, dia terenyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...