I

167 15 13
                                    

Seorang wanita muda yang usianya sudah menginjak kepala tiga melangkah dengan cepat memasuki sebuah ruangan. Begitu berada di dalam ruangan ekor matanya dengan cepat memindai seisi ruangan. Hanya satu orang yang ada di sana.

"Baru selesai, Day?" tanya wanita paruh baya yang letak mejanya tepat di sebelah.

"Iya, Bu Jihan. Kok cuma sendiri, yang lain udah pulang?" jawab wanita muda yang bernama Dayana itu seraya meletakkan tote bag di atas meja kerjanya.

"Mas Rifki ijin pulang dulu. Pak Firman masih di ruang rapat, ini saya juga baru masuk," ucap Bu Jihan bersamaan dengan itu seorang laki-laki yang disebut tadi memasuki ruangan.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 16.00. Memang sudah saatnya pulang, bahkan sudah lewat 30 menit dari jam pulang seharusnya.

"Day, saya duluan ya," pamit Bu jihan.

"Mbak Day, ayo pulang!" ajak Pak Firman.

"Iya, Pak," jawab Daya sembari sibuk memasukkan peralatannya ke dalam tas.

Dayana, seorang wanita karir yang prestasi kerjanya tak bisa dianggap sepele. Di usia kepala tiga wanita itu sudah diberi tanggung jawab sebagai salah satu penanggung jawab instalasi. Setelah sempat diberi amanah menjadi kepala ruang, tahun kemarin dia diangkat menjadi salah satu jajaran petinggi instalasi rawat inap. Itupun setelah ia menyelesaikan ijin belajarnya dalam menempuh pendidikan S2 di Jakarta.

Wanita muda bernama Dayana Savrinadeya ini sudah kebal dengan segala pertanyaan mendasar. Seperti kapan nikah dan segala hal pertanyaan serupa. Bahkan ketika ia lulus S2 dengan predikat cumlaude pun masih ada sindiran orang-orang terdekat.

Dayana ingat saat itu pertemuan keluarga dan sialnya diadakan di rumahnya. Mau tak mau ia harus setor muka di hadapan para saudara dari keluarga ayahnya itu.

"Pantes belom ketemu jodoh, lulusan S2 sih, pada takut deketin kamu!" sindir Tantenya yang merupakan Adik Ipar sang Ayah.

"Kalau takut berarti bukan jodoh saya, Tan," jawab Dayana dengan nada dinginnya.

Dering ponsel membuyarkan ingatan yang tak harapkan itu. Dayana merogoh tas lengannya untuk mencari ponsel kesayangannya itu. Begitu menemukannya senyum tipis menghias wajah cantiknya sebelum ia menjawab panggilan tersebut.

"Halo?"

"Day, udah balik belom?? Laper nih. Lama amat deh," omel seseorang dari seberang. Sahabatnya, Vanda. Dayana menjauhkan ponselnya sebentar karena suara seseorang di sana cukup tinggi.

"Udah, aku tunggu di parkiran Mobil. Nggak pake lama! Eh terserah ding, kalau lama nanti aku tinggal,"

"Heeeyy, anda!!" Dayana tertawa sebelum akhirnya memutuskan panggilan tersebut.

Dayana meneruskan langkahnya menuju parkiran mobil. Jarak ruangan menuju area parkir cukup jauh. Di sepanjang jalan wanita muda itu menyapa beberapa orang yang ia kenal. Begitupun sebaliknya.

Selang beberapa saat, ia bisa melihat kendaraanya yang berada di gedung parkir lantai 4. Dari jauh ia bisa melihat sahabatnya sudah menunggu dengan muka ditekuk di depan mobil kesayangannya itu.

"Susah punya sahabat yang udah melejit jadi pejabat kelas atas, aku kudu nunggu 2 jam buat pulang bareng," omel Vanda begitu Dayana sudah mendekat.

"Lho, aku udah bilang ketemu langsung di rumah. Nggak usah nunggu. Daripada lumutan," jawab Dayana seraya menekan tombol kunci otomatisnya.

"Kan, aku kangen sama si biru." Biru adalah panggilan Dayana untuk mobil kesayangannya. Mobil kedua yang bisa ia beli berkat karirnya. Mobil pertama yang ia beli dulu sudah diberikan kepada sang adik.

Halo!! Tante?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang