Saya tidak pernah menyebut namanya dalam do'a,tapi saya selalu meminta agar di jaga hatinya. Karena tanpa menyebut namanya pun,Allah tau mana hamba-Nya yang saya suka.
-Akmal Afzanka Al-Ikhsan
***
Perihal mimpi, tidak ada habisnya kita berpikir bagaimana cara untuk mewuujudkan. Dari sekian banyaknya rencana dan tujuan, kita selalu berharap semua terlaksanakan. Padahal, segalanya sudah diatur. Namun manusia selalu terjebak dalam rasa tamak, takut, dan berlebihan.
Allah itu, kan, sebaik-baiknya maha pengatur.
Lalu, apa yang ditakutkan?
Yang kita anggap baik, belum tentu baik dimata sang kuasa.
Sejatinya, tugas kita hanya menjalani apa yang sudah jadi bagian dan dipercayakan.
Akmal Afzanka Al-Ikhsan, memegang teguh pemikiran itu. Bahwa, tidak lain Dia-lah yang maha mengetahui. Rencana yang ia buat hari ini seperti ini, besok bisa saja berubah dengn tidak disadari. Karena bisa jadi itu bukan yang sebenarnya harus ada dalam hidupnya.
"Jadi gimana? Diterima?"
Dan, inilah salah satu dari sekian banyaknya rencana dan tujuan dalam hidup Afzan. Yang entah jadi takdir, atau tidak. Poin pentingnya, dia ingin mengusahakan terlebih dahulu. Bagaimana akhirnya, bagian diri dari Afzan sudah mempersiapkan diri dengan lapang apabila tidak terlaksanakan.
Diam, Afzan berpikir sejenak kemudian menjawab, "Umi bilang, dia minta diberi waktu."
"Wajar, sih, secara, kan, dia gak kenal lo," kata Zaki, cowok yang bertanya tadi.
Menatap tidak suka, Afzan berdecak. "Dia kenal gue, kok," ungkapnya.
"Hah? Masa?" Giliran Rama yang bersuara.
Yang Rama dan Zaki tau, Afzan menyukai sesosok perempuan yang katanya perempuan itu sendiri tidak mengenal Afzan. Lalu, bagaimana bisa Afzan jatuh suka pada perempuan itu padahal salah satunya tidak mengenal?
Afzan bilang itu rahasia. Menyebalkan sekali memang. Penasaran diujung tanduk, tapi jawaban yang didapat rahasia.
Rama berdecih. "Pembohong handal. Kalau gue do'ain gak diterima."
Afzan sontak berdiri, menatap Rama nyalang. "Astaghfirullah, istighfar heh! Mulut lo minta dijait, ya?!" sengit Afzan.
Demi apapun dia sensitif jika membahas ini. Afzan takut jika memang nanti ternyata ia ditolak. Harapan yang sudah ia pupuk mati. Lalu, bagaimana nanti cara menyembuhkan diri dari perasaan patah hati ini?
Menangkap raut muka tak mengenakkan di wajah temannya, Zaki Iba. "Tenang, kalau memang jadi takdir, dia nggak akan kemana-mana. Tapi, meskipun begitu, lo harus mempersiapkan diri, mungkin nanti ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginan hati. Rencana Allah itu selalu lebih baik dari rencana kita, bro. Enjoy, lo yang paling paham masalah ini."
Afzan menyadarkan diri. Memang, disaat seperti ini, hanya Zaki yang seperti cahaya yang menerangi kegelapan. Lain dengan Rama, pemuda itu seperti api, yang akan semakin memanaskan hati.
"Thanks atas pencerahannya," tutur Afzan, berterimakasih. "Kalian bakal tau nanti, perempuan itu siapa."
"Nanti, nanti, mulu, lo! Kenapa gak sekarang aja, sih?" Rama protes.
"Bukan kejutan dong, kalo gitu."
"Mungkin yang Afzan suka itu bidadari, makanya dirahasiakan, terus nanti-nanti mulu kalau ditanya perempuan itu siapa."
Afzan menjentikkan jari. "Nah, bener!"
"Dih?"
Rama kesal sendiri. Cowok itu memasang ekspresi julitnya. Sementara itu, Zaki dan Afzan tertawa.
Persahabatan yang masih terus bertahan, sejak delapan tahun yang lalu.
***
Lulus kuliah itu, sudah bisa dikatakan sukses, tidak? Dulu, Afzan berpikir, kalau sudah lulus kuliah, itu artinya sudah sukses. Nyatanya, pemikirannya saat itu salah! Justru, setelah lulus kuliah itulah awal dari perjalanan menuju kesuksesan. Mewujudkan banyaknya rencana dan tujuan.
Karena Afzan anak tunggal, sebisa mungkin dia harus menuruti ucapan kedua orang tuanya. Satu-satunya harapan yang mereka punya.
Dua bulan yang lalu, dia lulus dari salah satu Perguruan tinggi dengan program studi Manajemen. Tidak ada waktu untuk sedikit bermalas-malasan. Setelahnya, ia langsung ditunjuk sang Ayah untuk menggantikannya di perusahaan sebagai CEO.
Jadi orang dewasa dan harus bekerja itu melelahkan.
Lalu, ingatannya kembali pada kisah cintanya. Afzan sungguh frustasi menanti jawaban dari perempuan itu.
Bak abg yang baru saja putus cinta, Afzan berteriak dan meredam suaranya dengan cara membenamkan wajahnya di bantal.
"Kamu ngapain kayak gitu? Berdebu, batuk nanti!"
Safa, sosok yang selalu Afzan panggil dengan sebutan 'Umi' itu memukul punggung sang anak.
Afzan merubah posisi menjadi telentang kemudian duduk. Ia menggaruk tengkuknya, salah tingkah.
"Ee... maaf Umi," ucapnya dengan suara pelan.
"Kenapa kamu?" Safa menyadari gelagat aneh putranya ini.
"Nggak apa-apa, Afzan baik-baik aja," jawab Afzan sekenanya.
"Bohong. Kamu itu dari kecil Umi yang urus, tingkah kamu yang kaya gini Umi jelas tau, pasti ada penyebabnya."
Bola mata Afzan bergerak menatap sekeliling kamarnya. "Mikirin itu Umi," katanya ragu.
"Itu apa?" Safa mengernyit.
"Yang Umi urus buat Afzan."
"Hm? Maksud kamu lamaran itu?"
Uminya itu, kenapa diperjelas, sih? Afzan, kan, malu. Galau karena mikirin tentang lamarannya yang masih abu-abu dan belum menemukan titik terang.
"Sabar dong, Zan, baru juga dua hari. Dia, kan, mintanya seminggu. Untung gak satu bulan, bisa-bisa kamu frustasi." Safa tertawa.
"Umiii..."
Diluar, mungkin Afzan terlihat seperti sosok yang pendiam dan tidak banyak bicara. Padahal aslinya, di depan Uminya, dia bertingkah seperti anak kecil. Di depan teman-temannya, dia adalah sosok hangat dan pencair suasana.
Safa tertawa, mengelus surai putranya.
Saat pertama mendengar Afzan menyukai seseorang, Safa begitu senang. Terlebih lagi, anaknya itu ingin langsung meng-khitbahnya.
"Umi, nggak apa-apa, kan, kalau ada perempuan lain yang Afzan cinta selain Umi?"
Mengingat itu, Safa tersenyum bahagia. Tentu Safa sangat senang, anak laki-lakinya berhasil menemukan cintanya. Sedikit tidak menyangka, usia putranya kini sudah dua puluh empat tahun. Waktu cepat sekali membawanya terus bertumbuh.
"Umi, Afzan suka dia udah lama. Afzan juga gak sembarang mau meng-khitbah. Dia benar-benar sendiri, bukan milik siapa-siapa."
"Iya, sayang. Kita jemput cinta kamu itu sama-sama, ya."
Bahagia Afzan, tentu bahagia Safa dan juga suaminya, Ayah dari pemuda itu.
Dan, bahagia itu sudah dijemput, hanya tinggal menanti jawaban dan keberangkatan.
Semoga jawabannya sesuai dengan keinginanmu, ya, nak.
Semoga dia jadi takdirmu.
***
dikit aja dulu, kehabisan ide.
vote yaa jangan ga vote
vote gratis kok, tinggal tekan tanda bintang nya heheeethanks karena udh baca, see you next chap semuaa, byeee

KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU [New Version}
Roman pour AdolescentsYou, always you. -Akmal Afzanka Al-Ikhsan *** Tidak boleh ada yang meragukan perasaan seorang bocah berusia lima belas tahun.