Dua hari setelah kematian Aryo yang disebabkan kasus pembegalan di saat dirinya pulang kerja, semua anak-anak Rukmini berusaha hidup seperti pada umumnya.
Dhamar kembali kuliah, Anwar masih betah di indekos meski sudah disuruh pulang ke rumah untuk menemani Herman, begitu pun Rahayu yang masih setia di rumahnya.
Teror berakhir setelah Herman mengakui bahwa dirinya dan Dhamar yang telah membongkar makam untuk memenuhi janji kepada Rukmini. Meskipun rumor tetap berdengung, Sudibyo lebih memilih membiarkan sampai nanti mereda sendiri seiring berjalannya waktu.
Masalah sesajen, Sudibyo menyarankan agar nanti setelah selesai acara tujuh harian Aryo, mengadakan selamatan di rumah Rukmini dengan harapan agar tidak ada lagi teror ataupun hal-hal lain yang membawa dampak buruk, sekaligus mengirim doa agar sang kakak mendapat ketenangan dan diampuni dosa-dosanya.
Jika berkenan, Sudibyo menyarankan tidak hanya selamatan, tetapi juga menyantuni anak yatim, seperti yang pernah dilakukan Rukmini beserta Hadi pada masa lalu. Mungkin doa-doa mereka bisa membuat Rukmini tenang.
Di hari ketiga, Dhamar mulai bisa kembali fokus belajar. Anwar akhirnya mau dibujuk pulang, Herman serasa memiliki teman di rumah. Lahan Rukmini yang sempat dibiarkan, kembali digarap Herman dengan dibantu tetangga sekitar. Paling tidak, hanya itulah cara menyibukkan diri daripada terus-menerus meratapi masa lalu.
“Mbak nangis?” tanya Dhamar saat video call terhubung ke Rahayu.
Dari layar handphone, masih tersisa air mata di pipi Rahayu, matanya pun merah, sebuah tanda jika dirinya memang tengah menangis.
“Enggak, kok. Mbak enggak kenapa-kenapa,” jawab Rahayu sambil menyeka sisa air mata, menyembunyikan kesedihannya. “Ada apa, tumben video call?”
“Enggak ada apa-apa, sih, cuma lagi pengin video call.”
Yang dilihat Dhamar tidak mungkin salah. Baru kali ini dirinya melihat sang kakak menangis, bahkan terlihat lemah. Dari dahulu, Rahayu dikenal tegas dan cerewet. Dhamar sudah tahu penyebab kenapa sang kakak seperti itu, tidak lain karena ditinggal suami.
Berdasarkan pengakuan sang begal, mereka—dua orang—menghentikan motor Aryo di tempat sepi. Dengan cepat, salah satu dari mereka menodongkan senjata tajam. Terjadi perlawanan dari Aryo sampai pada akhirnya dia tumbang setelah pisau menancap perut.
Motor disembunyikan terlebih dahulu, lalu mereka membawa mayat Aryo ke perkebunan warga sampai pada akhirnya dilempar ke sungai untuk menutupi jejak. Namun, nyatanya, mereka tetap tertangkap setelah salah satu teman Aryo melihat motor milik rekan kerjanya dikendarai orang lain.
Satu hari Dhamar tinggal di rumah Rahayu, sang kakak masih murung, pendiam, dan sampai menolak makan. Sebagai seorang adik yang selalu dirawat ketika sakit, Dhamar merasa yakin bahwa Rahayu masih bersedih, maka dari itu dirinya video call dengan sang kakak untuk menghibur.
“Mbak baik-baik saja kan di sana?” Dhamar bertanya lagi. Tidak tega rasanya melihat sang kakak murung.
Rahayu mengangguk. “Mbak baik-baik aja. Tumben kamu nanya gitu?”
“Ya, masa kagak boleh,” jawab Dhamar sambil tersenyum, merasa tersindir.
Mereka bercakap-cakap cukup lama dan terhenti ketika Dhamar melihat Rahayu bertingkah aneh. Sang kakak terlihat tengah mencari sambil mendengarkan sesuatu. Dhamar masih terus memperhatikan kakaknya beranjak menuju kasur.
Karena HP ditopang sesuatu, Dhamar bisa melihat pergerakan sang kakak. Dia masih memperhatikan Rahayu yang masih di depan ranjang, menunduk dengan wajah seolah-olah tengah memperhatikan sesuatu.
“Ini anak siapa? Kenapa tiba-tiba ada di sini?” kata Rahayu sambil menengok kanan-kiri.
Dhamar yang mendengar perkataan Rahayu, dibuat kaget. Jelas-jelas tidak ada siapa-siapa di kamar Rahayu, hanya sang kakak seorang diri. Kakaknya bahkan terlihat tengah mengambil sesuatu, lalu diletakkan di dada, persis orang yang tengah menggendong bayi.
Rahayu dipanggil seseorang. HP yang disangga tiba-tiba terjatuh dengan layar menghadap ke atas, menampilkan langit-langit kamar. Dhamar tidak bisa melihat Rahayu, hanya mendengar suara sang kakak yang tengah menenangkan bayi rewel.
“Bu! Ini bayi siapa, ya, kok, tiba-tiba ada di kamar?” Suara Rahayu yang hampir bersamaan dengan suara pintu terbuka.
Hening, Dhamar tidak mendengar apa-apa lagi. Dia makin panik, lantas memanggil-manggil sang kakak. Tidak ada jawaban. Ditunggu beberapa saat pun masih tidak ada tanda-tanda suara Rahayu.
Panggilan video diputuskan, Dhamar hendak memanggil Herman untuk menceritakan apa yang dilihat. Ditunggu-tunggu, panggilan tidak kunjung terhubung. Mencoba lagi dan lagi, hasilnya masih sama.
Panggilan kembali ke Rahayu. Namun, sama seperti memanggil Herman, panggilan tidak kunjung dibalas. Dhamar makin panik, bingung apa yang akan dilakukan. Jika tahu akan seperti ini, lebih baik tidak memutuskan video call terlebih dahulu agar masih bisa terhubung.
Layar handphone menyala, tertera satu panggilan masuk dari Rahayu. Dengan cepat, Dhamar menerima. Raut sang kakak berubah pucat.
“Ada apa, Mbak? Mbak tadi ngapain?” cecar Dhamar seketika.
Rahayu duduk di kursi rias, lalu memegang kening. Dia masih belum menjawab pertanyaan Dhamar, membuat sang adik menunggu dalam kecemasan.
“Mbak, ada apa?”
Rahayu akhirnya bercerita bahwa dari kemarin kerap mendengar tangisan bayi. Tangisannya terdengar dekat, tetapi saat didekati tiba-tiba menghilang. Awalnya dia berpikir bayi tetangga, tetapi mustahil seseorang malam-malam menggendong bayi sampai ke pekarangan rumahnya. Kalaupun benar adanya, Rahayu pasti bisa melihatnya.
“Tadi mbak denger ada suara bayi. Pas mbak nengok, tiba-tiba ada bayi di tempat tidur.”
Rahayu masih ingat betul wajah bayi yang sempat digendong yang jika ditebak, seperti berusia lima bulan. Bayi itu terus merengek. Rahayu keluar menemui ibu mertuanya, tetapi dia menyadari sang ibu sudah pulang setelah azan Isya.
“Mbak masih merasa menggendong bayi sampai keluar rumah, tiba-tiba suara tangisannya hilang,” ucap Rahayu yang masih pucat wajahnya, takut.
Rasa takut yang Rahayu rasakan, menular ke Dhamar. Laki-laki itu ikut terbawa suasana dan mulai merasa tidak tenang sendirian di indekos.
“Mbak coba tenang dulu.” Dhamar memberi saran. “Mungkin mbak masih kepikiran Bang Aryo, jadi terbawa suasana.”
“Maksud kamu apa?” Rahayu tersinggung ucapan Dhamar. “Maksudmu mbak jadi gila gara-gara meninggalnya Mas Aryo?”
Sebelum Rahayu berkata makin jauh, Dhamar buru-buru menjelaskan, “Bu-bukan begitu maksudku. Jangan marah dulu, Mbak. Ini tidak seperti yang Mbak pikirkan.”
“Lalu, apa? Kamu pikir mbak hanya halusinasi tadi?”
“Dengarkan dulu, Mbak.” Suara Dhamar memohon. Dia tidak mau sang kakak berpikir buruk dengannya.
Dhamar terdiam, justru bingung mau menjelaskan. Jika dia mengatakan bahwa sang kakak stres karena ditinggal suami dan sampai saat ini belum memiliki anak, bisa-bisa dirinya pasti akan kena marah. Dhamar menyesali perkataannya.
“Mbak mungkin hanya kecapean, Mbak butuh istirahat. Aku enggak ada maksud mengatakan itu, percayalah, Mbak.”
“Terserahlah kamu mau percaya atau kagak. Mbak pusing, mau istirahat.” Panggilan dimatikan sebelum Dhamar menjawab.
Sudah dipastikan, Rahayu marah. Memang sudah seharusnya Dhamar pikir-pikir dahulu sebelum berkata apa-apa atau lebih baik diam. Yang dia dapatkan, sang kakak salah paham dan akhirnya marah.
HP diletakan sembarang ke kasur, percuma jika menelepon untuk memberi penjelasan, sudah pasti tidak akan dijawab. Dhamar menunduk sambil menyangga kepala dengan kedua tangan. Dia ikut stres.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...