“Mau ke mana?” tanya Anwar saat melihat Dhamar membuka pintu.
“Pulang.”
Satu hari Dhamar menginap di indekos Anwar, rasa-rasanya tidak enak jika tidak melakukan apa-apa. Dia dilarang ikut Herman ke rumah Rahayu untuk mencari tahu keberadaan Aryo.
“Udah, di sini saja kamu. Kalau kamu pergi, bisa kena omel aku.”
Dhamar tertawa, lucu mendengar jawaban Anwar. Dia seakan-akan dianggap anak kecil yang wajib diawasi tiap detik. Namun, tekad Dhamar sudah kuat. Pagi ini dia akan pulang ke rumah, bukan ke indekos.
Ada rasa kasihan melihat Herman menanggung masalah seorang diri. Sang kakak tengah sibuk membantu Rahayu. Jika sudah selesai, ada tugas baru yang akan dikerjakan, yakni mencari tahu masalah sesajen.
Dhamar rasa, dia tidak ingin tinggal diam, paling tidak turut membantu memecahkan masalah. Biarlah beberapa hari tidak ikut kuliah, beberapa temannya tahu kondisinya, mungkin mereka bisa membantu saat ditanyai dosen. Jikapun masih ditanya, Dhamar masih bisa menjelaskan bahwa dirinya tengah ada masalah keluarga yang tidak bisa ditunda.
Lagi pula, selama kuliah, Dhamar sendiri sangat jarang membolos tanpa sebab, semoga saja suatu hari nanti dirinya tidak mendapat masalah. Dia hanya ingin membantu, setidaknya jika teror Rukmini bisa dipecahkan, hidupnya akan menjadi lebih tenang.
“Bilang saja kalau itu kemauanku,” kata Dhamar, memberi solusi.
“Terserlah. Kalau ada apa-apa, aku kagak ikut campur.”
“Aku udah gede, bisa jaga diri,” sindir Dhamar.
Hanya tangan Dhamar yang bermasalah, dia masih bisa berjalan, makan, dan melakukan aktivitas lain seperti biasa sehingga tidak perlu diperhatikan. Setelah selesai tetek bengek dengan Anwar, Dhamar pergi mumpung masih pagi. Masih ada sisa uang di saku celana dan tabungan, lebih dari cukup untuk biaya makan dan naik kendaraan.
Dengan tangan kiri masih terbalut perban, langkahnya seorang diri menuju pasar. Mengingat indekos Anwar berada di desa, butuh waktu setengah jam sampai di terminal naik angkot karena tidak ada bus yang beroperasi di tempat Anwar.
Dhamar yang berangkat pukul delapan pagi, tiba di rumah menjelang pukul dua siang. Perjalanan sangat lama jika menggunakan kendaraan umum, belum lagi harus naik-turun dari satu kendaraan ke kendaraan lain. Lelah dan panas harus diterima, belum lagi harus berjalan kaki sampai di rumah.
“Tangannya kenapa?” Seorang ibu-ibu bertanya saat berpapasan dengan Dhamar di jalan.
“Jatuh, Bu.” Hanya kalimat sederhana yang Dhamar jawab, sengaja karena malas memperpanjang masalah.
“Ya Allah, kok, bisa jatuh? Berarti benar ucapan saya kemarin.”
“Ucapan apa maksudnya?”
Si ibu tidak membalas, melainkan menatap Dhamar dari ujung kepala sampai kaki. Entah apa yang membuatnya memperhatikan laki-laki yang kausnya sudah basah karena peluh itu.
“Pasti ada orang jahat yang tengah menjahili kalian, anak-anaknya Rukmini. Hati-hati. Saran saya, lebih baik kamu suruh abangmu mencari dukun secepatnya. Jangan sampai keluarga kalian mengalami kesialan satu per satu.”
Bukannya paham, Dhamar justru tidak maksud inti kalimat yang ibu itu katakan. Apa yang dimaksudkan orang jahat dan kenapa harus mencari dukun? Dhamar sempat menduga, apa mungkin para warga sudah tahu tentang teror yang tengah dialaminya?
“Memangnya ada apa, Bu? Saya benar-benar tidak tau apa yang Ibu katakan.”
Ibu itu menggeleng-geleng, seakan-akan tidak suka dengan perkataan Dhamar barusan.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...