"Zor..!" Panggil pria dengan setelah rapi.
Zoro hanya membuka sebelah matanya dan kembali menutupnya saat tau siapa yang menghampirinya.
"Gue bikin bekal buat Nami tadi, terus kelebihan. Buat lu aja." Ia menyodorkan sebuah kotak makan dengan balutan kain putih bersih.
"Kasih Robin aja." Tolak Zoro singkat tanpa memandang Sanji sama sekali. Ia hanya terus menutup matanya.
"Eee...oke.." Suara langkah kaki terdengar menjauh dari tempat duduk Zoro. Ia perlahan membuka matanya dan melihat sekelebat bayangan meninggalkan ruang kelas.
Zoro hanya terdiam dengan perasaan tak karuan.
"Apa aku keterlaluan?" Lirih Zoro sambil beranjak dari tempat duduknya, mengambil tasnya dan pergi menyusul Sanji.
Ia tak melihat Sanji di lorong panjang itu, kemana pria itu pergi? Mengapa ia begitu cepat?
Terlalu sibuk mencari Sanji hingga Zoro tak sadar bahwa didepannya berdiri seorang gadis, dan tabrakan pun tak terelakan.
"Ouch.." gadis itu terjatuh bersama dengan setumpuk bukunya.
"Aduh, kacamata, kacamata ku mana?" Tangan gadis itu meraba lantai untuk mencari benda berharganya.
"Ini" Zoro menyodorkan kacamata yang ia lihat di samping kakinya.
Gadis dengan rambut hitam pendek itu mengambilnya dan berterimakasih.
Zoro membantunya membereskan bukunya dan mereka berdiri bersamaan. Mata Zoro tak bisa ia alihkan begitu ia melihat wajah gadis itu.
"Kuina?" Lirih Zoro yang masih terpaku dengan wajah familiar didepannya itu.
"Maaf mas?" Gadis itu memecahkan keheningan sesaat mereka.
"Permisi mas, saya udah telat ke kelas." Gadis itu mengambil tumpukan buku di tangan Zoro dan bergegas pergi setelah melihat jam tangannya.
Zoro memperhatikan kemana perginya gadis itu dan ingin mengikutinya. Tapi ia urungkan niatnya.
Siapa gadis itu? Mengapa ia sangat mirip Kurnia?
.
.
Pohon rindang mencegah dirinya yang sedang sendu dari sengatan panas matahari siang itu.Ia menekuk lututnya dan menyembunyikan wajahnya diantara lipatan kakinya itu.
"Hiks...gue ditolak?" Ucapnya lirih sambil sesenggukan.
"Lho...ji? Ngapain disini sendirian?"
Mendengar suara seorang pria mendekat dari belakang, Sanji bergegas mengangkat kepalanya dan mengusap air matanya.
"Oh Ace, haha lagi santai aja sih." Ia menyapa saudara sahabatnya itu.
"Gue duduk sini ya?" Ace mengambil posisi tepat disamping Sanji.
"Iya, oh iya gue ada lebihan bekal nih, mau?" Sanji menyodorkan bekal di tangannya kepada Ace.
Dengan senang hati Ace membuka dan memakan bekal itu. Semua orang sudah mengakui bahwa tidak ada yang lebih enak daripada masakan Sanji.
"Lu nangis ji?" Ace memperhatikan mata Sanji yang kemerahan.
"Oh enggak, kelilipan tadi." Sanji bergegas memastikan tak ada air mata yang jatuh lagi. Ia sedikit lega saat Ace hanya diam dan melanjutkan makannya.
Senyum tipis tersirat di wajah tampan Sanji.
"Menurut lu, wajar gak sih nyaman sama temen?" Sanji mencoba membuka obrolan.
"Wajarlah, kenapa juga enggak wajar?" Ace tidak menangkap makna yang ingin Sanji sampaikan.
"Enggak lho, nyamannya lebih nyaman daripada temen atau sahabat, seakan dia adalah rumah paling nyaman yang pernah lu tinggali" Sanji menjelaskan sambil berharap Ace mengerti maksudnya.
"Oh..." Ace berhenti makan untuk sejenak, ia sedang berpikir.
"Lu jatuh cinta sama dia." Jawab Ace singkat yang lalu melanjutkan makannya.
"Gue? Jatuh cinta sama dia? Dia?" Sanji mencoba mempertegas bahwa itu benar benar yang terjadi.
"Iya, gue rasa seorang teman gak akan merasa senyaman itu kecuali sama orang yang ia cintai."
Sanji tak menjawab.
"Nih, kaya biasa, makanan lu luar biasa, makasih ya, gue cabut dulu, ada kelas." Ace mengembalikan kotak bekal Sanji dan bergegas pergi sambil menenteng tasnya.
Sanji masih tidak menjawab.
.
.
"Apa gue salah ngartiin perhatian dia ke gue?" Zoro berjalan lesu meninggalkan pohon tempat ia mengintip Sanji."Dia punya hubungan apa sama Ace?"
"Dia ngasih bekal itu ke Ace, bukanya itu buat gue?"
"Dia bener bener gak tau kalau gue jatuh cinta sama dia?"
Penyesalan satu persatu mulai memasuki ruang kosong di hati Zoro.
"Selama Sanji bahagia gue akan terima semuanya, walau penuh sesal, walau penuh luka" Zoro mencoba menegarkan hatinya dan pasrah dengan keadaan.
"Love is when a person’s happiness is more important than your happiness"
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
November Rain
Fanfiction"Keberuntungan ku telah berakhir saat kita berakhir. Saat aku menulis ini dalam tangisku. Haha aku memang pecundang"