VI

90 12 5
                                    

Tahun 2013

Seorang lelaki muda dengan kaos hitam dan bercelana jins belel berlarian menuju pintu masuk IGD. Ekspresi wajahnya tak terbaca. Marah, kecewa juga sedih bercampur jadi satu. Bulir keringat turun membasahi pelipis dan juga lehernya.  Tampak punggungnya basah oleh keringat.

"Reynald!" panggil perempuan berhijab di depan IGD.

"Mbak Heni," lelaki muda bernama Reynald itu berlari mendekati perempuan bernama Heni itu dengan napas tersengal-sengal.

"Kamu lari? Motormu mana?"

"Aku dianter sama Fajar, Mbak. Aku lari dari seberang soalnya macet nggak bisa nyebrang. Ibu gimana?" Reynald tampak cemas. Ia melongok ke arah pintu kaca IGD. Sayangnya tak terlihat sama sekali dari posisinya.

"Kamu kemana aja? Ibumu sakit di rumah udah seminggu, kamu malah keluyuran!" omel seorang wanita dewasa yang baru muncul dari arah pintu IGD.

"Ma, nggak usah marah-marah. Biar Heni yang ngomong. Mama masuk aja nungguin Bude," lerai Heni pada Mamanya atau Bude Siti, Kakak dari Ibunya Reynald.

"Dasar anak ngeyel!" umpat Siti. Ia pun pergi dari hadapan Reynald lalu kembali masuk. Lelaki itu terdiam menatap kepergian kakak Ibunya dengan padangan nanar. Kedua tangannya mengepal. Berusaha menahan emosinya.

"Tante Yuni udah sakit dari dulu, Dek. Cuma nggak ada yang tahu. Dia sengaja nyembunyiin sakitnya. Bukan cuma ke kamu tapi kita semua. Udah seminggu ini kondisinya ngedrop. Tiap mau dibawa ke rumah sakit Tante Yuni nolak. Seminggu ini juga kami nyoba nyari kamu. Adikmu sama temennya itu, si Abi udah nyari kamu ke mana-mana. Tapi sayang, nggak ada hasil. Sampai tadi pagi Ibumu pingsan, sekarang kondisinya kritis. Kamu yang kuat ya," tenang Heni seraya menepuk bahu Reynald.

"Rey sudah dateng?" ucap seorang lelaki seumuran Ibunya. Dia adalah Pakde Joko.

"Masuk aja, Rey. Ayo aku anter biar Budemu istirahat." Reynald mengangguk. Dia hanya mengikuti langkah lelaki paruh baya dengan berat.

Sepanjang langkahnya banyak pasien yang ia lewati. Dari yang merintih kesakitan hingga tak sadarkan diri. Termasuk ibunya.

"Itu ibumu. Sana deketin." Joko mendorong pelan bahu keponakannya.

Reynald menatap wajah ibunya dengan perasaan tak menentu. Sambil mengamati wajah sendu sang ibu yang kini tampak lebih pucat, dengan ragu ia menggenggam tangan wanita yang melahirkannya itu. Dari posisinya masih bisa ia dengar percakapan antara Pakde Joko dan seorang dokter. Ibunya dalam kondisi koma. Bahkan beberapa tanda vital sudah mulai turun. Reynald bisa melihat dengan mata kepala sendiri beberapa angka yang disebutkan oleh dokter itu menurun.

"Bu, Rey dateng." Tepat setelah itu bunyi nyaring alarm terdengar dari alat yang terpasang pada tubuh ibunya.

Reynald otomatis mundur mempersilakan beberapa dokter dan perawat untuk melakukan pertolongan ibunya. Lelaki itu melihat apa yang terjadi di hadapannya. Seorang laki-laki naik di tempat tidur lalu menekan dada ibunya. Seperti yang terlihat di film-film luar negeri. Setelah itu ia tak tahu apa yang terjadi karena seseorang menarik tirai. Hanya suara-suara terdengar riuh di balik tirai.

Entah sudah berapa lama mereka melakukan pertolongan pada Ibu Reynald. Beberapa menit setelahnya seorang dokter mendatangi Reynald. Pakde Joko juga ada di sisinya. Ia pun hanya berdiam diri dan berdoa.

"Setelah kami lakukan pertolongan dan juga obat-obatan jantung dengan dosis maksimal ternyata Ibu tidak berespon. Tindakan yang kami lakukan memiliki resiko jika menekan dada secara terus menerus akan terjadi patah tulang dan perdarahan. Apakah tindakan kami mau tetap dilanjutkan, Pak?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Halo!! Tante?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang