“Bulan, aku masuk, ya?” Setelah mengumumkan kehadirannya, Bian menyempatkan diri untuk mengetuk sebelum membuka pintu kamar itu. Bulan ternyata sudah tidur. Bian menghela napas melihat nampan berisi makanan yang ia bawa. Padahal Bulan belum makan malam. Haruskah Bian membangunkannya? Atau biarkan saja karena Bulan tampak begitu lelah?
Bian melangkah masuk dengan hati-hati. Ia letakkan nampannya di atas nakas, lalu menaikkan selimut Bulan hingga ke bawah leher. Bulan terlihat lelah. Tentu saja. Wanita itu baru saja melewati hari yang panjang; bertengkar dengan suaminya dan berakhir di kantor polisi. Hari yang terlalu panjang dan berat untuk dilalui seorang wanita hamil, yang semalam nyaris bunuh diri.
Jika tahu akan seperti ini jadinya, jika tahu akan seperti ini keadaannya, dulu Bian pasti akan berjuang untuk gadis itu. Tapi masalahnya, waktu seolah menghentikan Bian untuk berjuang.
Bian masih ingat, awal perjuangannya dulu untuk menjadi aktor demi membuat Bulan bangga. Namun hasil dari perjuangannya malah kabar bahwa Bulan telah berkencan dengan laki-laki lain. Masih terekam jelas dalam ingatannya, betapa kecewanya Bian pada dirinya sendiri saat itu. Betapa kesalnya ia tiap kali melihat Bulan bersama Lucas.
Ah, ada satu momen yang Bian ingat. Saat mereka di perpustakaan bersama.
“Ini kenapa kamu masukin referensi ini?” tanya Bulan dengan suara sepelan mungkin, nyaris berbisik pada Lucas yang duduk menempel padanya.
Bian yang duduk di hadapan mereka mencengkeram bolpoinnya dengan kesal. Bisakah Bulan tidak berbisik seperti itu? Bisakah mereka duduk agak menjauh?
“Ini nggak nyambung,” lanjut Bulan. Gadis itu menunjuk tulisan pada kertas milik Lucas sambil memberinya coret-coretan. Coretan yang dibalas Lucas dengan coretan berbentuk hati.
Bian bisa melihat Bulan tersenyum malu-malu. Senyum yang membuatnya ingin menggulingkan meja yang memisahkan mereka. Ditambah saat Bulan membalas gambar hati Lucas dengan gambar hati yang sama. Lalu mereka terkawa cekikikan.
Sejak saat itu, Bian memilih untuk sedikit menjauh dari Bulan. Selain tidak ingin menjadi nyamuk, Bian juga ingin melindungi perasaannya sendiri. Terutama karena sempat cuti, Bian harus mengambil satu semester lebih lambat dibanding Bulan yang sedang fokus menyusun skripsi.
Hubungan Bulan dan Bian semakin menjauh. Saat Bulan lulus lebih dulu, Bian menyempatkan diri untuk hadir di wisudanya. Meski gadis itu tetap lebih banyak menghabiskan waktu bersama Lucas.
Sakit hati dan kecewa Bian sudah masuk ke tahap pasrah. Pria itu mengalihkan fokus pada skripsinya yang terlambat dan kesibukannya yang lain. Pekerjaan juga membuat lingkaran pertemanan Bian semakin luas. Ia bahkan bisa berteman dengan aktris-aktris cantik yang selama ini hanya bisa ia lihat melalui layar kaca saja.
Kendati demikian, perasaan Bian pada Bulan tak bisa terkikis dengan mudah.
Tiba ketika Bian wisuda, banyak orang datang memberinya selamat. Teman-temannya, dan juga Bulan.
“Biaaannn selamat, yaaa!” ujar Bulan ceria. Gadis itu menyodorkan buket bunga pada Bian yang diterima Bian dengan senyum tipis.
“Makasih, Lan.”
Dalam hati Bian berandai-andai. Seandainya Bulan tidak hanya memberinya selamat, tapi juga memberitahu Bian bahwa gadis itu memiliki perasaan yang sama. Seandainya yang Bulan berikan bukan hanya buket bunga, tapi hatinya.
“Kamu ke sini sendiri? Omong-omong, di mana pacar kamu?” tanya Bian. Basa-basi, tentu saja. Kalau diminta jujur, mana peduli ia pada laki-laki itu?
“Lucas lagi ada urusan, jadi aku sendian,” jawab Bulan.
“Oh.” Kirain sudah putus. Bian tersenyum kecut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can I Leave a Toxic Relationship?
RomansKata orang, bahagia atau tidaknya perempuan itu dimulai dari pernikahan. Kalau ia menemukan pria yang tepat, hidupnya akan bahagia selamanya. Tapi kalau tidak, ya hancur sudah. Itulah yang terjadi pada Rembulan. Pria yang ia kenal baik selama pacara...