“Itu urusan abang, kamu tidak perlu ikut campur. Pikirkan saja kuliahmu. Abang tidak mau tau, besok kamu harus pulang, kuliah lagi. Masalah ini biar abang yang handle.”
Panggilan diakhiri secara sepihak oleh Herman. Dari cara bicaranya, dia terdengar marah setelah tahu bahwa Dhamar pulang ke rumah Rukmini.
Sebelumnya, dia sudah mengatakan, sang adik tidak perlu ikut campur. Lanjutkan kuliah seperti biasa, fokus belajar, dan biarkan selain itu menjadi tugas dirinya. Namun, Dhamar justru membangkang.
Bukan satu-dua kali Dhamar melihat Herman marah kepadanya. Namun, kali ini sang kakak tidak hanya marah, tetapi kecewa karena dirinya nekat ikut campur masalah yang tengah dihadapi.
Dari berbagai macam pilihan, hanya satu yang harus dipilih. Apakah harus menuruti kemauan Herman, tetap mencari tahu tentang sesajen, atau pergi ke rumah Rahayu?
Setelah dipikir-pikir, Dhamar memutuskan pergi ke rumah Rahayu untuk melihat, melayat, sekaligus mencari informasi kasus kematian Aryo yang ditemukan di pinggiran sungai.
Niat hati ingin menyelidiki masalah sesajen, terpaksa dihentikan. Bagaimanapun juga, tidak mungkin baginya tidak turut hadir di rumah sang kakak.
Jam digital di handphone menunjukkan pukul setengah tiga. Sudah sore, apa mungkin masih ada angkot beroperasi menuju kota? Andai saja tangannya tidak terluka, sudah pasti bisa mengendarai motor.
Jikapun ada angkot, Dhamar harus naik bus untuk sampai di lokasi tempat tinggal Rahayu yang berbeda kabupaten. Belum lagi untuk sampai di rumah sang kakak, harus menggunakan kendaraan umum, jalan kaki akan memakan waktu sangat lama. Sudah jelas, sampai di tujuan bisa saja tengah malam.
Dhamar yang sudah ada niat pergi, kembali duduk di kasur. Dia meragukan rencananya bisa berjalan lancar. Dipikir-pikir sekali lagi, akhirnya memutuskan esok hari akan pergi. Sudah cukup terlalu merepotkan Herman meminta dijemput. Meskipun berat, Dhamar berjanji akan menemui Rahayu esok hari.
***
“Dulu, ibumu memang sering pergi, tapi bapak tidak pernah tau dia ke mana,” ungkap Sudibyo.
Magrib belum lama berkumandang, Dhamar menemui Sudibyo setelah sebelumnya gagal karena sang paman tidak di rumah. Mumpung masih di rumah, sebisa mungkin dia mendapatkan informasi mengenai ibunya. Jika beruntung, bisa sekaligus mengenai sesajen.
Sejujurnya, Sudibyo sendiri memang mencurigai Rukmini semenjak jarang berbaur dengan tetangga setelah kematian Hadi. Pernah sekali melihat sang kakak pulang malam, hal yang amat jarang dilakukan. Ditanyai pun, jawaban yang didapat kurang memuaskan.
“Semenjak Ibu tiada, saya kerap dihantui. Ini pun juga karena Ibu.” Dhamar menatap lengan kirinya yang dibalut perban.
“Apa mungkin Rukmini main dukun?” Sudibyo berbicara sendiri sambil berpikir.
Jika benar, dasar seperti apa yang membuktikan kebenaran itu? Setahu Sudibyo, Rukmini hanyalah orang biasa. Menjadi orang paling kaya di desa, bukanlah sesuatu yang aneh. Hadi sendiri adalah seorang pedagang sukses. Lahan yang dikelola cukup banyak, panen pun selalu melimpah. Belum lagi, suami Rukmini itu memang tipe pekerja keras, tidak aneh bisa sukses.
“Kalau Ibu main dukun, untuk apa?” Dhamar pun sama seperti Sudibyo, masih kurang percaya jika memang Rukmini bermain dukun.
Bagaimanapun pun, selama tinggal bersama sang ibu, tidak ada hal-hal mencurigakan, semua terlihat normal.
“Atau mungkin ... orang lain?”
Sudibyo sontak menatap Dhamar. Jika dipikir-pikir, perkataan keponakannya ada benarnya. Kenapa tidak kepikiran?
Sempat ragu, tetapi Sudibyo berkata, “Bisa jadi. Bapak juga baru kepikiran. Kemarin bapak melihat makam ibumu, dan memang seperti dibongkar.”
Dhamar refleks beralih pandang saat mendengar kata bongkar. Dia sangat yakin sang paman pasti berpikir makam Rukmini dibongkar orang lain, padahal aslinya anaknya sendiri yang melakukan. Jika tidak disuruh berjanji untuk merahasiakan, Dhamar sudah pasti akan memberitahukan kebenaran.
“Kamu kenapa?” tanya Dhamar, melihat ada yang aneh dengan Dhamar.
Dhamar mendadak gelagapan. Dia bingung, apakah lebih baik diceritakan atau memilih masih merahasiakan? Jika diceritakan, bisa menjadi masalah; jika dibiarkan, rumor-rumor itu pasti akan dianggap benar.
“Tidak ada apa-apa,” jawab Dhamar pada akhirnya, mencoba bersikap tenang dan lebih memilih masih merahasiakan siapa di balik pembongkaran makam.
“Saya hanya ingin ini cepat selesai. Saya takut bisa lebih besar lagi masalah yang kami hadapi.”
“Ini memang berat, terlebih kalian tidak tau apa-apa.”
Dhamar memilih tidak menjawab. Ternyata, niat hati mengulik informasi melalui Sudibyo, tidak terlalu banyak yang didapat.
Sudibyo merasa kasihan dengan anak-anak Rukmini. Mereka menjadi korban padahal tidak ikut campur. Entah memang Rukmini atau orang lain, dia sendiri tidak tahu.
“Kamu yang sabar, paman pasti akan membantu.” Sudibyo berpindah tempat duduk, lalu mengelus pundak Dhamar, mencoba memberi ketenangan.
Sudibyo memilih menyudahi pembahasan. Dia menyuruh Dhamar untuk menikmati kudapan di meja, bahkan meminta sang keponakan untuk makan.
Saat ini istrinya tengah berada di rumah salah satu anaknya, tengah bantu-bantu acara sunatan cucunya. Di rumah hanya ada Sudibyo sendiri. Dia yang awalnya ingin pergi juga, tidak jadi karena kedatangan tamu.
Azan Isya berkumandang, saat itulah Dhamar memutuskan pulang. Sudibyo pernah menawarkan agar lebih baik menginap daripada berada seorang diri di rumah. Namun, Dhamar menolak. Dia tidak mau merepotkan.
“Saya mau pulang saja, Paman. Besok pagi, saya harus pulang.”
“Lah, kok, pulang? Baru juga satu hari di sini. Memang enggak cape pulang-pergi?”
“Besok mau pulang ke tempat Mbak Ayu. Suaminya meninggal,” kata Dhamar meski sebenarnya tidak ingin membahasnya, hanya saja sudah telanjur.
“Innalilahi wa innalilahi raji’un.”
Sudibyo tersentak mendengar berita kematian Aryo. Dia lantas menanyakan penyebab kematian suami Rahayu itu. Saat mendengar penjelasan dari Dhamar, dadanya kembali tersentak.
“Saya pun tidak paham apa yang terjadi. Semoga ini bukan ulah Ibu atau orang lain yang tengah berniat jahat.”
Sudibyo kembali mengelus pundak Dhamar. “Terlepas benar tidaknya, hanya Tuhan yang tau. Besok, kita sama-sama pergi ke sana.”
Dhamar yang tengah tertunduk, mengangkat kepala, lantas menatap Sudibyo.
“Aryo juga termasuk keluarga paman. Besok kita sama-sama ke sana. Lebih baik kamu menginap di sini. Di sini kamu aman, ada paman dan bibi. Paman takut terjadi apa-apa jika kamu sendirian.”
Dhamar berpikir sejenak, menimbang-nimbang keputusan apa yang akan diambil. Perkataan Sudibyo ada benarnya, dia merasa jauh lebih aman berada di rumah sang paman. Sejujurnya, dia sendiri agak takut sendirian di rumah saat kerap dihantui sosok sang ibu.
Saat keluar pun rumah sudah dalam keadaan dikunci, beberapa lampu juga sengaja dinyalakan sehingga tidak terlalu masalah ditinggal. Mungkin besok sebelum pergi, Dhamar akan mampir sejenak ke rumah untuk mengambil barang, sekaligus mencopot tabung gas dan mematikan kulkas agar lebih aman ketika ditinggal.
Dhamar menyetujui usul Sudibyo. Dia mengangguk, mengiakan malam ini menginap. Sang paman tersenyum senang. Sudah sangat lama baginya tidak menginap sejak memasuki masa SMA. Dahulu dia memang kerap disuruh tidur di rumah Sudibyo dan seperti biasa pasti akan dibelikan jajanan.
“Ya, sudah. Kita makan saja, yuk. Kamu pasti lapar, kan? Ada banyak makanan di meja makan, nanti bibimu pasti bawa lagi. Ayo, kita makan.”
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...