MASALAH BARU

731 65 0
                                    

Herman harus bolak-balik dari satu tempat ke tempat lain. Setelah mengantarkan Dhamar ke indekos Anwar, dirinya harus kembali menjemput Anwar untuk dibawa pulang. Melelahkan dan menghabiskan bensin, tetapi mau bagaimana lagi. Motor hanya satu, menyewa mobil sudah jelas membutuhkan biaya.

Dengan kondisi indekos yang bisa dikatakan kotor, risi sebenarnya dan akhirnya Herman-lah yang membersihkan. Dia yang baru tiba setelah menjemput Anwar, karena tidak nyaman, mulai mengambil sampah berserak meski masih lelah dan gerah.

“Kamu itu tinggal di tempat orang, bisalah sedikit lebih bersih. Ini kalau mbakmu tau, sudah ngamuk-ngamuk dia,” omel Herman seraya menyapu lantai indekos.

Dahulu, Herman pernah beberapa kali mampir ke tempat Anwar. Selalu kotor, tetapi tidak seperti saat ini. Banyak bekas plastik mi instan, pakaian berserak, gelas dan piring kotor, belum lagi bekas-bekas wadah plastik lainnya. Tidak habis pikir, kenapa Anwar sanggup berada di tempat kumuh seperti ini. Apakah pemilik indekos tidak marah?

Hanya ada satu ruang cukup luas, diisi dengan peralatan sederhana dan sebuah seprei kusam. Tidak ada dapur ataupun kamar mandi, benar-benar sangat sederhana. Mau bagaimana lagi, namanya juga indekos dengan harga terjangkau, wajar jika fasilitasnya ala kadar.

Dhamar duduk di seprei sambil sesekali memperhatikan Herman, begitu pun Anwar. Jika dibandingkan, kondisi keduanya sama-sama tersiksa. Tangan kiri Dhamar terbalut perban dan kaki kanan Anwar pun tidak jauh berbeda.

Kata perawat, ada ranting menancap di betis, menyebabkan kaki kiri Anwar harus diperban. Dia bahkan terpaksa berjalan dibantu kruk.

Saat Anwar ditanyai kenapa motornya bisa sampai terjun ke jurang, penyebabnya sama seperti Dhamar, melihat sosok Rukmini.

“Jadi, kamu juga diganggu?” tanya Dhamar saat masih di puskesmas.

Anwar yang seorang pendiam, akhirnya mau bercerita. Setelah kematian Rukmini, hidupnya memang berubah. Entah halusinasi atau memang kenyataan, dia kerap ditampakkan sosok ibunya.

Laki-laki berkulit kecokelatan berhidung pesek itu tengah bekerja sebagai seorang kuli bangunan. Satu hari setelah pulang dari rumah Rukmini, dia langsung bekerja. Menjelang sore ketika waktu bekerja akan selesai, tiba-tiba Rukmini muncul di pohon, membuat Anwar kaget dan terjatuh dari atap rumah yang sedang dikerjakan.

Beruntung tidak ada luka serius, hanya terasa sakit di pinggang karena menghantam tanah. Sejak sering ditampakkan sosok sang ibu, hidupnya berubah, menjadi tidak tenang.

“Ada apa sebenarnya dengan Ibu? Kenapa aku juga ikut diteror?” kata Anwar yang muak atas apa yang tengah terjadi padanya.

Herman paham dengan kerisauan kedua adiknya. Jangankan mereka, dirinya saja merasa tidak tenang. Entah hal apa yang membuat Rukmini meneror anak-anaknya sendiri, Herman tidak tahu penyebabnya.

“Apa mungkin karena sesajen itu?” celatuk Dhamar, teringat dengan sesajen di kamar sang ibu. “Waktu masih tinggal di sana, baru kali ini aku melihat sesajen di rumah.”

Herman berpikiran sama dengan Dhamar. Baru kali ini dirinya tahu ada sesajen di rumah, Rukmini tidak pernah bercerita.

“Mungkin memang harus dicari tau kenapa Ibu menaruh sesajen,” kata Herman yang mulai semacam menemukan titik terang penyebab teror ibunya.

Terlepas benar tidaknya penyebab teror adalah karena sesajen, Herman ingin mencari tahu. Nanti setelah kembali ke rumah, dia akan mengais informasi lewat orang-orang yang dikenal, seperti saudara atau teman ibunya.

Herman kembali melanjutkan aktivitas menyapu yang sempat tertunda. Dia ingin kamar indekos Anwar jauh lebih bersih dan enak dipandang. Saat sudah selesai, dia akan mencoba menghubungi Rahayu atau Aryo kembali, tentu meminta bantuan mereka, sekaligus memberi tahu tentang Anwar dan Dhamar.

Sangat aneh, tidak biasanya Rahayu dan Aryo susah dihubungi. Jikapun panggilan tidak terjawab, mereka pasti akan menelepon balik. Namun, sampai sekarang tidak sama sekali. Apakah terlalu sibuk atau bagaimana? Herman sampai dibuat heran.

“Iya, halo? Maaf, ini dengan siapa?” kata Dhamar, menjawab panggilan dari nomor tidak dikenal.

“Hah, hilang? Kok, bisa, Mbak?” Dhamar terkejut luar biasa.

Pantas saja dipanggil tidak dijawab, ternyata HP milik Rahayu menghilang. Herman yang masih menyapu, menanyakan apa yang terjadi.

“Kok, bisa hilang?” Herman sama-sama tidak percaya. “Pinjam HP-nya sebentar, abang mau bicara.”

Dhamar menurut. Dia hanya menyaksikan Herman yang tengah bertelepon dengan Rahayu.

“Aku ada di kos Anwar. Kemarin dia kagak di rumah. Ini saja dari kemarin manggil kalian, kagak dijawab. Anwar dan Dhamar kecelakaan motor.”

“Kecelakaan? Kok, bisa? Kenapa dengan mereka?” Rahayu menjawab panggilan dengan panik.

“Panjang ceritanya. Yang jelas, mereka baik-baik saja sekarang. Itu kenapa sama Aryo? Kalian bertengkar?”

“Ini Mas Aryo dari kemarin tidak bisa dihubungi. Di kantor tidak ada, di rumahnya juga sama, teman-teman kerjanya juga tidak ada yang tau dia di mana. Dia juga tidak kasih kabar apa-apa. Aku khawatir,” ucap Rahayu yang menelepon melalui handphone ayah mertua.

“Bang, ada apa?” tanya Dhamar penasaran karena raut wajah Herman terlihat serius.

Herman belum menjawab, masih serius bertelepon dengan Rahayu. Dia mendengar dengan saksama apa yang terjadi. Kata adik perempuannya, Aryo berangkat kerja seperti biasa dan pulang pukul tujuh malam. Namun, sampai pukul sepuluh, sang suami tidak kunjung pulang.

HP Rahayu hilang saat dirinya sedang di pasar. Satu jam lebih dicari, bahkan sampai bertanya ke banyak orang, tetapi tidak membuahkan hasil. Rahayu belum sempat mengabarkan ke sang suami, takut mengganggu. Dia berniat bercerita ketika Aryo pulang. Akan tetapi, sampai tengah malam suaminya belum kunjung menampakkan diri.

“Aryo juga tidak bisa dipanggil dari kemarin. Ini juga aku baru tau kalau dia kagak pulang. Kalian kagak sedang bertengkar, kan?”

“Enggak. Kami baik-baik saja,” jawab Rahayu, makin mengkhawatirkan sang suami.

“Ya, udah. Nanti sore aku ke rumahmu. Kalau ada apa-apa, kasih kabar.”

“Iya. Ini aku pakai HP Bapak. Untung aku masih punya catatan nomor Dhamar di buku pas dia dulu bilang ganti kartu, jadi aku bisa telepon dia.”

Herman memijat kening, pening rasanya masalah selalu datang. Dia bercakap-cakap lagi, tetapi tidak lama. Panggilan berakhir, Herman mengembuskan napas panjang.

“Ada apa?” Dhamar kembali bertanya. Perasaannya tidak enak.

Herman menatap Dhamar malas. Bukan karena malas memberi tahu, melainkan lelah menghadapi masalah yang kian hari tambah berat. Dia pun menjelaskan.

Baik Dhamar maupun Anwar, mereka sama-sama terkejut mendengar kabar tidak enak yang disampaikan Herman.

35 Hari Teror Ibu (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang