Masih teringat dengan jelas kehangatan saat semua anggota keluarga berkumpul bersama. Ruang televisi adalah tempat paling favorit menghabiskan waktu, saling berbagi cerita, baik sedih maupun senang.
Herman paham bagaimana rasanya hidup kesepian. Duduk sendirian berteman sepi tanpa ada seseorang menemani. Ketenangan memang didapat, tetapi untuk kali ini, dia tidak menyukai suasana seperti ini.
"Hei, bangun." Tepukan di pundak membuat Herman membuka mata.
"Ibu?"
"Sudah malam, tidur," kata Rukmini lembut, lalu mengelus rambut sang anak.
Bukannya beranjak, Herman justru balik mengelus tangan Rukmini. Sang ibu menatap sendu, menciptakan kenyamanan. Mereka masih saling tatap sampai Rukmini menanyakan sesuatu kepada Herman.
"Kenapa?"
"Apa Herman sudah menjadi anak berbakti, Bu?"
Rukmini justru tersenyum mendengar ucapan Herman yang terkesan lucu. "Kenapa bertanya seperti itu? Masih ingat orang tua saja sudah termasuk berbakti."
Herman terdiam, mencerna jawaban Rukmini. Dia terdiam sejenak, memikirkan hal-hal apa lagi yang akan ditanyakan dengan masih menggenggam pergelangan tangan ibunya. Sudah sangat lama dirinya tidak mengelus-elus tangan sang ibu. Muncul kerinduan bisa kembali merasakan kerutan-kerutan di kulit, terasa kasar, sebuah tanda usia sudah tidak lagi muda.
"Ibu?"
Daripada sekadar tidur, Herman lebih memilih bermanja-manja lebih lama dengan sang ibu. Karena terlahir sebagai seorang anak sulung, dia seakan-akan dituntut untuk tegas terhadap semua adik-adiknya. Saking tegasnya, lupa jika membutuhkan belaian dari orang tua.
"Herman minta maaf sudah membuat Ibu kecewa. Seharusnya, dari dulu Herman menurut, pasti ujung-ujungnya tidak seperti ini, Bu. Kenapa penyesalan selalu datang belakangan?"
Sejak lama Herman hanya bisa memendam beban di pundak dan dada. Tidak banyak tempat berbagi cerita. Ditanggung sendiri nyatanya berat, Herman membutuhkan seseorang untuk bisa merasakan apa yang dirasakan, yaitu sosok seorang ibu.
"Ibu tidak memiliki hak mengatur kehendak anak-anak ibu. Orang tua, pasti menginginkan anaknya hidup bahagia, ibu pun berpikir seperti itu. Kalau dirasa dia adalah kebahagiaanmu, ibu bisa apa?" jawab Rukmini, seperti biasa tidak membuat anaknya tertekan.
Rukmini terdiam, berpikir sejenak sebelum melanjutkan, "Kenapa penyesalan datang belakangan, agar kita tidak sampai salah mengambil langkah. Kita diharuskan berpikir terlebih dahulu sebelum bertindak. Kalaupun salah, kita bisa belajar dari kesalahan."
Herman hanya bisa mengangguk, menurut saja semua perkataan Rukmini. Baginya, apa yang ibunya katakan memang benar sehingga tidak perlu membutuhkan sangkalan.
"Sudah malam, ayo, tidur."
Kali ini Herman menurut. Rasa kantuk mulai datang. Genggaman tangannya perlahan terlepas, Rukmini berjalan meninggalkan sang anak.
Rukmini berhenti melangkah. Dia menoleh, lalu berucap, "Temani ibu di kamar. Ibu kesepian."
Seperti tersihir, Herman mengiakan. Dia berjalan mengikuti arah kaki sang ibu melangkah. Pintu kamar terbuka, sebuah kasur besar sudah menunggu mereka. Rukmini kembali melangkah sampai di pinggir ranjang.
Bantal ditepuk-tepuk, seolah-olah memberi tanda agar sang anak mendekat. Benar-benar seperti hipnotis, Herman menurut disuruh berbaring. Tubuhnya diselimuti selimut putih dan saat itulah kamar mendadak menjadi gelap.
Sekian detik berjalan, Herman merasakan keanehan. Tangan dan kakinya susah digerakkan, seperti terikat. Seluruh kepala seperti tertutup, hanya menyisakan wajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...