"KRIIIINNGGG....KRIIINGGG....!!!"
Alarm berbentuk bebek berwarna kuning diatas meja disamping kasurku berbunyi. Dengan ogah-ogahan, tanganku meraba meja disamping kasurku dan menggapai tombol off pada alarmku. Klik! Kumatikan alarm menyebalkan tersebut. Membangunkanku dari mimpi indah, tengah menikmati berpacaran bersama idola Korea tampan yang baru-baru ini kuidolakan, Taehyun tampanku. Memaksaku untuk terbangun di pagi hari ini, mengembalikanku ke dunia nyata yang kubenci.
Ya, dunia nyata yang sangat kubenci.
Masih dengan posisi berbaring, aku mengucek-kucek mataku yang rasanya masih enggan untuk terbuka. Aku berguling menuju sisi pinggir kasur, dan dengan gerakan malas aku mengubah posisi dari baringan menjadi duduk di pinggiran kasur. Malas, rasanya malas sekali untuk memulai hari di pagi ini.
Setelah mengumpulkan nyawanya yang sebenarnya pun masih belum pulih sepenuhnya, dengan gontai aku berjalan menuju meja rias. Kulaksanakan ritual pagi yang selalu menyenangkan untuk dilakukan ini. Aku duduk di kursi belakang meja rias. Kutatap lekat-lekat wajahku pada cermin yang terdapat di meja rias di kamarku itu. Jariku bergerak menuju pipiku dan mulai memenceti gumpalan-gumpalan berisi sebum itu.
Aku sangat menikmati melakukannya tiap pagi! Benar-benar menyenangkan! Memenceti satu-persatu gumpalan sebum itu dan menikmati rasa sakit, kadang rasa perih saat kupenceti mereka. Kadang juga yang keluar tidak hanya sebum tapi juga tetesan darah. Bagi sebagian orang, memenceti jerawat adalah hal yang menjijikkan. Bagiku, ada rasa kepuasan tersendiri yang menyenangkan. Seperti aku telah berhasil menaklukannya!
Setelah puas membalas dendam pada benda menjijikkan yang hinggap di pipiku, aku membuka pintu kamarku. Masih mengenakan piyama bermotif bebek berwarna kuning, dengan malas kuseret kakiku menuju lantai bawah. Baru pukul tujuh pagi. Waktu yang sangat ideal untuk kembali masuk ke dalam selimut di minggu pagi yang cerah ini, namun aku urungkan niatku ketika melihat Cantika sibuk di dapur bersama seseorang yang nggak ingin aku temui di pagi ini.
"Berlian, kenapa kamu bangunnya siang sekali, nak? Lihat Cantika, pagi-pagi sudah rajin membantu mama di dapur. Dibandingkan dengan dirimu yang malas padahal ini hari minggu, Cantika rasanya lebih cocok jadi anak mama ketimbang kamu." Orang disebelah Cantika mulai meracau begitu melihatku berdiri di dekat pintu dapur. "Kesini nak, jangan malas! Bantu mama memotong sayur!" Perintahnya.
Dengan malas aku berjalan mendekati pintu kulkas dan mengeluarkan beberapa ikat bayam dan membawanya menuju wastafel. Aku malas harus mengobrol dengan mama, jadi selama mencuci dan memotong bayam aku memilih diam saja. Kuperhatikan Cantika dan mama yang sibuk bergurau dan sesekali tertawa bersama. Benar kata mama, mereka terlihat lebih mirip ibu dan anak jika dibandingkan dengan diriku dan mama.
Sore kemarin setelah kami kembali dari mall, aku mengajak Cantika menginap di rumahku karena kedua orangtuaku belum kembali dari kantor mereka. Rasanya sepi harus menghabiskan malam minggu sendirian, jadi aku mengajaknya menginap bersama sambil menonton drama Korea terbaru yang sudah ku download. Tak lupa, kami juga memesan pizza dan cola. Kami menghabiskan malam minggu hingga larut di kamarku, namun ia terbangun lebih pagi dariku. Memang Cantika anak yang rajin.
"Contohlah Cantika, Ber. Ia sangat rajin membantu mama tanpa mama minta." Mama mulai mengomel lagi dan menatap tajam ke arahku, namun sedetik kemudian ia kembali tersenyum ke arah Cantika. Aku benci melihatnya. Mama selalu membanding-bandingkan diriku dengan Cantika atau anak-anak lainnya. Seolah-olah aku adalah anak yang nggak pernah bisa membuatnya puas. Aku nggak marah dengan Cantika, karena bagiku yang salah adalah cara mama memperlakukanku.
Selesai menyiapkan sayur, aku mengendap-endap keluar dapur dan berjalan menuju ruang tamu. Kulihat seorang pria paruh baya duduk di sofa yang menghadap televisi. Tangannya menggenggam sebuah koran, membacanya sementara televisi tengah menyala menayangkan acara berita minggu pagi ini. Aku memilih duduk di sebelahnya dan memandangnya.
"Pa, papa lagi baca koran?"
"Hmm."
"Nonton Tv juga?"
"Hmm."
Aku mendengus kesal karena mendapatkan jawaban yang nggak sesuai keinginanku. Lebih tepatnya, aku kecewa terhadap sikap cuek dan dinginnya padaku.
Papa dan mamaku adalah pekerja di kantor swasta. Mereka mengajakku pindah ke Kota Denpasar ketika mereka dipindah tugaskan, sekitar sepuluh tahun yang lalu saat aku masih SD. Aku sudah terbiasa dengan sikap dan kehadiran mereka yang minus di rumah. Bagiku, mereka adalah orangtua yang buruk.
Aku adalah anak tunggal, anak satu-satunya papa dan mamaku. Papa dan mamaku sangat sibuk bekerja, sehingga sangat jarang meluangkan waktu untukku. Aku sudah terbiasa ditinggal sendirian dengan pengasuh sejak kecil. Saat masuk SMP, aku sudah nggak bersama pengasuh lagi dan sudah terbiasa dengan keadaan rumah yang sepi.
Untuk menggantikan waktu mereka yang nggak sempat diberikan kepadaku, mereka menghujaniku dengan berbagai hadiah sejak kecil. Saat beranjak remaja, aku sudah diberikan kartu rekening dan kartu kredit pribadi milik papa sudah mereka serahkan kepadaku untuk kupakai sesukaku. Sesungguhnya daripada uang atau hadiah, dulu aku lebih ingin mereka hadir menemaniku. Namun lama-kelamaan, aku semakin nggak ingin sering-sering bertemu mereka. Aku nggak suka sikap mama yang selalu mengomeliku ketika berada di rumah, atau sikap cuek papa kepadaku.
Aku mengalihkan pandangan pada televisi yang kini menyiarkan iklan produk kecantikan. Sebuah produk sabun pembersih wajah, yang menampilkan seorang model perempuan dengan wajah bersih dan cantik. Model itu mengatakan sebuah kalimat yang berbunyi :
"Cantik itu, mencintai diri sendiri."
Aku mengangkat sebelah alis. Aku nggak ngerti. Tentu saja cantik itu dinilai dari wajah dan badanmu. Bagaimana bisa kecantikan itu muncul ketika mencintai diri sendiri? Apa yang dimaksud dengan mencintai diri sendiri? Memangnya aku kurang mencintai diriku sendiri sehingga nggak pantas merasa cantik? Tentu saja model pada iklan tersebut nggak akan mengatakan hal yang sama ketika ia memiliki wajah sepertiku, kan?
"Berlian, papa, sarapan sudah siap. Berlian, kabur kemana kamu nak?!" Teriakan mama dari arah dapur membuyarkan lamunanku terhadap iklan barusan. Iklan barusan pun telah berganti kembali menjadi acara berita minggu pagi. Ah, aku benci harus mendengar teriakkan mama di minggu pagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Bebek Kuning
Teen FictionBerlian harus menghadapi kenyataan hidup yang dibencinya : menjadi korban bully Cindy dan dayang-dayangnya, mencintai diam-diam Kak Cakra tanpa pernah mampu mengungkapkan isi hatinya, dan memiliki masalah dengan jerawat di wajah! Ya, Berlian Permata...