BUAH BIBIR

801 63 0
                                    

Pagi-pagi buta Herman sudah terbangun. Kemarin malam dia menerima panggilan dari Dhamar yang mengatakan bahwa dirinya dan Anwar mengalami kecelakaan. Mendengar kabar itu, tentu membuat Herman kaget.

Ada dampak positif Dhamar menelepon. Herman memiliki alasan untuk bisa cepat pulang agar terhindar tidak terus-menerus berada di pemakaman. Kata orang, ada yang mencuri tali pocong Rukmini untuk dijadikan semacam syarat pesugihan atau untuk mempelajari ilmu hitam.

“Selama saya tinggal di sini, baru kali ini melihat makam dibongkar,” kata salah satu orang yang juga melihat makam Rukmini. “Kok, ada-ada saja orang berbuat aneh?”

Saat seseorang bercelatuk ingin membongkar makam Rukmini, Herman menolak dengan alasan tidak ingin mengusik ketenangan ibunya. Jika sampai terjadi, akan lebih heboh lagi. Orang-orang pasti terkaget-kaget ketika melihat jenazah Rukmini dibungkus dua kain kafan.

Yang awalnya hanya dua orang, bertambah lagi. Satu-dua orang datang, mereka adalah kerabat dari seseorang yang meninggal. Herman menduga, berita pembongkaran makam pasti akan menjadi buah bibir warga.

Sembari membuat sarapan, Herman kepikiran adik-adiknya. Anwar dikatakan jatuh ke jurang, sedangkan Dhamar ditabrak pengendara motor. Mereka dirawat di dua tempat berbeda.

“Kondisinya alhamdulilah tidak parah, Pak. Dia masih selamat,” kata seseorang yang menelepon Herman menggunakan handphone Dhamar.

Setelah sarapan dan memanaskan mesin motor, Herman akan bergerak pergi menemui Dhamar dan Anwar. Sebelumnya, dia sudah menghubungi Rahayu, tetapi panggilannya tidak kunjung dijawab. Pagi harinya, masih sama.

Semua pintu dan jendela sudah terkunci, Herman menghampiri motornya. Baru saja hendak berjalan, seorang ibu-ibu mendatanginya.

“Memang benar, ya, kalau makam ibumu dibongkar?” tanya ibu itu.

Sesuai dugaan, Herman bisa menabak apa yang ibu itu akan katakan. Berita pembongkaran makam Rukmini mulai merebak, membuatnya kesal dan malas meladeni.

“Sebenarnya saya sendiri kurang tau, ya, Bu.”

“Kata Pak Sudiyono, makam ibumu berbeda. Saya hanya mau bilang, hati-hati. Bisa jadi ada orang sedang berniat jahat,” ucap ibu itu lagi yang terlihat serius.

Herman malas meladeni, akhirnya beralasan sedang ada kesibukan yang membuatnya harus cepat-cepat pergi. Jika menceritakan masalah Anwar dan Dhamar, bertambah pula buah bibirnya.

“Hati-hati, lho. Saya sedang tidak lagi menakut-nakuti.”

“Ibu berdoa saja supaya tidak ada apa-apa dengan keluarga saya. Maaf, Bu. Saya mau pergi, buru-buru.”

***

Lokasi yang didatangi Herman adalah sebuah rumah sakit, tempat Dhamar dirawat. Butuh hampir empat jam sampai tujuan karena sempat mengalami kemacetan.

Salah satu penyebab kemacetan, beberapa saat lalu terjadi kecelakaan. Herman sempat bertanya pada salah seorang di antara keramaian. Seorang pengendara motor, lebih tepatnya pelajar, tewas terlindas ban truk.

Di kiri jalan memang terlihat truk bermuatan tengah berhenti. Kata orang yang ditanyai, kendaraan itulah yang melindas si pelajar malang. Herman bahkan sempat melihat meski hanya sepintas, si korban tergeletak di jalan dengan tubuh ditutupi koran dan pelepah pisang.

Sejak melihat itu, pikiran Herman tidak keruan, terus membayangkan nasib Dhamar yang beruntungnya selamat. Motor melaju normal setelah bermacet-macetan cukup lama.

Sesampainya di rumah sakit, Herman langsung menanyakan tempat Dhamar dirawat. Dia bergegas menuju lantai tiga, lalu mencari kamar yang sudah disebutkan oleh salah satu pekerja rumah sakit.

35 Hari Teror Ibu (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang