Bab Tiga

148 13 5
                                    

2024, waktu sekarang.

Bulan duduk di sofa apartemen pribadi Bian. Sebenarnya Bulan sudah berkata bahwa ia bisa pulang dan mengobati dirinya sendiri. Tapi tak hanya memaksa Bulan datang ke sini, Bian juga bersikeras mengobati luka-luka di tubuh Bulan. Lengannya, lehernya, hingga wajahnya.

“Sebenarnya makhluk apa suamimu itu? Bisa-bisanya dia menghajar istrinya sendiri sampai separah ini,” omel Bian saat mengobati leher Bulan. Tidak perlu menjadi cerdas untuk tahu bahwa Bulan telah dicekik. Leher jenjang wanita itu bahkan tergores. Goresan kuku.

Namun Bulan tak berkomentar apa pun. Segala yang terjadi dalam hidupnya masih terasa seperti mimpi. Mimpi buruk.

Padahal segalanya baik-baik saja saat ia masih bekerja menjadi manajer Bian. Namun semua berakhir dua tahun lalu, saat Bulan menikah dengan pria yang salah. Pria yang menyuruh Bulan berhenti bekerja, bahkan menjauhkan Bulan dari teman-temannya. Pria yang menarik Bulan dari semesta yang membuat wanita itu bahagia, lalu memasukkannya ke dalam neraka terkejam.

“Selesai,” kata Bian saat pria itu selesai mengobati luka terakhir di sudut bibir Bulan. Pria itu menutup kotak obatnya, lalu menatap wanita di sampingnya itu lekat. “Terus gimana rencana kamu sekarang?”

“Rencana apa?”

“Ya rencanamu.” Bian memberikan ponselnya yang berisi foto-foto luka di tubuh Bulan yang tadi ia abadikan. “Apa kamu berencana hidup sama Hadinata selamanya?”

Bulan menunduk. Ia meremas bantal di pangkuannya dengan gelisah. “Aku nggak tahu.”

“Apa dua tahun belum cukup untuk bikin kesimpulan apakah dia pantas dipertahankan atau enggak?”

“Aku nggak tahu, Ian. Aku takut.”

“Apa yang kamu takutkan?”

Bulan menggeleng. “Nggak tahu.”

“Lan...”

“Aku nggak tahu. Aku bingung. Semuanya abu-abu di mataku. Kalau aku tahu, aku nggak akan ada di atap gedung itu tadi.”

“Kamu butuh bantuan?”

“Entahlah. Mungkin. Tapi aku juga nggak tahu butuh bantuan siapa dan bantuan untuk apa.”

Bian menatap mantan manajer sekaligus temannya itu dengan sedih. “Seberat itu, ya?”

Bulan mengangguk. Bola mata wanita itu berair yang cepat-cepat ia hapus dengan tisu. “Aku selalu berusaha yang terbaik, Ian. Tapi kenapa aku selalu salah?”

“Kenapa kamu mikir kamu yang salah? Kamu korbannya, Lan.”

“Nggak tahu,” kata Bulan. “Aku harus gimana? Aku capek. Aku muak dengan pernikahanku yang kacau. Tapi apa aku punya jalan keluar? Apa aku punya cara untuk lepas dari semua ini?”

“Bisa, Lan. Kamu bisa ce—“

“Cerai?” potong Bulan. “Terus gimana bayi dalam kandunganku? Aku nggak bisa biarin dia hidup tanpa ayah. Terus orang tuaku? Kamu tahu gimana sempurnanya Mas Nata di hadapan orang tuaku. Dia berasal dari keluarga baik-baik, punya pekerjaan mapan sebagai guru, punya citra yang bagus di masyarakat—“

“Buat apa semua itu kalau dia kasar dan suka main tangan sama kamu?”

“Mereka nggak tahu Mas Nata kayak gitu,” kata Bulan. “Mas Nata baik sama orang tuaku. Dia baik di luar. Dia bahkan antusias nunggu bayi ini lahir.”

“Tapi dia kasar sama kamu.” 

“Itu karena... karena...” Bulan berusaha mencari kalimat yang tepat, meski ia tak berhasil menemukannya. “Itu mungkin karena dia lagi emosi.” 

Can I Leave a Toxic Relationship?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang