Seorang mahasiswi kesurupan, membuat suasana kelas yang semula tenang, menjadi heboh. Perempuan yang duduk di depan Dhamar itu menjerit, terkekeh, dan tersenyum menyeringai.
Fikri dan dua orang lain pernah membantunya, tetapi mereka dihempaskan hingga menabrak kursi dan meja. Kebanyakan mahasiswi lain memilih menjauh, sedangkan beberapa mahasiswa—termasuk Dhamar, dan seorang dosen masih mencoba menenangkan Hanin.
Hanya dengan satu tangan, Dhamar berusaha menahan agar Hanin tidak terus-menerus kelabakan. Namun, karena tenaganya kurang kuat, genggamannya terlepas, lalu kuku Hanin menggores lengannya.
“Lo, kagak apa-apa?” Seseorang bertanya kepada Dhamar yang tengah merintih.
Goresan cukup panjang, dari sikut hingga pergelangan tangan. Darah mulai keluar disertai rasa perih yang mulai menjalar.
“Gak, apa-apa, gak apa-apa,” jawab Dhamar sambil meringis.
Sementara itu, Hanin mulai bisa ditenangkan. Dia berhasil dibaringkan di meja dengan tangan dan kaki masing-masing dipegang. Ayat-ayat Alquran kembali dilantunkan, Hanin kembali meraung-raung sambil terus berusaha melepaskan diri.
Perempuan itu melotot ke arah Dhamar yang tengah menonton dirinya. Giginya saling gemeletuk dengan tatapan buas menatap Dhamar.
“Kamu harus membayar semua!”
***
Dhamar berbaring setelah sampai di indekos tepat pukul lima sore. Kakinya lemas saat sepuluh menit lamanya berjalan kaki karena angkot yang ditumpangi mendadak mogok.
Sebenarnya, dia ingin mendatangi Rustam lagi. Hari kemarin gagal karena ternyata banyak tugas yang harus dikerjakan. Hari ini pun tidak berbeda jauh, tenaganya benar-benar dikuras habis tanpa sisa.
Perut lapar, belum mandi, belum lagi kondisi indekos berantakan, dan harus mengerjakan pekerjaan rumah. Tugasnya sungguh banyak, istirahat barang sebentar seakan-akan susah.
“Dhamar!”
Seseorang memanggil dari balik pintu. Dari suaranya, cukup mudah ditebak. Fikri masuk indekos setelah disuruh.
“Lo kenapa?” tanya Fikri yang melihat Dhamar berbaring, hal yang jarang dilihatnya.
Dhamar beranjak, lalu duduk. “Besok-besok kalau kita punya waktu, nanti gue minta tolong. Kita pergi ke tempat kos abang gue buat ambil motor.”
“Emang tangannya udah pulih? Ini malahan giliran tangan kanan lo ikutan kena juga,” tanya Fikri. Dia pun ikut duduk di samping Dhamar, lalu memperhatikan lengan kiri sang sahabat.
Dhamar menatap lengan kirinya, lantas menjawab, “Udah mendingan, yang kanan juga sama. Lagian pakai motor kan yang lebih digunakan tangan kanan, bukan kiri. Susah ke mana-mana kalau kagak pake motor.”
“Kan bisa minta tolong ke gue, kagak susah, kok.”
Kali ini Dhamar tidak menjawab. Dia hanya tidak ingin sering-sering merepotkan Fikri dan belum tentu juga sang sahabat ada ketika tengah dibutuhkan. Lebih baik saat punya waktu luang, motor yang berada di indekos Anwar akan diambil agar nanti leluasa ke mana-mana tanpa harus merepotkan orang lain.
“Oh, ya, Mar. Gue kayaknya kagak bisa bantu lo buat anter ke rumahnya Pak Rustam. Nanti malam gue ada urusan. Sebenarnya kalau tadi kita pulang cepet, bisa, sih. Tapi, lo sendiri tau kan tadi ada apa di kelas.”
Dhamar menganggap paham. Dia pun sama halnya dengan Fikri, tidak bisa pergi ke rumah Rustam.
“Tapi serius, selama gue di kampus, baru kali ini ada orang kesurupan,” kata Fikri, mengingat-ingat kembali peristiwa menggemparkan siang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...