“Masih lama ini?” tanya Dhamar sambil sesekali memindai sekeliling.
Sore itu sekitar pukul tiga, seperti yang sudah Fikri katakan dua hari lalu, dia akan membawa Dhamar menemui seseorang. Perjalanan menggunakan motor kurang lebih memakan waktu satu setengah jam dari indekos.
Satu jam perjalanan, motor membelok ke tempat yang baru bagi Dhamar. Ini adalah kali pertama baginya pergi jauh dari indekos. Kata Fikri, dia akan dibawa ke sebuah desa yang berada di perbatasan kabupaten. Jika melewati sungai besar, tempat yang dituju sudah dekat.
“Nanti juga nyampe,” jawab Fikri yang masih fokus menyetir.
Sudah tidak terhitung berapa kali perempatan dan pertigaan dilalui. Mereka makin menjauhi kawasan kota terdekat, memasuki jalan perumahan sampai sebuah sungai besar muncul.
“Sungai besar itu yang dimaksud?” tebak Dhamar.
Kurang lebih lima puluh meter ke depan, terpampang sebuah jembatan panjang yang tentu saja baru pertama kali dilihat Dhamar. Dia tidak tahu apakah di ujung jembatan sudah masuk kawasan lain atau masih sama. Yang jelas, dia makin penasaran ke mana Fikri membawanya.
“Rumah gue di sana. Nanti kita cuma butuh setengah jam lagi, baru nyampe.”
“Buset, jauh bener perasaan. Katanya lewati jembatan, udah deket.” Dhamar protes.
“Ya, kan memang deket kalau kata gue.”
Setelah melewati jembatan yang di bawahnya mengalir air berwarna kecokelatan berarus deras, motor memasuki lokasi yang kata Fikri adalah tempat tinggalnya.
“Mau mampir ke rumah gue dulu kagak?” canda Fikri.
Dia sudah tahu jawaban apa yang akan didengar. Benar saja, Dhamar menolak saat dirinya menunjuk ke sebuah jalan kecil di samping kirinya.
“Rumah itu rumah saudara gue. Udah kosong, kagak ada yang mau nempatin.” Fikri menunjuk ke sebuah bangunan lantai satu bercat putih yang terletak cukup dekat dengan jalan utama.
Rumah berpagar besi itu diapit dua rumah lainnya yang memiliki ukuran serupa. Tidak ada keanehan di sana, hanya sepi, bahkan di sekeliling tempat itu sama sekali tidak ada orang, tak seperti saat baru melewati jembatan.
Motor masih terus melaju sampai setengah jam lamanya hingga berhenti di suatu tempat asing bagi Dhamar. Mereka memasuki gang kecil dan berhenti di pekarangan rumah orang.
“Kita udah nyampe?”
Fikri mengangguk, lalu turun dan melepas helm. “Rumahnya itu yang catnya kuning. Gue masih ingat pas pernah sekali ke sini”
“Semoga ada orangnya biar kita kagak sia-sia nyasar jauh ke sini,” kata Fikri sebelum melangkah.
Ketukan pertama, tidak ada jawaban; ketukan kedua pun sama. Fikri mulai cemas, takut tidak ada orang di dalam, mengingat si penghuni hanya ada satu. Kalau tengah pergi, otomatis rumah itu kosong.
“Ah, ada orangnya.” Fikri bernapas lega saat mendengar langkah dari dalam yang disertai ucapan salam.
Pintu terbuka, seorang pria paruh baya menatap Fikri dan Dhamar bergantian. Pria itu sempat tersentak saat menatap Dhamar.
“Ada apa, ya? Kalau tidak salah, saya seperti pernah bertemu denganmu,” ucap pria itu yang kata Fikri bernama Rustam.
Fikri mengenalkan diri, sekaligus membenarkan ucapan Rustam. Dhamar tidak ketinggalan, ikut diperkenalkan. Rustam mengangguk dan mengiakan, lalu mengajak dua pemuda itu masuk rumah.
Dhamar dan Fikri duduk di sofa tua ruang tamu, sedangkan Rustam meninggalkan mereka dan muncul lagi dengan membawa dua buah gelas kopi. Mereka bercakap-cakap, lalu mulai membahas masalah inti.
Pria cukup tinggi berkaus oblong cokelat yang rambutnya mulai beruban itu mengangguk-angguk, lalu menatap Dhamar. Dia berkata, “Bapak sudah tau dari aura temanmu.”
“Tadi saat bapak lihat kamu, ada sosok yang mengikuti dan tengah berdiri di belakangmu. Sosok itu sudah menghilang, mungkin nanti akan muncul lagi,” kata Rustam.
“Sosok?” tanya Dhamar penasaran. Sedari tadi dia tidak merasakan apa-apa, apalagi sampai berpikir ada sosok di dekatnya.
“Sosok yang kerap mengganggu, sosok perempuan berambut putih panjang,” ujar Rustam.
Dhamar sempat kaget. Dia yang berpikir tidak akan lagi ditampakkan sosok Rukmini, ternyata dari apa yang dijelaskan Rustam, ciri-ciri yang dimaksud mengarah ke sosok ibunya.
“Itu bukan ibumu, melainkan sosok lain yang menyerupai ibumu. Bapak rasa, dia seperti terikat denganmu.”
Mata Dhamar terbuka lebar, tersentak mendengar penuturan Rustam. “Terikat?”
“Bapak kerap menangani kasus orang seperti ini. Ada seseorang yang melakukan ritual perjanjian dengan tujuan yang hanya orang itu ketahui sendiri. Ada yang meminta perlindungan, kemudahan dalam segala urusan, bahkan untuk mencelakai.”
Pandangan Dhamar beralih. Dia mengingat-ingat apa saja yang pernah dialami, baik dirinya maupun kakaknya. Setelah kematian sang ibu, dia memang kerap diganggu, bahkan sampai mencelakai, seperti yang dikatakan Rustam.
“Setelah meninggalnya ibu saya, saya dan saudara-saudara saya kerap diteror Ibu ....” Dhamar melirik ke luka di lengan kirinya. “Bahkan ini terjadi karena Ibu.”
Rustam mengangguk. “Berarti bisa jadi ada yang memang berniat jahat ke keluargamu.”
“Apa Bapak tahu siapa orangnya?” tanya Dhamar, ingin tahu siapa yang telah berbuat jahat kepada keluarganya.
Rustam mendengkus, lalu menjawab, “Kalau masalah ini, bapak sendiri tidak bisa membantu. Sekalipun saya meminta sosok yang terikat padamu untuk berbicara, belum tentu dia akan mudah memberi tahu. Yang namanya setan, tidak bisa dipercaya.”
“Oh, iya, Pak. Maksud mendapat kemudahan, itu kira-kira maksudnya apa, ya, Pak?” Fikri menimbrung.
Sedari tadi dia memilih diam dan menyimak. Ikut campur juga buat apa, bukan dirinya yang tengah bermasalah, tugasnya hanya sekadar membantu Dhamar.
Tiga hari lalu sewaktu sedang ditelepon ayahnya, Fikri teringat dengan seseorang yang pernah membantu saudaranya. Setelah telepon berakhir, dia menghampiri Dhamar, memberitahukan informasi yang mungkin tengah sang sahabat butuhkan.
Siapa tahu dengan cara ini, Dhamar bisa merasa lebih tenang. Sebagai seorang sahabat, Fikri berharap Rustam bisa membantu.
“Mendapat kemudahan itu ketika melakukan apa-apa, akan dipermudah. Melamar pekerjaan akan mudah diterima, bisa cepat naik pangkat, atau bisa juga dengan mudah mendapatkan sesuatu,” papar Rustam, menjabarkan pertanyaan dari Fikri.
“Mendapatkan sesuatu dengan mudah.” Dhamar bermonolog.
Ingatannya berkelana ke masa lalu. Dahulu, Herman memang dengan mudah mendapatkan pekerjaan hanya dengan bermodal ijazah SMA. Pernah mendapat posisi lebih tinggi dalam waktu singkat. Tidak hanya Herman, Rahayu, Aryo, Anwar, bahkan dirinya pun bisa dikatakan tidak dipersulit meraih sesuatu.
Meskipun jika dipikir-pikir tidak ada hal yang tidak mungkin, semua kemudahan itu selalu datang ketika dibutuhkan.
“Kenapa? Malahan bengong.” Fikri menyikut lengan kanan Dhamar.
Dhamar sekilas menatap Fikri, lalu beralih ke Rustam. Dia bertanya, “Kira-kira ini bisa dihentikan tidak, Pak?”
“Jika berurusan dengan makhluk halus, tidak ada yang gratis, semua ada syaratnya. Syarat yang paling sering digunakan adalah dengan menyediakan sesajen dan yang paling susah adalah tumbal.”
“Sajen? Tumbal?” kata Dhamar penuh penekanan.
Ingatan Dhamar kembali ke masa lalu. Dia teringat saat Rahayu menemukan sesajen di kolong ranjang Rukmini. Apakah ini adalah ulah ibunya? Apakah sang ibu juga menyiapkan tumbal? Jika benar, siapa orangnya?
“Apakah masih bisa dihentikan, Pak, seperti yang terjadi dengan saudara saya?” Fikri bertanya pertanyaan yang belum terjawab.
“Ritual bisa dihentikan oleh orang yang melakukan ataupun dari orang yang membantu melakukan ritual, dukun itu sendiri.”
“Jika tidak dihentikan atau sampai sosok yang terikat itu tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, ini akan berbahaya. Nyawa seseorang akan terancam.” Rustam melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...